HomeUncategorized[10 Tahun Tsunami] Kisah Polwan Elfiana: “Melindungi Anak, Mengobati Kehilangan"

[10 Tahun Tsunami] Kisah Polwan Elfiana: “Melindungi Anak, Mengobati Kehilangan"

AKP Elfiana, kepala unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda Aceh, saat ditemui di rumahnya, November 2014 lalu. Foto oleh Uni Lubis
AKP Elfiana, kepala unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polda Aceh, saat ditemui di rumahnya, November 2014 lalu. Foto oleh Uni Lubis

“Setiap kali masuk laporan tentang kekerasan seksual terhadap anak, “ sering kali kepala rasanya seperti hang. Mau pecah.  Sedih tak kepalang,”  kata Ajun Komisaris Polisi Elfiana. Sehari-hari polisi wanita ini bertugas memimpin unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) di Kepolisian Daerah Nangroe Aceh Darussalam, di Banda Aceh.

Saya menemui Kak Elfiana, pertengahan November lalu, malam hari, di rumahnya.  Tempat tinggalnya yang sederhana ituberlokasi di wilayah Meuraksa, tak jauh dari rumahnya 10 tahun lalu, di Blang Oi.  Kawasan ini tidak jauh dari kawasan Pantai Ulee Lheue.  Di rumah, mengenakan baju daster panjang dan kerudung, tak mengira dia seorang polisi wanita.  Masuk ke rumahnya dan duduk bersila di ruang tamu mungil, saya melihat sebuah jaket kulit digantung di dinding.  Jaket yang biasa digunakan polisi.

Jarum jam menunjukkan angka sembilan ketika kami tiba di rumah itu.  Sudah terlambat untuk bertamu sebenarnya.  Saya ditemani Kak Farida dari kantor BKKBN banda Aceh, dan Saniah dari forum jurnalis perempuan di sana.  Kak Elfiana menyambut ramah.  Dia menyiapkan beberapa gelas es sirop warna merah, meskipun kami mengatakan, jangan repot-repot.

Saya melihat ada tas sekolah anak warna merah jambu, motif boneka, tergantung di bufet kecil.  Saya tidak berani bertanya, tas siapa itu?   Anaknya?  Keponakannya?  Tujuan saya menemuinya untuk mewawancarai terkait dengan peringatan 10 tahun bencana tsunami.  Polwan Elfiana kehilangan hampir semua keluarga dekatnya: ibu, putri semata wayang yang berusia 10 tahun, suami, tiga adik dan adik ipar,  dan juga keponakan.  Bertanya mengenai pengalaman traumatis itu buat saya adalah pekerjaan sulit

Jadi, saya memulai percakapan dengan bertanya soal keseharian.  Pekerjaannya mengurusi perlindungan perempuan dan anak.  Yang ditangani termasuk kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia, terutama anak dan perempuan, kasus ketenagakerjaan.  Kecenderungan angkanya naik.  Sangat memprihatinkan.  Penyebabnya bermacam-macam.  “Kebanyakan kalau ditanyai, pelaku mengaku karena nonton video porno.  Nonton televisi atau film.  Lalu penasaran, dan mencoba-coba.  Jadi peran media besar,” kata Polwan Elfiana.  Mayoritas pelaku orang dekat korban, bahkan dilakukan anak-anak pula.

Karena lingkup pekerjaan di propinsi, PPA Polda Aceh juga menerima laporan dari kepolisian resor, di tingkat kabupaten kota. Catatan Lembaga Bantuan Hukum Anak di Banda Aceh menunjukkan dalam lima tahun terakhir ada 149 kasus kekerasan yang melibatkan anak sebagai korban maupun pelaku. Dalam tahun 2014 sudah 35 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan.

Untuk kekerasan terhadap perempuan, menurut AKP Elfiana, penyebabnya adalah faktor ekonomi sampai adanya orang ketiga dalam rumah tangga.  “Suami menikah lagi, istri tidak diberi nafkah.  Kekerasan verbal dan psikis, mencaci-maki istri dengan kata-kata tidak pantas sampai istri terganggu kondisi psikologisnya,” kata dia.  Ada juga kasus penelantaran istri dan anak.

