HomeUncategorizedCatatan FB Rene Setyawan soal Gonjang-Ganjing Rupiah

Catatan FB Rene Setyawan soal Gonjang-Ganjing Rupiah

Pengantar.

Pak Rene Setyawan adalah pensiunan Bank Indonesia. Saya mengenal beliau dahulu kala, awal 1990-an saya saya sering meliput di Bank Indonesia. Humas BI sekaligus Kepala Pasar Uang dan Giral saat itu adalah Pak Dahlan Sutalaksana. Untuk ukuran sebuah rejim yang tergolong tertutup, paternalistik di era Soeharto, Pak Dahlan menurut saya adalah juru bicara yang keren. Sangat informatif dan terbuka terhadap media. Sabar. Saya sering ketemu Pak Rene saat saya main sore ke kantor Pak Dahlan.

Jadi, ketika gonjang-ganjing Rupiah terhadap Dolar AS pekan-pekan ini, via Facebook saya mengilik Pak Rene agar menyampaikan pendapatnya. Ya, alhamdulillah kami terkoneksi di FB.

Di bawah ini pendapat Pak Rene yang dimuat di status Fbnya. Saya sudah minta ijin menyebarluaskan pendapat ini. Disclaimer: Tidak semua pendapat dan pandangan Pak Rene ini saya setuju. Termasuk juga saya tidak mengecek kebenaran data yang dikutip oleh Pak Rene di tulisannya di bawah ini. Sebagai sebuah opini pribadi dari orang yang pernah bekerja di BI, menurut saya layak dibaca. Anda bisa setuju, bisa tidak. Namanya juga opini 😉

Soal Gonjang-ganjing Rupiah vs Dolar AS:

Saya tidak tahu harus mulai dari mana karena seperti benang ruwet Melemahnya Rupiah akhir2 ini dan sempat menyentuh Rp 13.000/USD telah banyak mendapatkan tanggapan, Mbak, dari analis pasar, pengamat, Pemerintah melalui menteri/Menko bahkan Presiden dan Wapres sendiri tak urung memberi tanggapan.

Kesimpulan saya dari semua itu, kebanyakan analis pasar hanya melihat pada teknikal saja tanpa memahami dinamika fundamental dan struktural yg sedang terjadi. Kalau penjelasan Pemerintah saya juga menangkap adanya hal-hal yang tidak disampaikan dengaan jelas dan terbuka.. Entah karena kesengajaan (artinya tahu) entah karena kelengahan atau ketidaktahuan.. Hanya Tuhan dan yang memberi penjelasan yang tahu.
Pertama, mengenai melemahnya Rupiah bagi saya jelas disebabkan beberapa faktor. Penguatan USD secara global diakibatkan oleh monetary stance dari The Fed, yg secara singkat, melepas monetary easing dan mengarah pada pengetatan seperti tercermin dari peningkatan suku bunga dan diperkirakan masih akan meningkatkannya lagi dalam beberapa waktu kedepan. Ini menyebabkan berbagai pihak memburu USD sehingga otomatis nilainya terangkat. Itulah yg awalnya menggerus nilai Rupiah.
Kedua, celakanya, Pemerintah membuat suatu kebijakan yg men-trigger peningkatan ekspektasi inflasi di dalam negeri. Pemerintah menaikkan harga BBM dengan alasan mencabut sebagian subsidi BBM. Ini langkah yg sangat tidak logis karena subsidi BBM yg dicabut ini menurut berbagai penjelasan pejabat Pemerintah (simpang siur) akan dialihkan. Kalau akan menyelamatkan APBN dengan cara mengurangi subsidi agar defisit APBN terkendali, kenapa subsidi BBM dialihkan? Itu bukan langkah penyelamatan APBN.

Intinya yg ingin saya katakan adalah bahwa Pemerintah telah menaikkan harga BBM BUKAN karena faktor fundamental yang mendesak tapi lebih pada alasan politis yakni pemenuhan janji-janji kampanye yang tidak jelas sumber pendanaannya. Kalau memang tujuannya penyelamatan APBN maka harga BBM tidak perlu, saya ulangi TIDAK PERLU, dinaikkan karena subsidi BBM dengan sendirinya akan berkurang akibat turunnya harga minyak dunia secara signifikan. Bukankah pada waktu Pemerintah mengkaji kemungkinan kenaikan harga BBM harga minyak dunia memang sudah turun dan menunjukkan kecenderungan akan turun lagi.

Maaf saja kalau saya mengatakan ini adalah kebijakan yang sangat ceroboh. Sekarang harga minyak dunia sudah turun sampai 55 USD/barel. Apa artinya? Menurut perhitungan saya dengan 55 USD/b maka harga BBM premium di dalam negeri cuma sekitar Rp 7100/liter yang dijual Rp 8500/liter (diluar biaya distribusi oleh Pertamina).. (Ingat, premium bersubsidi yg dijual 8500/liter menurut penjelasan Pemerintah masih mengandung subsidi sebesar 1500/liter. Itulah biaya distribusinya).

