[10 Tahun Tsunami] Kisah Maisarah: Selamat dari Tsunami Karena Nyangkut di Pohon
Istri pendiri Aliansi Jurnalis Independen Aceh ini kehilangan suami dan tiga anak. Kisahnya selamat dari tsunami menggetarkan hati.
“Abang orangnya tegas. Sebagai wartawan, sangat profesional. Saat meliput konflik dulu, sering diancam. Malam-malam ada telpon ke rumah. Orang meneror. Mengancam anak kami dan saya juga sebagai istrinya. Tapi dia enggak mau cerita, meskipun setelah menerima telpon mukanya tegang. Dia coba tutup sendiri semua masalah itu dari kami. Sampai saya bilang, masak Abang enggak mau cerita pada istri?.”
Maisarah tak bisa menyembunyikan rasa bangga, ketika menceritakan sosok almarhum suaminya, Muharram M.Nur. Muharram adalah wartawan yang disegani di Aceh. Dia menjadi salah satu dari 27 wartawan Aceh yang menjadi korban tsunami. Saat bencana gempa dan tsunami terjadi, 26 Desember 2004, Muharram bekerja sebagai wartawan di Harian Serambi Indonesia, di Banda Aceh. Muharram, Maisarah dan ketiga putri mereka tinggal di sebuah perumahan di daerah Kajhu, tak jauh dari kantor Harian Serambi Indonesia, dekat kawasan Ulee Lhueue. Kawasan yang habis disapu tsunami. Sosok Muharram diceritakan dalam blog ini: Muharram Journalism College
Minggu pagi itu, sesaat setelah gempa 9,3 Skala Richter mengguncang Aceh, Muharram ditelpon kantornya. Pendiri AJI yang saat itu menjabat ketua organisasi profesi wartawan itu, diminta meliput dampak gempa itu ke penjara Kajhu. Muharram bergegas pergi. Maisarah tak punya perasaan apa-apa. Sifat suaminya memang begitu. Ada tugas, seberat apapun, selalu dilaksanakan. Berani menantang bahaya.
Putri tertua mereka, yang duduk di kelas 6 SD, sebelum gempa sempat pamit mau mengaji. Maisarah menyuruhnya memgambil yang di atas kulkas, untuk bekal. Anak kedua mereka, duduk di kelas 4 SD, sedang main di rumah tetangga depan rumah. Gempa besar membuat keduanya berbegas balik pulang. “Ayo keluar Ma, karena gempa ini berbahaya. Kitaa terletak di lempeng patahan Sumatera, rawan,” kenang Kak Mai, demikian dia biasa dipanggil. Putri tertua pasangan ini suka membaca. Mirip ayahnya. Teriakan “air…air…,” mulai terdengar, sekitar 20 menit kemudian.
Dua putri tertua Maisarah bergegas lari menjauh dari rumah menuju ke jalanan. Maisarah menyusul, jalannya lebih pelan karena menggendong putri bungsu mereka, yang berusia tiga tahun. Tiba-tiba, air dengan buih putih setinggi mata kaki menyapu kakinya. Kencang. Maisarah terpelanting, terlempar ke sawah di kiri-kanan jalan dekat perumahan
itu. Sekejap kemudian, gulungan air tsunami yang besar menyapu Maisarah, semua yang ikut berlarian bersamanya. Putri bungsunya lepas dari pelukan. “Saat terendam air tsunami, saya tetap sadar. Rasanya saya mencoba berenang mencari anak saya yang terkecil. Dua anak saya yang yang tertua entah di mana,” kenang Maisarah.
Lima belas menit terendam dalam gulungan air tsunami, Maisarah melihat anak bungsunya. Sempat dia gapai. “Matanya sudah memutih. Lemas. Tidak ada nafas. Lalu dia terlepas lagi dari tangan saya,” kata Maisarah. Saya menemui Maisarah di rumahnya, menjelang Maghrib, awal November lalu. Dia masih tinggal di rumah yang dulu ditinggali bersama almarhum suami dan ketiga putrinya, sebelum tsunami merenggut orang-orang tercintanya, 10 tahun silam.
Maisarah selamat karena gelombang tsunami melemparkannya ke atas sebuah pohon Palem setinggi lima meter. Lokasi pohon tak jauh dari rumahnya. Ketika diayun ombak, dia meraih pohon itu dan mencengkeram batangnya sekencang mungkin. Tak peduli telapak tangannya berdarah memegangi bagian pohon yang berduri. Megap-megap, antara hidup dan mati, dia bertahan sebisanya. “Saat air surut, dia membuka mata, “langitnya masih ada. Putih. Saya berpikir, berarti belum kiamat.” Tubuhnya penuh luka.
Kencangnya sapuan tsunami menabrak apa saja. Rumah dan bangunan rata dengan tanah, lemah. Perabot berat seperti tempat tidur, kasur, bahkan pintu rumah, berserakan menggunung di lokasi terdampak. Korban tewas berserak. Maisarah tak punya tenaga. Sekelompok tentara yang tengah patroli mencari korban di dekat situ, membantunya untuk turun.
Sayup-sayup dia mendengar orang bercakap-cakap, siang itu, beberapa jam setelah tsunami. “Yang sudah meninggal biarkan saja dulu, kita cari yang masih hidup,” demikian percakapan tentara-tentara ini. “Saya berupaya teriak, tolong…tolong saya masih hidup,” kata Maisarah.
Tubuhnya yang lemas dan tidak bisa digerakkan digotong menggunakan sebuah pintu rumah sebagai tandu. Tentara penolong membawanya ke mesjid di Lambaro. Sudah banyak pengungsi di sana. Kuatnya sapuan tsunami membuat baju Maisarah lepas. Tinggal pakaian dalam melekat di tubuhnya. Tentara penolong mencarikan sarung pinjaman untuk menutupi tubuh Maisarah. Mereka lantas membawanya ke Rumah Sakit Kesehatan Kodam (Kesdam) di Banda Aceh.
Tidak lama di RS Kesdam, tentara memutuskan membawa kembali Maisarah ke mesjid di Lambaro. Mereka kuatir meninggalkan Maisarah di sana, karena pasien begitu banyak, dan tidak ada yang kenal dan dikenali Maisarah. “Kalau ada gempa lagi, Kakak bisa ditinggal. Keinjak-injak di sini. Lebih baik kami membawa Kakak ke mesjid ya,” kata tentara
itu.
Hari kedua sesudah tsunami, Maisarah bertemu adik ipar yang mencarinya ke lokasi rumah, dan mencoba melihat ke mesjid tempat pengungsian. Keluarga Maisarah di Sigli dikontak. Abang kandung Maisarah menjemput. Tidak mudah juga transportasi ke Sigli, karena pomba bensin tidak beroperasi.
Maisarah harus menjalani beberapa kali operasi untuk menyembuhkan luka di tubuhnya. Sampai kini bagian pundaknya masih sering terasa sakit. Telapak tangannya menjadi sangat sensitif, bagai kehilangan kulit pelindung. Saya memegang telapak tangan Maisarah saat kami wawancara. Lembut, sensitif. “Rasanya geli kalau memegang barang,” kata Maisarah. Dampak memegangi bagian berduri pohon palem untuk bertahan dari seretan tsunami.
Luka fisik bisa disembuhkan. Meskipun lama. Selama duka mendalam dan trauma yang dialami Maisarah. Tiga tahun lamanya, dia begitu sensitif terhadap suara gemuruh air. Kalau dirawat di RS serba susah. Ditempatkan di lantai dasar, dia trauma ada tsunami lagi. Ditempatkan di lantai atas, Maisarah ketakutan kuatir ada gempa dan dia tak bisa segera lari. “Kalau ada gempa, otomatis saya ingin melompat ke luar rumah,” kata Maisarah.
Lima bulan setelah gempa dan tsunami, barulah Maisarah kembali ke Banda Aceh. “Tadinya saya enggak mau balik ke sini. Tapi ada banyak urusan yang harus diselesaikan. Urusan dengan kantor Abang. Urusan Jamsostek,” demikian Maisarah. Dia harus didampingi keluarga dekat, karena trauma itu. Melihat anak-anak kecil, Maisarah tidak bisa. Teringat dia kepada tiga putrinya. “Saya sempat merasa marah, kepada tetangga. Suami-Istri, mereka menyelamatkan anak-anaknya. Selamat. Kog saya harus kehilangan semuanya? Kan saya mencoba selamatkan anak
saya juga?”.
Semua perasaan itu bagian berat dalam hidup pasca tsunami yang harus dijalani Maisarah. Begitu dalamnya trauma, dia sempat kehilangan kemampuan membaca. “Abang saya membaca koran, saya tanya, itu apa? Lalu melihat televisi ada gambar. Saya tanya, itu apa? Ada gambar tsunami, saya merasa kog itu sama dengan yang saya alami. Jadi saya sempat enggak bisa memikirkan apapun. Di pikiran saya cuma ada suami dan tiga anak. Lainnya tidak ada,” kata Maisarah. Blank.
Wawancara kami sempat terhenti beberapa kali karena Maisarah terisak-isak. Saya membiarkannya. Tidak memaksanya untuk berbicara kalau dia tidak siap, atau tidak mau. Juru kamera yang merekam wawancara kami, seorang wartawan lokal, kemudian berbisik kepada saya.
“Kak Mai kelihatan nyaman menceritakan pengalamannya ke Bu Uni. Kelihatan dari raut wajahnya di lensa kamera,” ujar juru kamera ini. Wawancara juga ditemani oleh teman jurnalis perempuan Aceh, Saniah dan Kak Farida yang mengenalkan saya ke Maisarah. Mungkin ini juga yang membuat Kak Mai mau terbuka menceritakan pengalaman traumatis itu.
Ada sosok yang dia kenal, hadir saat wawancara. Bersyukur, akhirnya Kak Mai mau berbagi pengalaman itu. Dia terisak, saya pun tak kuasa menahan aliran air mata.
Tragedi kehidupan yang dialami Maisarah luar biasa berat. Pengalamannya lolos dari maut saat tsunami, bagaikan mukjijat. Keajaiban. Alllah SWT berkehendak. Mengambil. Menyelamatkan. Berbulan-bulan, bertahun-tahun kemudian Maisarah belajar untuk ikhlas. Merelakan suami dan anak-anaknya. Dia sering memimpikan anak-anaknya.
“Dalam mimpi-mimpi itu, anak-anak nambah riang. Bahagia. Lalu suami saya muncul, sambil tersenyum bilang, anak-anak sama ayah saja ya,” tutur Maisarah. Saya merinding mendengar cerita ini. Begitu dalam duka Maisarah. Tak terperi. “Setiap kali ada berita atau informasi ditemukan anak korban tsunami, saya pasti memaksakan untuk melihat. Cek langsung. Siapa anak itu?” kata Maisarah.
“Perasaan tidak sendiri, dukungan orang tua dan keluarga, membuat saya bangkit. Kami sering kumpul-kumpul di sini. Berbagi cerita. Kalau cerita sedih, tentang kehilangan, kami menangis bareng. Ada yang lucu, ketawa bareng. Saya minta maaf kepada tetangga yang sempat saya cuekin, karena saya merasa kog dia bisa menyelamatkan keluarganya? “
Dua tahun kemudian, Maisarah diminta untuk bekerja di sekretariat AJI di Banda Aceh. Teman-teman suaminya memikirkan Maisarah, dan berharap kesibukan bekerja membuat istri kolega mereka, almarhum Muharram, bisa melanjutkan hidup. Melupakan keluarga tercinta tidak mungkin. Setidaknya tidak sendirian sepanjang hari di rumah yang menyimpan kenangan indah, juga trauma tsunami.
AJI Banda Aceh juga mengekalkan kenangan profesionalisme Muharram dengan mendirikan sekolah jurnalistik yang diberi nama Muharram Journalism College. Sekolah ini berdiri tahun 2008, atas kerjasama AJI dan sebuah lembaga non pemerintah dari Kanada, Development & Peace. Tujuan pendirikan sekolah jurnalistik yang pertama yang didirikan oleh AJI ini untuk mencetak jurnalis-jurnalis profesional.
“Teman-teman Abang ingin agar jurnalis muda mengikuti jejaknya. Abang pasti senang,” kata Maisarah. Matanya yang masih sembab, nampak berbinar. Senyum kembali muncul di wajahnya. ##
No Comment