Elfiana bertugas di PPA Polda Aceh sejak tahun 2005 hingga 2008.  Setelah itu sampai tahun 2010 dia bertugas menjadi kepala kepolisian sektor (kapolsek) Baiturrahman.  Tahun 2010 dia kembali ke unit PPA, sebagai kepala unit

Keluarga Elfiana dari pihak Ibu, asli dan tinggal di NAD.  Dia lahir di Banda Aceh.  Keluarga ayahnya yang berasal dari Jawa kebanyakan tinggal di Medan.  Awalnya Elfiana ingin menjadi guru.  Tapi karena sering melihat polisi bertugas di jalan, dia ingin jadi polisi.  Elfiana bertugas di wilayah polda NAD sejak 1988, begitu lulus pendidikan.

Ketika bencana gempa dan tsunami menerjang Banda Aceh, 26 Desember 2004, Elfiana sedang dinas upacara bendera di kantor Polda.  “Meskipun hari Minggu, kami selalu apel.  Tidak ada hari libur bagi anggota polisi dan TNI, karena saat itu Aceh dalam situasi darurat sipil,” tutur Elfiana.

Goncangan gempa pertama terjadi sekitar pukul 8 pagi.  Menurut Elfiana, mereka yang tengah upacara saat itu berpegangan tangan, sambil tetap berbaris.  Goncangan reda, komandan meminta mereka bubar jalan, pulang.  Masing-masing mengambil kendaraan, termasuk motor.  Elfiana setiap hari naik motor. Pagi itu dia tidak langsung pulang, tapi bersama ajudan direktur menuju ruangan, merapihkan senjata-senjata yang berhasil disita dari mereka yang terlibat dalam konflik, yakni antara aparat dan Gerakan Aceh Merdeka.  Elfiana tak lupa mencabut sakelar listrik, agar jika gempa terjadi tidak ada kebakaran.

Gempa kedua terjadi.  Dia diteriaki atasannya, Pak Bambang dan Pak Ali untuk keluar ruangan.  Mereka menyuruhnya segera pulang.  “Saat mengambil motor, saya lihat di depan kantor airnya sudah masuk, lalu keluar saya lihat toko-toko yang rubuh. Begitu sampai depan rumah Kapolda di lapangan Blang Padang,  sudah  banyak orang berlarian dari arah Ulee Lheue.   Elfiana menuju rumahnya.  Kuatir.

Seorang teman polisi yang ditemuinya di jalan, menyuruhnya untuk balik, memutar jalan.  “Air laut sudah naik, ” kata teman itu.  Elfiana tak habis pikir, tidak ada hujan kog air laut naik?  Ia memaksa tetap menempuh jalan ke rumahnya.  Saat sampai di rumah, baru sebentar, terdengar suara seperti letusan.  Adik iparnya penasaran, jangan-jangan itu letusan bom atau senjata.  Dia ingin melihat.  Jadi, Efiana yang tadinya berencana mengantar pulang Ibunya untuk kembali ke rumah ayahnya, di daerah Seulimum, Aceh Besar, pamit mengantar adik iparnya melihat ke arah terjadinya letusan.  Ibu Elfiana baru semalam menginap, karena mau membicarakan rencana pernikahan adik Elfiana.  Ayahnya yang datang bersama Ibu, Sabtu siang sehari sebelumnya, langsung pulang ke Seulimum.  Kuatir rumahnya dijarah.

“Itu terakhir kali saya bertemu dengan keluarga di rumah,” kenangnya.  Suaranya nyaris berbisik.

Di jalanan saat mengantar adik iparnya ia melihat orang berlarian.  Air mengalir, tahu-tahu ketika sampai di depan halaman Mesjid Raya, sudah selutut.  Elfiana melihat jenazah mengambang.  Ratusan.  “Orang-orang berlarian dengan pakaian seadanya.  Jenazah juga banyak yang tak berbaju,” kata dia.  Ratusan orang mengungsi di mesjid raya.

Melihat kepanikan dan jenazah di mana-mana, Elfiana sempat tercenung.  Dia menitipkan motornya di Taman Budaya.  “Saya berpikir, ini kiamat atau apa?  Bagaimana dengan keluarga saya?”

Elfiana mencoba menembus air setinggi dada ke arah rumahnya di Blang Oi.  Banyak yang melarangnya, tapi dia ingin melihat keadaan rumah dan keluarganya.  Sambil meraba-raba agar tidak terperosok ke selokan, Elfiana menuju rumahnya.  Di tengah jalan dia melihat bayi, sudah tak bergerak.  Ingin menolong tapi sulit dijangkau.  Terperangkap di tengah tumpukan kayu.  Dia sendiri hampir kehabisan tenaga.  Karena lelah lahir-batin, juga kekuatiran yang memuncak.

Rumahnya tinggal lantai tegel.  Lenyap.  Begitu juga kawasan di sekitarnya.  Luluh-lantak.  Tiga hari bersama ayahnya yang selamat karena kembali ke Seulimum, Elfiana keliling mencari jenazah keluarganya.  “Saya meyakinkan ayah bahwa keluarga kami akan ketemu juga.  Jadi, kami terus mencari ke berbagai titik pengumpulan jenazah,” kata Elfiana.

Sebulan lamanya, Elfiana tidak ke kantor.  Situasinya memang darurat.  Dia tak punya apa-apa lagi, untungnya bisa mengungsi di Seulimum.  Setiap hari dia mencari keluarga.  Atasan mencarinya, mengira dia sudah tak ada.  Banyak anggota polisi dan keluarganya yang tinggal di sekitar Ulee Lheue tidak selamat.  Elfiana dan anggota polisi lain yang selamat diminta melapor ke Blang Bintang, kawasan bandara Sultan Iskandar Muda.    Di sana mereka dikasi baju, makanan, lantas bantuan dari Mabes Polri.

Polri kemudian memberi tugas khusus bagi polwan termasuk Elfiana.  Pasca tsunami dan gempa di Aceh, beredar informasi terjadinya perdagangan manusia. Anak-anak korban tsunami diculik, dibawa ke luar Aceh, dijual.  Ada yang kabarnya dipekerjakan sebagai pengemis di Medan.   Mabes Polri membentuk tim gabungan yang beranggotakan polwan, pekerja sosial termasuk petugas dari dinas sosial dan Unicef, unit di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan dan kesejahteraan anak.

“Seingat saya, kami ada 50 an orang.  Tugas kami adalah mendirikan children center, juga mencegah dan menyelidiki perdagangan anak,” kata Elfiana.  Wilayah kerjanya tidak hanya di Banda Aceh, melainkan sampai ke Aceh Utara, Sigli dan daerah lain.  Tugasnya antaralain memberikan motivasi bagi anak dan menguatkan semangat hidup mereka.  “Kami didampingi psikolog anak,” kata Elfiana.  Padahal dia sendiri juga menjadi korban.  Kehilangan anak.  Keluarga.  Sama-sama mengalami trauma yang nyaris tak terperi.  Sedih.  Tapi tugas harus dijalankan.  Profesionalisme seorang polisi.

Soal laporan anak-anak Aceh yang dibawa ke luar pasca tsunami, menurut Elfiana tidak terbukti.  Beberapa kasus sempat ditangani, termasuk menggunakan tes DNA.  Tapi kabar itu tidak terbukti.

Selain Elfiana, ada sejumlah temannya, polwan dan polisi yang kehilangan sanak keluarga, termasuk anak.  Sambil keliling mengurusi anak-anak korban tsunami yang kehilangan keluarga dan rumah, Elfiana terus semangat mencari informasi soal keluarganya.  Tentang putrinya.