Artinya saat ini Pemerintah yang disubsidi oleh rakyat pengguna BBM premium. Dengan harga minyak dunia sekarang sudah tidak ada lagi subsidi BBM oleh Pemerintah. Rakyat yang sudah dibuat terimbas oleh kebijakan kenaikan harga BBM dan hidupnya semakin susah malah harus mensubsidi Pemerintah melalui harga BBM yang overpriced. Kembali pada efek kenaikan harga BBM yang telah meningkatkan ekspektasi inflasi, masyarakat, khususnya yang memiliki banyak uang, mulai mencari berbagai peluang utk mempertahankan kemakmurannya dan mencari keuntungan bila memungkinkan.

Kebetulan nilai USD sedang menguat maka kesanalah mereka menyerbu dan perilaku ini semakin memperparah kejatuhan nilai Rupiah. Belum lagi mereka yang bermain di pasar Valas. para trader pada umumnya bukan ekonom dan prinsip trader adalah a harga yang terjadi di pasar belum menggambarkan harga yang sebenarnya.. Bisa over valued, bisa under valued sampai pasarnya jenuh.. dengan demikian mereka (trader FX) akan selalu mencoba melempar harga. Apalagi dengan adanya produk derivatif NDF (non delivery Forward) Rp/USD yang diperdagangkan di Singapura dan Hongkong. Produk ini sama saja artinya bahwa pasar mempunyai amunisi Rupiah yang tidak terbatas. Semakin hancur nilai Rupiah dalam tekanan kenaikan nilai USD dan kesalahan kebijakan yg tidak dipikirkan dengan matang.

Sekarang ada pemeo: “foreign banks play, the people pay”. Off-shore Rupiah tidak terbatas dan memungkinkan para trader melakukan transaksi short Rupiah tanpa batas sampai mata uangnya kolaps. Kesimpulan singkat saya, menguatnya nilai USD secara global dan diperparah oleh kebijakan Pemerintah yang tidak logis itu yang menjadi penyebab nilai Rupiah semakin terpuruk. BI memang telah menaikkan suku bunga 25bps segera setelah kenaikan harga BBM tapi itu tidk cukup utk meredam laju inflasi dan pelemahan nilai Rupiah.

Mudah2an awal tahun 2015 Pem bersedia mengoreksi harga BBM utk setidak2nya mengurangi pengaruh rembetan dari kenaikan yg telah terjadi. Dan BI bisa lebih fokus pada kebijakannya utk mempertahankan nilai Rupiah

 

 

Sekarang saya ingin menyampaikan pandangan saya mengenai hal2 yang terkait dengan pelemahan Rupiah. Menurut berita, JK menyatakan bhw pelemahan Rupiah itu bagus karena bisa meningkatkan ekspor dan daya saing kita. Ini mengabaikan fakta2 lain. Pernyataan itu hanya bisa benar bila pelemahan Rupiah terjadi tanpa tekanan inflasi dan tidak ada ketergantungan impor oleh industri kita.

Coba kita simak 2 kata kunci di sini yaitu “ekspor” dan “daya saing”.
EKSPOR kita dilakukan oleh banyak industri yang masih tergantung pada impor bahan baku, bahan penolong dan barang modal. Menurut catatan, ada lebih dari 60% industri lokal yang bergantung pd bahan baku, bahan penolong dan barang modal impor. Lihatlah industri farmasi dan otomotif kita yang ketergantungan impornya bisa mencapai 95%.

Artinya, melemahnya Rupiah justru membuat harga produk akhir industri2 ini menjadi lebih mahal dari harga sebelumnya. Bila ini adalah produk2 yg diekspor maka memang nilai ekspornya akan meningkat dalam Rupiah. Disini kita harus hati2 menafsirkan datanya.. Kenaikan ekspor baru berhasil bila terjadi kenaikan volume ataupun bila kenaikan nilainya adalah dalam USD (seperti dicatat Neraca Perdagangan dlm BOP/Neraca Pembayaran). Kenaikan nilai ekspor dalam Rp tdk bisa ditafsirkan sebagai kenaikan nilai ekspor kecuali nilai ekspor itu dinilai dalam USD ataupun volume/kuantitasnya.
Saya justru melihat bahwa pernyataan Pemerintah seperti diatas tdk dipikirkan baik2 sebelum dilontarkan. Kalau merujuk pada pernyataan menteri2, yang masing-masing notabene juga mewakili Pemerintah malah bisa lebih bingung lagi dengan pola pikirnya. Kesannya seperti sudah desparate alias tidak tahu harus bagaimana lagi seperti disampaikan Menko Perekonomian.

Saran saya, sebagai pejabat Pemerintah mereka harus lebih hati2 menyampaikan sesuatu karena bila timbul kesan kebingungan maka pemain di pasar akan kehilangan keyakinan dan menjadi panik.
Selanjutnya, saya mencoba menyampaikan pandangan mengenai “daya saing”. Bagaimana daya saing kita akan meningkat karena melemahnya Rupiah ? Saya tidak sanggup menyelami pemikiran dibalik kata2 itu. Faktanya adalah, selain ketergantungan impor utk memproduksi barang yg diekspor seperti sudah saya sampaikan diatas, daya saing juga bergantung pada skala produksi dan biaya produksi. Disini lagi2 kita berada dlm kondisi yang kurang menguntungkan. Biaya produksi bagi semua industri kita akan meningkat karena adanya kenaikan UMP dan ditambah dengan kenaikan biaya energinya sehubungan dengan kenaikan harga BBM.

Bagi banyak industri yang sudah terpaksa menaikkan harga produknya sebagai akibat melemahnya Rupiah, akhirnya juga harus menaikkan harga produknya sebagai akibat kenaikan biaya energi (listrik dan bahan bakar bila menggunakan sumber energi sendiri). Final outcome adalah kenaikan harga produk dalam negeri. Ini akan sulit utk meningkatkan daya saing kita dengan negara2 lain yg juga memproduksi barang sejenis dan sekualitas. Akankah ini bisa memperbaiki neraca perdagangan kita?
Sekarang kita lihat, policy stance BI utk menetralkan dan memperkuat fundamental perekonomian kita. DGS (deputi gubernur senior) BI, Mirza Adityaswara, mengatakan bahwa dalam rangka pengendalian inflasi akibat kenaikan harga BBM maka BI menaikkan suku 25bps segera setelah pengumuman kenaikan harga BBM. Apakah masih akan menaikkan lagi suku bunga masih belum jelas..

Sepertinya mereka menganggap 25bps sudah cukup. Mereka mungkin melupakan bahwa Rupiah pun sedang melemah cukup signifikan. Kita tidak lagi menerapkan rezim kontrol devisa dan melarang pelarian atau penyeberangan. Oleh karena itu, kita hanya bisa menggunakan instrumen yg ada yang bila diterapkan dengan cermat sebenarnya akan bisa mengurangi tekanan terhadap Rupiah.

Menurut saya 25bps tidak cukup. Perlu diingat bahwa The Fed kemungkinan masih akan menaikkan suku bunga acuannya. Saya dapat mengerti bahwa bagi BI ini sangat dilematis karena peningkatan suku bunga yg cukup signifikan akhirnya akan membebani APBN. Dalam mengkaji kebijakan dan strength dari suatu kebijakan bank sentral harus netral.. tidak memihak pada Pemerintah atau siapapun.. Yang diutamakan dalam pertimbangan adalah perekonomian negara secara keseluruhan dan masyarakat secara keseluruhan.
Kemudian, mengenai melemahnya Rp, DGS ini juga mengatakan bahwa BI menginginkan Current Account defisit yang sustainable yg dapat dibiayai oleh pendanaan luar negeri. BI tidak ingin current account surplus karena kita masih butuh impor apalagi Pemerintah ingin fokus membangun infrastruktur. Ini yang disampaikan DGS itu yang menurut saya menunjukkan ketidakpahamannya tentang apa yang disampaikannya.

Maaf saja, saya tidak terlalu heran karena dia bukan orang yang dibesarkan sebagai central banker jd pola pikirnya tidak terbiasa. Apa yg dia maksud current account juga tidak jelas karena impor jelas tidak dicatat dalam current account. Defisit current account berarti lebih banyak Outflow. Bagaimana kita bisa mengatakan current account defisit bila arus masuknya lebih besar? Apakah yang dimaksudnya current account defisit yang terjadi itu kemudian dibiayai dengan pendanaan (pinjaman) luar negeri ?

Celakalah generasi2 penerus kita nanti dengan warisan utang luar negeri yang terus membengkak kalau itu yang terjadi. Dimanapun di dunia ini semuanya menginginkan dan berusaha untuk menciptakan surplus current account atau paling tidak balance agar tidak ada sumber dalam negeri yang mengalir keluar. Bagi negara2 yang banyak utang luar negerinya maka current account ya memang defisit pada umumnya karena pembayaran angsuran dan bunga pinjaman utang itu dicatat sebagai Outflow dalam current account.

Saat ini di negara kita utang luar negeri swasta juga sdh sangat besar dan membebani current account, selain hutang negara ke luar negeri. Kondisi ini perlu diwaspadai pada saat Rupiah mulai terpuruk. Tentu kita masih ingat kejadian sewaktu krisis moneter 1998 dulu dimana hutangnya luar negeri swasta menjadi bengkak dan tidak dapat dibayar karena nilai lawannya (Rp) tidak dapat disediakan. Apakah kita akan kembali menerapkan pembatasan pinjaman luar negeri oleh swasta ? Mudah2an tidak diperlukan.

Saya hanya bisa berharap bahwa Pemerintah dan BI melakukan tugasnya dengan cermat, terintegrasi, tepat waktu, terukur dan profesional demi kepentingan negara dan rakyat Indonesia. Hindari penunjukan2 yang didasarkan pada koncoisme, kronisme, nepotisme dan kepentingan segelintir pihak. Maaf bila pendapat saya tidak berkenan bagi pihak2 tertentu karena saya tidak bermaksud menyinggung siapapun melainkan hanya menyampaikan pandangan dan pendapat saya.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
JOKOWI JANJI BANGUN 50 DAERAH PERBATASAN
Next post
SEJUMLAH KONTROVERSI KEBIJAKAN DI ERA JOKOWI

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *