SIARAN PERS DNPI: HASIL KTT PERUBAHAN IKLIM COP 20
Siaran Pers:
Konferensi Perubahan Iklim Lima, COP20/CMP10 UNFCCC, berakhir pada Minggu, 14 Desember 2014 dini hari. Pertemuan mengalami penundaan penutupan hingga 36 jam akibat alotnya pembahasan dan perundingan di antara negara maju dan negara berkembang untuk menyepakati keputusan yang dimandatkan oleh COP19 di Warsawa lalu. Pada akhirnya, setelah melalui serangkaian konsultasi informal yang secara langsung dilakukan oleh Presiden COP20/CMP10, Manuel Pulgar-Vidal, Menteri Lingkungan Hidup Peru, keputusan yang dinamakan Lima Call for Climate Action diadopsi secara aklamasi oleh seluruh Negara Pihak UNFCCC pada Minggu, 14 Desember 2014, jam 01.25 waktu Lima.
Lima Call for Climate Action merupakan keluaran utama dari perundingan yang dilaksanakan di Lima sejak 1 Desember 2014. Dalam keputusan ini, semua Negara Pihak menyepakati bahwa upaya pengendalian dan penanganan perubahan iklim masa depan akan dilaksanakan di bawah Konvensi Perubahan Iklim dengan menggunakan keluaran legal yang akan disepakati pada tahun 2015. Keluaran legal yang memiliki kekuatan mengikat bagi seluruh Negara Pihak ini dapat berbentuk Protokol (sebagai pengganti dari Protokol Kyoto), instrumen legal lain, maupun kesepakatan dengan kekuatan implementasi legal. Dalam keputusan yang
sama, seluruh Negara Pihak juga menyepakati bahwa intended nationally determined contributions (INDCs) yang merupakan bentuk partisipasi aktif masing-masing Negara Pihak, harus disampaikan oleh seluruh Negara Pihak sebelum berlangsungnya COP21 di Paris pada akhir 2015.
Setelah melalui perdebatan dan perundingan yang cukup panjang, pada akhirnya disepakati bahwa setiap Negara Pihak berdasarkan kondisi dan kapasitas nasionalnya harus menyampaikan kontribusi dalam hal mitigasi untuk memastikan terkendalikannya emisi gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer sehingga dapat menekan terjadinya peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer yang akan berdampak pada meningkatnya temperatur rata-rata dunia. Mengingat upaya global pasca 2020 harus dilaksanakan oleh semua Negara Pihak, maka tidak ditutup kemungkinan bagi masing-masing Negara Pihak untuk dapat menyampaikan konstribusi dalam bentuk perencanaan dan pelaksanaan aksi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim
Dalam keputusan yang sama juga ditekankan pentingnya informasi yang harus disampaikan bersama dengan INDCs sebagai klarifikasi mengenai kontribusi tersebut serta untuk memungkinkan dilakukannya agregasi seluruh kontribusi mitigasi yang ada sehingga dapat dihitung kemungkinan gap (kesenjangan) aksi mitigasi yang harus dipenuhi pasca 2020. Keputusan ini juga menegaskan kembali pentingnya peran mekanisme pendanaan yang bersumber dari negara maju dengan tidak menutup kemungkinan sumber pendanaan dari
berbagai pihak maupun negara lain yang memang berniat melakukannya. Sebagaimana dipahami, upaya global pasca 2020 tidak dapat dilepaskan dari capaian upaya global hingga 2020 di bawah Konvensi Perubahan Iklim maupun di bawah Periode Komitmen Kedua Protokol Kyoto khususnya bagi negara maju.
Oleh karena itu, keputusan utama ini juga menekankan pentingnya berbagai aksi termasuk kolaborasi berbagai pihak untuk meningkatkan aksi mitigasi agar sejalan dengan Laporan Kajian IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Keputusan ini juga dilampiri dokumen draft elements for negotiating text yang akan menjadi basis Kesepakatan 2015 sebagai keluaran dari proses perundingan penanganan dan pengendalian perubahan iklim pasca 2020.
Tindaklanjut Protokol Kyoto
Selain Lima Call for Climate Action, COP20/CMP10 di Lima juga menghasilkan berbagai keputusan penting
terutama yang terkait dengan mekanisme pendanaan di bawah Konvensi maupun di bawah Protokol Kyoto hingga 2020, serta keputusan terkait dengan adaptasi hingga 2020. Beberapa topik yang semula diharapkan dapat disepakati ternyata mengalami kebuntuan dalam pembahasannya sehingga harus diteruskan dalam pertemuan teknis yang akan dilaksanakan pada Juni 2015.
Kebuntuan ini disebabkan oleh perbedaan pandangan antara negara berkembang dan negara maju yang sangat lebar dan mendasar, termasuk dalam hal jenis dan lingkup informasi yang harus disampaikan oleh negara berkembang sebagai bagian dari safeguard pelaksanaan kegiatan kehutanan di bawah REDD+, serta definisi, peran dan pemanfaatan berbagai mekanisme fleksibilitas di luar mekanisme fleksibilitas yang telah ada di bawah Protokol Kyoto.
Rachmat Witoelar, Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Ketua Delegasi Republik Indonesia (Delri) menyatakan hasil dari pertemuan di Lima memerlukan tindak lanjut di dalam negeri. “Penyiapan kontribusi Indonesia dalam bentuk INDCs harus dipastikan tidak menjadi beban tambahan dalam pelaksanaan pembangunan nasional,” ungkap Rachmat Witoelar dalam pertemuan di Lima kali ini.
“INDCs yang akan disampaikan Indonesia harus terfokus pada kebutuhan pembangunan nasional Indonesia. Dengan fokus pembangunan pada sektor maritim, ketahanan energi dan ketahanan pangan, sudah selaiknya Indonesia dapat memanfaatkan INDCs sebagai peluang untuk memastikan berjalannya proses pembangunan nasional yang sekaligus akan memberikan kontribusi pada upaya bersama untuk mencegah kehancuran dan bencana katastrofik akibat terjadinya perubahann iklim,” tambah Rachmat.
Disamping itu, target pembangunan di sektor maritim memiliki peluang mitigasi perubahan iklim termasuk dengan optimalisasi peran transportasi laut sebagai pengganti transportasi darat terutama transportasi barang (logistik). Pengembangan energi berbasis laut dan pesisir yang terdesentralisasi merupakan opsi yang membantu Indonesia dalam pencapaian target 100% rasio elektrifikasi pada 2020 serta mempertahankannya di masa depan. Jika target pemenuhan akses listrik ini hanya difokuskan pada pengembangan pembangkit berbasis energi fosil, maka dapat dipastikan Indonesia akan menjadi negara pengemisi terbesar GRK yang memerlukan investasi yang cukup besar serta waktu pembangunan yang cukup
Selain peluang mitigasi, sektor maritim dapat dipastikan akan memerlukan perencanaan dan implementasi aksi adaptasi yang signifikan. Peningkatan temperatur global bukan hanya terjadi di udara saja melainkan terjadi pula di dalam air laut, sehingga mengakibatkan dampak dalam bentuk peningkatan keasaman air laut yang akan mengancam kehidupan berbagai biota di dalamnya termasuk ikan dan terumbu karang.
Adaptasi terhadap perubahan pola gelombang dan angin di lautan juga harus menjadi perhatian di sektor ini termasuk pengembangan wilayah pesisir sehingga perencanaan dan pembangunan yang dilakukan telah memperhitungkan berbagai kemungkinan dampak yang akan terjadi. Perencanaan pembangunan nasional di Indonesia tidak akan mengalami kerugian dan beban tambahan jika sejak awal telah mempertimbangkan penanganan dan pengendalian perubahan iklim di dalamnya. Jika perencanaan masih dilakukan dengan pendekatan business as usual yang berasumsi kondisi tidak berubah di masa mendatang, dapat dipastikan pada saat implementasinya akan banyak penyesuaian yang harus dilakukan, yang berarti memerlukan dana tambahan, akibat terjadinya perubahan iklim.
Untuk itu, data dan informasi terkini mengenai berbagai opsi teknologi (terutama terkait dengan
pengembangan energi terbarukan), kondisi iklim dan perubahan serta ancamannya, serta peluang penelitian dan pengembangan teknologi dalam bentuk kerjasama internasional yang setara, merupakan syarat utama dalam perencanaan pembangunan nasional yang memiliki perspektif masa depan yang mempertimbangkan tantangan dan ancaman perubahan iklim.
Keputusan yang juga diadopsi pada COP20/CMP10 UNFCCC di Lima adalah Lima Work Programme on Gender untuk meningkatkan kesetaraan gender dan sensitivitas gender dalam mengembangkan dan menerapkan kebijakan iklim. Juga disepakati Lima Ministerial Declaration on Education and Awareness-raising dengan tujuan mengembangkan strategi pendidikan yang memasukkan isu perubahan iklim dalam kurikulum, sementara
juga meningkatkan kesadaran tentang perubahan iklim dalam desain dan pelaksanaan pembangunan nasional dan strategi perubahan iklim.
Paviliun Indonesia
Selanjutnya serangkaian parallel event, khususnya Paviliun Indonesia, resmi ditutup oleh Moenir Ari Soenanda, Dubes RI untuk Republik Peru merangkap Plurinasional Bolivia, serta Rachmat Witoelar, Ketua
Harian DNPI/Ketua Delri.
“Di tengah sibuknya negosiasi COP20, kita masih bisa mendorong soft diplomacy melalui 25 sesi diskusi yang telah berhasil diselenggarakan di Paviliun Indonesia,” kata Moenir pada pidato penutupan Paviliun “Sebagaimana yang telah disajikan selama 10 hari di Paviliun Indonesia dengan tema Climate Talks to Climate Actions, saya yakin banyak sekali manfaat yang bisa diambil dari saling bertukar pengetahuan dan pengalaman di banyak negara. Paviliun Indonesia benar-benar efektif untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan untuk mengatasi masalah perubahan iklim,” tambah Rachmat.
Indonesia terus mendorong terwujudnya kesiapan menuju Perjanjian Iklim 2015 di Paris. Komitmen Paris adalah titik awal dalam mengawal kebijakan iklim di tingkat nasional dan internasional demi mewujudkan pembangunan rendah emisi dengan masyarakat yang mampu beradaptasi terhadap perubahan Iklim.
Untuk informasi lebih lanjut:
Amanda Katili Niode, Kepala Sekretariat, DNPI
Email: akniode@gmail.com
Moekti Handajani Soejachmoen, Sekretaris Pokja Negosiasi Internasional, DNPI
Email: kuki.soejachmoen@gmail.com
Website: www.indonesiacop.com
No Comment