Perlu waktu sekitar enam bulan bagi Elfiana untuk mengikhlaskan kepergian orang-orang yang amat dicintainya.  “Saya nggak ada perasaan apa-apa, jadi saya pikir mereka pasti masih ada.  Kalau masih hidup, semoga bisa pulang mencari kami.  Kalau sudah menghadap Nya, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT,” kata  Elfiana.  Pengajian Yaasinan digelar di rumah ayahnya di Seulimum.

Tahun 2006, Mabes Polri memutuskan untuk menghentikan kegiatan children center, karena itu bagian dari kegiatan tanggap darurat dan pemilihan pasca bencana.  Elfiana sudah bertugas di unit PPA.  Mengurusi anak juga, plus perlindungan perempuan.

Rumah yang kini dia tempati adalah rumah adik sepupunya.  Dia menempatnya sejak 2007. Selain rumah lamanya sudah luluh-lantak, dia tak sanggup kembali ke rumah tempat ia berpisah dengan keluarga, saat tsunami menerjang, hampir 10 tahun lalu.  Sebenarnya lokasinya masih di area rawan tsunami juga.  “Tapi sekarang saya sudah tidak takut.  Ikhlas.  Kalau ada bencana, berserah kepada Allah,” ujar Elfiana.

Bertugas di PPA, menolong anak-anak korban kejahatan, menjadi semacam “terapi” juga buat AKP  Elfiana.  Sambil mengingat kenangan manis atas putrinya.  Setiap tahun, di bulan Desember, ia mengunjungi pemakaman massal korban tsunami, baik di Ulee Lheue maupun di Lambaro.  Terutama yang di Ulee Lheue karena dekat dengan tempat tinggalnya.  “Sedihnya pasti tidak akan hilang.  Makanya, berat banget menceritakan tragedi itu.  Baru malam ini saya bicara lagi soal kejadian tsunami.  Saya nggak pernah mau,” ujar Elfiana.  Nampak jelas, polwan ini mencoba tegar atas cobaan berat dalam hidupnya.

Suasana wawancara terhenti sejenak.  Kami minum sirop yang tak dingin lagi.  Esnya mencair berapa puluh menit lalu.  Saya melihat ke sekeliling ruangan kecil, tempat kami duduk di atas karpet, mendengarkannya berkisah soal tsunami.  Saya bertanya lagi tentang pekerjaannya sehari-hari.

“Pernah saya menerima kasus perkosaan terhadap anak usia tujuh tahun.  Yang melakukan kakaknya sendiri, usia sembilan tahun. Saya ingin menjerit.  Malamnya biasanya saya tidak bisa tidur.  Bagaimana agar saya bisa mencegah hal seperti ini terus terjadi?” kata Elfiana.  Dia merasa sudah melakukan beragam cara.  Sosialisasi ke sekolah-sekolah.  Ada program “Polisi Saweu Sikola”. Kerjasama antar instansi.  Kampanye dan edukasi pencegahan.  Tapi angkanya terus naik.  “Ada kasus, mereka melakukannya karena melihat ayah dan ibunya melakukan hubungan badan.  Anaknya melihat.  Lalu ingin mencoba.  Jadi, orang tua juga menjadi penyebab.  Edukasi ke orang tua juga penting,” kata dia.

Pengawasan.  Ini yang kini menjadi  tugas penting unit PPA yang dipimpin Elfiana.  Memastikan semua pemangku kepentingan mengawasi dan mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak dan perempuan, terutama kejahatan seksual.  Menurut Elfiana, Aceh yang kian terbuka pasca bencana tsunami, mungkin saja membuat akses ke media termasuk ke materi pornografi kian terbuka.  “Tapi, itu bukan penyebab utama, seperti saya katakan, pengawasan dan edukasi di masyarakat Aceh juga penting,” tutur dia.

Apa yang terjadi di Aceh, juga menjadi gambaran besar di tingkat nasional.  Indonesia sudah masuk fase darurat kejahatan seksual.  Saya menuliskannya untuk Rappler.com, di sini.

Tugas berat ini yang mengisi hari-hari AKP Elfiana.###

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
IBUKU DAN GERAKAN MINUM JAMU
Next post
JOKOWI WARISI STABILITAS EKONOMI DARI SBY

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *