KISAH DI IPB: ANAK AYAM SUKAMAJU
Ini Catatan Bang Rusdian Lubis di Facebook-nya. Banyak yang menarik, terutama tentang masa-masa di IPB. Beliau punya pengalaman luas, termasuk pernah menjadi EVP/deputy CEO PT Freeport Indonesia dan bertugas di Asian Development Bank di Manila. Belum lama selesai bertugas di ADB. Seorang environmentalist, penulis yang bagus dan lincah bahasanya. Memori-nya soal masa-masa kuliah di IPB sangat kaya. Saya minta ijin Bang Rusdian, yang juga senior saya di Eisenhower Fellowships untuk menyebarluaskan tulisan-tulisannya. Teman-teman alumni IPB dan yang bukan, silahkan menikmati. Yang ingin menuliskan masa-masa di IPB juga, silahkan lho.****
(Lanjutan Menjadi Sunda dan Banondari)
Setelah patah hati dengan Enas pesinden primadona dari Sirnagalih, HP makin serius. Tiap pagi makin rajin suka jalan ke arah balong ikan dikelilingi pohon turi untuk melakukan sanchin kata. Kadang-kadang dia latihan makiwara memecahkan batu bata tak berdosa atau menghajar pohon turi tak bersalah dengan tendangan maegeri.
Sejak acara kliningan itu hubungan HP dengan kami team KKN Sukamaju juga rada kaku. Untunglah, Agus bersikap cuek rileks dan aku acuh tak acuh- mind my own business. Gurauan Pak Guru dan Kang Jaja-adik Pak Lurah dalam dialek Betawi Ora terkadang mencairkan suasana. Tetapi yang paling membantu mendamaikan adalah masakan Ibu Lurah.
Pagi itu aku bangun sekitar pukul 9 setelah semalaman berkeliling desa Sukamaju menyuntiki ayam berak kapur. Kepalaku pusing dan badanku mulai lemah akibat selama 3 mingguan kurang tidur. Karena sering bangun siang, kami selalu sarapan merangkap makan siang (brunch). Menu utama: nasi panas beras tumbuk asli, sayur asam, sayur lodeh atau sayur bening daun katuk dan jagung muda. On the side, pepes peda dibungkus daun singkong atau ikan asin jambal roti. Ikan asin kadang diganti dengan ikan emas atau gurami goreng atau pepes hasil tangkapan dari balong.
Menu ikan goreng juga diselang-seling dengan ayam goreng. Karena curiga bahwa itu ayam sakit tetelo, Agus anak Kebayoran menghindari makan daging ayam. Aku tak peduli. Sebagai anak sersan (anak kolong) yang biasa miskin dan rakus, aku tak pernah pilah-pilih makanan. Bagiku, daging ayam adalah kemewahan. Jaman dulu, kalau makan ayam hanya ada dua kemungkinan: aku sakit atau ayamnya sakit.
Hanya di meja makan HP nampak santai dan bersahabat. Sekali-sekali menyeringai kepedasan. Tetapi dengan nasi pulen di tangan kanan dan kerupuk kampung di tangan kiri, dia tampaknya sudah lupa peristiwa kliningan.
Menu utama selalu dilengkapi lalapan: ketimun muda, tomat, leunca, terong, petai atau jengkol. Jaman Orba, petai dan jengkol ngabalatak di pasar Jonggol tak perlu ingpor seperti jaman repormasi. Ada dua jenis petai di Sukamaju: petai beras kecil manis atau petai bahenol sebesar kuku jempol.
Bu Lurah selalu memilih jengkol tua yang mulai berkecambah setelah diperam dalam tanah. Rasanya manis dan kadar asam jengkolat menipis.
Kang Jaja yang jorang bilang untuk menghilangkan asam jengkolat (nama ilmiah IUPAC: asam (2R)-2-amino-3-(2R)-2-amino-3-hidroksi-3-oksopropilsulfanilmetilsulfanilpropanoat) tanah peraman jengkol tadi dikencingi. Logika kimianya benar: asam + basa = netral. Aku membayangkan Enas atau Bu Lurah yang melakukan titrasi alami itu.
Lalap jengkol atau petai lalu dicolekkan ke sambal terasi.
Bu Lurah Banondari yang mengulek sendiri lalu disodorkan di depanku, selalu di depanku. Sejak peristiwa sumur itu kami hampir tak pernah bicara. Jika sekali-sekali mata kami bersirobok, selalu ada semburat rona merah di pipinya. Hanya sekilas dan hampir tak kentara. Pak Lurah Halim Rahwana bahkan tidak bisa mendeteksi perubahan warna itu.
***
Tahun 1970 an ada sebuah buku tentang pembangunan pedesaan di Philippine, ditulis oleh dokter Juan Flavier berdasar catatan hariannya selama tinggal di pedesaan. Judul buku itu : Doctor to the Barrios, Experiences with the Philippine Rural Reconstruction Movement. Dokter Flavier kemudian terjun ke arena politik menjadi anggota DPR atau senator.
Buku itu membahas berbagai isyu kesehatan masyarakat pedesaan dan tantangannya terutama pola pikir dan budaya masyarakat desa serta penyelesaiannya. Pengalaman Flavier di desa bermacam ragam mulai dari program KB sampai memberantas takhayul. Gaya bahasa Flavier lugas tetapi pengetahuannya tentang desa dan persoalan pedesaan amat luas. Meskipun thema sentralnya tentang kesehatan masyarakat, buku itu juga membahas pembangunan pedesaan secara umum. Misalnya: isyu kemiskinan struktural, posisi tawar masyarakat ekonomi lemah, kekurangan infrastruktur dan fasilitas kesehatan-pendidikan.
Aku pikir hanya di jaman Soeharto ada pemikiran dan program serius tentang pembangunan pertanian dan pedesaan: program Bimas, PPS, PPL misalnya. Di IPB, program mahasiswa masuk desa bukan barang baru. Pada program 6 tahun banyak kuliah dan praktek kerja yang memaksa anak-anak IPB turun ke desa. Bahkan tokoh legendaris Pak Kasim keterusan dan kerasan tinggal di desa di luar Jawa sampai dipanggil pulang Pak Andi untuk diberi gelar sarjana.
Pada program sarjana 4 tahun, kami tidak banyak dapat kesempatan praktek di pedesaan. Waktu kami banyak habis di ruang kuliah dan laboratorium. Maka itu, program KKN menjadi amat relevan untuk mengenalkan pedesaan kepada mahasiswa gedongan seperti Agus atau Retno.
Pendekatan buku Flavier yang berdasar “common-sense” amat dipuji. Metodanya secara cepat bisa mendeteksi masalah pembangunan pedesaan, menukik ke persoalan dan mencari penyelesaian. Pesannya kepada mahasiswa universitas negeri yang disubsidi oleh rakyat adalah “bayar kembali hutangmu“ kepada rakyat. Pak Andi dan Pak Satari juga pernah mengatakan pesan ini kepada kami.
Satu premis dalam buku ini adalah jangan terburu membawakan atau memaksakan “perubahan” biarpun itu baik bagi masyarakat di pedesaan. Memahami dan “menjadi” mereka amat penting sebab masyarakat desa punya persepsi dan preferensi berbeda. Jika penduduk desa tidak melihat relevansi perubahan itu maka program pembangunan akan gagal sebab perubahan tidak bisa dipaksakan. Sebagai contoh program “gagal” adalah program KKN kami di Sukamaju Jonggol. Tapi harap maklum, sebab KKN 1975/1976 adalah program KKN IPB pertama dan belum dirancang dengan matang.
Program suntik ayam tiap malam amat berat aku rasakan. Karena terlalu banyak bergadang muka pucat karena darah berkuraaaang. Karena angin malam segala penyakit akan mudah dataaang. Biarpun bergadang ada perlunya tetapi tetap amat melelahkan.
Pagi hari setelah semalam tepar kecapekan, team Sukamaju berdiskusi mencari terobosan baru. Agus yang tidak mau pusing mengusulkan program mirip program Team KKN di desa lain misalnya: merapikan administrasi pedesaan ( jenius!), menata kantor desa (whaaa?) atau membuat peta demografi (brilyan!).
Aku usulkan program pengembangan seni-budaya masyarakat: ngibing, pencak silat, tanjidor, jipeng, topeng jantuk Betawi dan lain-lain. Karena tertarik etnomusikologi, koleksi kasetku aneh-aneh: musik Indian Apache, lagu pemakaman suku Maya, kidung sufi Afrika, blue-grass Appalachian dll. Sekarang, setelah melanglang puluhan negara koleksi etnomusikku makin beraneka. Tetapi semua sama: jenis-jenis musik yang tidak biasa/bisa dinikmati kuping manusia. Di tengah kemacetan Jakarta suka kuputar lagu klasik opera Cina yang mirip suara kucing kawin. Ini membuat keluarga dan supirku senewen.
Agus manggut-manggut pada usulanku tetapi HP menentang keras. Katanya: ”Program apa-apaan tuh, yang bener aje”. Apalagi ketika aku bilang Enas kita angkat sebagai konsultan kliningan, HP makin sewot. Dia kelihatan benci sama Enas. Cinta dan benci memang hanya dipisahkan selapis kulit bawang produksi Brebes-Pemalang. Yaaa sudah, kami keder sama HP apalagi dia sekarang makin sangar. Rambutnya gondrong, buku jari dan kepalan tangannya menghitam karena memukuli bata dan pohon turi.
Sebagai ketua team Sukamaju, HP berpikir keras. Tak lama kemudian dia tersenyum manis dan lebaaaar. Agus dan aku berpandangan: “Ini pasti berita buruk”. Kagak sari-sarinya dia tersenyum kaya idiot begitu. Gejala yang sama kalau suami sehabis pulang golf tersenyum-senyum mesra. Segera tanya kemungkinan dia beli driver atau putter baru…atau lebih buruk dari itu: caddy baru !
Waktu aku tanya program apa, dia hanya bilang: “ Udeeeeeeh, tenang aje lu berdua, gue ada pikiran bagus niiih”. Tanpa buang waktu, siang itu dia leos ke Jakarta. Dua hari kemudian, kami lihat ada truk kecil Toyota masuk ke pelataran kelurahan. Dari truk itu kedengaran suara menciap-ciap ratusan anak ayam dalam kardus. HP tersenyum lebaaaaaar dan menyuruh beberapa orang menurunkan kotak-kotak kardus berisi anak ayam negeri DOC (day old chick).
Di kantor kelurahan, Agus, Pak Lurah, Kang Jaja, Pak Guru ternganga dan aku ternganga. Sehabis mengajar Pak Guru selalu nangkring di kelurahan. Tanpa menunggu ditanya, HP menerangkan bahwa ayam-ayam ini akan dibagikan ke penduduk dalam rangka memperkenalkan ayam negeri ke Sukamaju. Agus dan aku tak bisa komentar sebab Pak Lurah, Kang Jaja dan Pak Guru amat antusias.
HP menguji: ”Gus, lu tahu gak lu bedain anak ayam, mana jantan mana betina?” Agus anak Kebayoran bilang: ”Meneketehe, kalau ayam besar gue tahu”. Karena anak-anak ayam tidak punya penis atau vagina, ada metoda khusus, kata HP:” “Guaaampaang..begini caranya”.
• Pegang anak dengan tangan kanan, jepit lehernya di antara jari tengah jari manis tangan kiri;
• Raba bagian bawah dengan ibu jari dan kelingking tangan kiri;
• Jika terasa keras, ketuk ketuk punggung anak ayam perlahan dengan jari tengah tangan kiri hingga tahinya jatuh;
• Tekan bawah lubang anus dengan ibu jari tangan mengarah ke atas, taruh telunjuk tangan kanan pada anus;
• Gerakkan telunjuk kanan dan ibu jari kanan bersama-sama sehingga anus terbuka dan kloaka bagian dalam menonjol keluar;
• Amati kloaka pakai senter jika ada tonjolan sebesar kepala jarum pentul (sic !) berarti anak ayam itu jantan. Tak ada tonjolan, betina.
“Gampang kaaaan, hehehe lu lihat nih kloaka namanya, bukan Kolaka”. Saat itu aku tidak tahu apa atau di mana Kolaka itu. HP bergurau dan wajahnya berseri-seri. Belum pernah kami lihat dia segirang itu. Bad news, baaaaad news!
Anak-anak ayam lalu disuntik vaksin tetelo. Menyuntik ayam besar mudah karena jarum masuk bisa lebih dalam tapi tidak bagi anak ayam DOC. Harus ekstra hati-hati. Kang Jaja sambil cengengesan menyuntik dada seekor anak ayam. Terlalu dalam! Akibatnya anak ayam sial tadi menjerit kesakitan dan ngejoprak sebelum kaciri dia menjadi almarhum atau almarhumah. Kang Jaja yang sadistis berkakakan, pikirnya lucu. Muka HP tampak geram dan pilu. Neneng anak Pak Lurah yang paling kecil mewek. Itulah korban pertama program anak ayam ini.
Pak Lurah Halim Rahwana punya anak tiga: Teteh (16 tahun), Halim (11 tahun) dan Neneng (6 tahun). Sayang sekali mereka mewarisi tongkrongan atau phenotype bapaknya: enggak laki enggak perempuan semua gagah gemuk kekar seperti Rahwana, sama sekali tidak mirip ibunya -Banondari yang anggun dan cantik. Teteh sudah menjanda, suaminya gugur di Operasi Seroja Tim-Tim. Tragis. Halim berandalan dan bangor seperti bapaknya yang suka kawin cerai itu. Neneng bulat gemuk sipit, hidungnya selalu meler dihiasi cairan yang warna dan konsistensinya bervariasi: bening atau kuning tergantung cuaca hari itu.
Anak ayam yang gugur itu dimakamkan dekat pematang sawah dengan upacara sederhana tapi khidmat. Sambil sesenggukan Neneng menabur bunga tahi ayam (Lantana camara sp) di atas makam. Setelah disuntiki anak-anak ayam dimasukkan ke kardus, disimpan di gudang, dikasih makan pur, diberi air bervitamin dan diterangi lampu minyak tanah supaya hangat. Ujang seorang staf kelurahan disuruh menjaga dan ngajentul semalaman menunggui anak-anak ayam. Karena masih banyak kebun buah, musang berjibun di Sukamaju.
***
Dua hari kemudian kami mengunjungi SD Sukamaju. Dengan upacara sederhana Pak Lurah dan Pak Guru membagikan anak-anak ayam negeri itu kepada anak-anak kelas 6 (kelas binaan Pak Guru). Disaksikan Kepala Sekolah, Pak Lurah berpidato singkat tentang program introduksi dan peningkatan kualitas ayam kampung, bla bla bla dsb dst. Aku tak ingat lagi dia ngomong apa.
Saat pembagian anak ayam, anak-anak kegirangan dan dan jejingkrakan. Setiap anak dapat 3 ekor: 1 jantan dan 2 betina- model poligami. Tetapi pola ini kemudian kacau sebab anak-anak saling tukar menukar. “Ayam aye cekiiing nih, tukar dong….Pak Guru; ayam aye ngape matenye merem sebele …kaye matenye si Kubil dll”. Pak Guru yang gesit itu sibuk memenuhi permintaan mereka. HP bersikeras agar sex-ratio itu dipertahankan tetapi kami sudah tidak bisa mengontrol lagi. Sebab anak-anak saling menukar tanpa persetujuan. Setiap anak dibagi makanan ayam untuk 3 hari, kandang harus buat sendiri. Jujur saja, sejak awal program ini sudah rada kacau. Premis Flavier sudah tak dihiraukan.
***
Seminggu kemudian kami datang ke SD untuk melihat perkembangan kesehatan anak-anak ayam. Kelas itu riuh rendah. Suara anak-anak manusia ribut bercampur ciap anak ayam. Satu-satu persoalan muncul. Mereka melaporkan anak ayamnya mati diterkam kucing atau dibadog anjing atau digigit tikus atawa kecemplung kakus. Kematian datang dengan berbagai cara dan tak diduga-duga. Saking sayang kepada seekor anak ayam yang kedinginan, seorang anak mengeloninya di tempat tidur. Anak ayam itu mati tertindih.
Si Kubil yang matanya merem sebelah, sobat si Halim dengan bangga menunjukkan seekor anak ayam patah kaki lalu disambung dengan lidi dan diikat tali. Anak ayam itu terpincang-pincang lalu berak di atas bangku. Pak Guru, Pak Lurah dan kami menunjukkan simpati dan duka cita mendalam atas musibah-musibah yang menimpa mahkluk Allah itu. HP mendengar segala keluhan ini dengan penuh haru dan matanya kadang tampak berkaca-kaca. Di balik wajahnya yang sangar, hatinya lembut. Wajah security tetapi hatinya hello kitty , kata pribasa sekarang mah. Sebagian anak ayam yang mati diganti dengan stok yang kami bawa dari kelurahan.
Dua minggu kemudian kami datang untuk memantau lagi. Kecelakaan demi kecelakaan, musibah demi musibah makin banyak terjadi. Tetapi kali ini minat anak-anak sudah jauh menurun dan suasana kebatinan di kelas sudah jauh berbeda. Jika ada anak ayam mati, anak-anak tidak lagi sedih atau menangis malah tertawa-tawa geli. Pak Guru dan Pak Lurah ikut menimpali!
Kimung: “Ayam saye modar ketiban kayu bakar Pak Guruuu. Kelas : “ Whahahahahhaa!’ Pak Guru dan Pak Lurah: “Heuheuheu”.
Ijah: ”Ayam saye mampus digigit tikus Pak Guruuuu. Kelas : “Xixixixixixiiiiii!”. Pak Guru dan Pak Lurah: ”Hihihihiiii..”
Kubil: ”Ayam saye kojor ketendang mostor Pak Guruuu”. Kelas :” Waaaak, wakakakakaak”. Pak Guru dan Pak Lurah: ”Waaaak, wakakakaak..”
Muka HP tampak sedih, geram, pilu dan gonta-ganti warna: merah hijau kuning kaya lampu setopan. Agus dan aku juga ikut sedih dan bersimpati dengan HP. Mungkin tak tahan lagi, Agus minta ijin ke kamar kecil kemudian aku juga menyusul. Sambil pipis kami berpandangan lalu: “Waaaak, bwahahahaaha, hihihihi !” Stalin, diktator yang kejam bilang: kematian satu dua orang itu musibah tetapi kematian ratusan atau ribuan orang itu cuma statistik.
Selama drama atau reality show anak-ayam ini, aku amati seorang gadis manis berkulit putih bening, berhidung mancung, bermata besar dan berambut pendek ikal. Wajahnya serius, dia cuma senyum-senyum jika anak-anak kampung berandalan berkakakan dan jejingkrakan. Sesekali bergumam: “Aduuuh, karunyaaa..” jika ada anak ayam mati mengenaskan. Anak-anak ayamnya juga tampak sehat dan terawat di kandang kawat. Anak-anak lain membawa anak ayam pakai kardus kecap atau mie. Gadis kecil bermata besar ini rapih dan bersih, amat berbeda dengan anak-anak SD Sukamaju lainnya yang kumal dan bau.
Perhatianku pada gadis itu tak lepas dari mata Pak Lurah Rahwana- si pakar nikah, talak, dan rujuk. Dia berbisik: ”Namanya si Mawar (bukan nama sebenarnya), anak kepala kantor pos, pindahan dari Bandung. Cantik ya hehehe, ente mau?” Jawabku berbisik juga: ”Pak Lurah, nyang bener aje…umur saya pan udah 22 tahun, anak itu paling…ya sebaya Halim, 11-12 tahun?” Pak Lurah tertawa :” Hehehe, tungguiiiin ajeeee, apa bedanya nanti 5 tahun lagi?, Kalau situ 26-27 tahun dia pan udah 16-17 tahun…suwit sepentin pan? Kalau mau, ntar saye kenalin babenye”. Rupanya Pak Lurah punya rumus mencari isteri yang telah diuji secara empiris, umur wanita : (n/2) plus atau minus 4 tahun, n= umur pria. Aku hanya garuk-garuk bokong.
***
Halim dan Neneng memelihara sekitar 10 ekor anak ayam di gudang. Tiap pagi HP menemani Neneng melihat anak-anak ayam itu. Nah, tiap pagi ada saja anak ayam yang mati dengan macam-macam sebab: kejepit jeruji kandang, digigit tikus, ada yang entah kenapa kempes saja gitu seperti balon ketusuk paku. Neneng selalu mewek setelah mengubur jenazah anak ayam. Produksi ingusnya bertambah-tambah melebihi kapasitas lapang di hidungnya, sehingga perlu irigasi.
Jenazah anak-anak ayam lalu dikuburkan dekat pematang sawah yang kemudian menjadi TPA (Tempat Pemakaman Ayam). Tetapi setelah kematian demi kematian, hati Neneng menjadi kebal dan tidak menangis lagi. Beberapa hari kemudian Neneng mulai bosan mengurus ayam, lebih suka main boneka atau main petak umpet jejeritan dengan teman-temannya.
Hampir tiap pagi, HP menengoki dan sering kembali dengan wajah muram. Suatu kali aku bersenandung: ”Kotek kotek..kotek…anak ayam turun sepuluh..mati satuuu…” Agus yang Minang menyambung: ”Oiii, oii ayam den lapeh..siko modar siko paeh”. Tapi HP mendelik dan mukanya jadi amat seram. Kami diam ketakutan. Mengalami kegagalan demi kegagalan, HP hanya berkata pelan: ”Kegagalan itu bukan karena tidak berhasil, tetapi karena tidak mencoba”. Kami berdua segan dan hormat pada HP yang sangar ini.
***
Lewat setahun setelah program KKN selesai. Aku lulus menjadi sarjana pertanian jurusan Agronomi, wa bil khusus tanaman keras dengan spesialisasi jarak tanam. Suatu hari, entah ada angin apa , aku kangen Sukamaju. Transportasi ke desa itu masih amat sulit dan harus ganti angkot berkali-kali. Sampai disana menjelang tengah hari. Hari itu minggu pagi dan tepat musim durian. Halim sudah lulus SD dan masuk SMP. Pak Lurah dan keluarganya amat bahagia melihat aku ingat kepada mereka. Halim sudah bisa naik motor dan berjanji mengantar aku kesana kemari.
Ibu Lurah tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya melihat aku datang. Mukanya berseri seri dan berkata riang: ” Ehhh, kite harus masak besar nih untuk makan siang dan syukuran Bang Insinyur.” katanya girang. Kulihat ada selarik rona merah tipis di pipinya. Kemudian dia ribut memberi perintah ke dua pembantu kelurahan untuk menjaring ikan emas dibalong dekat pepohonan turi dan memotong dua ekor ayam.
Sambil termangu-mangu dan agak malu mengingat peristiwa sumur dan burung dalam sarung itu aku berusaha menghindar dan tak bicara dengannya.
Bu Lurah juga tak berkata-kata langsung padaku. Hanya mata kami bersirobok beberapa kali. Tatapan matanya menyinarkan rasa bangga, syukur dan mungkin juga cinta. Dia sekarang agak gemukan tetapi makin cantik dengan kulit kuning langsat, bibir merah, dan mata besar berbinar-binar. Mencuri-curi, kulirik bagian tubuh yang dulu terbuka atau tertutup busa sabun di sumur. Biarpun tertutup gaun mirip daster, bagian itu masih tampak menonjol padat. Mati-matian aku tahan agar chi atau tenaga dalam ku tidak membangkitkan perangkat dibawah pusat. Aku tidak bisa menahan, bagian itu memberontak pelan pelan. Produksi hormone testosterone remaja umur 23 tahun memang menuju puncak.
Untuk meredam, aku berjalan kearah belakang rumah. Pelan-pelan, baju jeans tipis merek Wrangler kutarik keluar untuk menutupi. Kali ini Bu Lurah tidak memperhatikan sebab sibuk menyiapkan masakan.
Sambil jalan keliling, aku lihat di halaman kelurahan, aku lihat seekor ayam jago muda berbulu putih mulus, berbadan besar dan tampan. Jago muda ini mengejar, berputar-putar, dan menunggangi ayam-ayam kampung betina. Melihat aku keheranan, Pak Guru yang biasa nangkring disitu dengan bangga bilang: ”Hah, hanya satu itu… tu die nyang surpaip…hehehe. Ayo kejar, tunggangin aje..tuh babon”. Maksudnya survive- bahasa Inggris Pak Guru cukup lumayan. vocabulary boleh tapi pronunciation tak boleh.
Pak Lurah kemudian berdehem-dehem: ”Lim, lu antar Bang Sinyur dah lihat anak ayam nyang lain noh”. Aku tidak ngeh maksudnya, tapi si Halim bin Rahwana segera tanggap. Bapak dan anak itu sama jogrogan dan kelakuannya seperti Rahwana dan anaknya Indrajit atau Megananda. Sama sama belangsak. Air dari atap jatuhnya pan jatuhnya ke comberan juga. Halim bilang: ”Bang, kite lihat anak ayam lain nyok”. Aku bersemangat dan membonceng Halim ke arah pasar Sukamaju tak jauh dari situ. Aku girang dan kajili-jli (bahasa Makassar : excited) ingin melihat anak ayam lain yang surpaip.
Jalanan Sukamaju masih berlubang-lubang, geronjalan dan berlumpur. Di pasar itu, aku lihat seekor ayam betina berbulu putih gemuk menggiring anak-anaknya. Beberapa ekor anak ayam berbulu putih menunjukkan silangan atau turunan ayam negeri. Program KKN kami tidak semuanya gagal, after all. Sayang HP tidak melihat hasil karyanya. Aku bilang: “Lim. Tuh bukannye anak ayam nyang dulu kan …punya si Mawar kali ya. Pan rumahnya dekat sini, kantor pos”. Halim bin Rahwana tertawa :” Yee, baaaang bukan itu anak ayam maksud babe, kaya kagak tahu aje”. Aku masih bingung.
Lewat kantor pos, kami melihat seorang gadis berkaos putih bergambar Kimos (Mickey Mouse) membelakang menyapu halaman. Halim bilang: ”Tuuuh anak ayamnye”. Lalu anak berandal ini berkoar sekuat insangnya: ”Oiiiiiii Mawaaaaar, ade nyang nyari niiih“. Mawar kaget, lalu menengok ke arahku. Wajahnya manis segar kuning kemerahan ayu seperti irisan mangga Indramayu. Tubuhnya sudah mulai tumbuh dan menunjukkan tanda-tanda awal kewanitaan. Pinggangnya membayang, melekat pada kaos Kimos. Di dadanya tampak dua tonjolan bundar padat dan keras mirip buah manggis. Melihatku, dia kaget lalu tersenyum malu-malu. Sambil mengerling manis dia buru-buru masuk ke rumah.
Mungkin heran mendengar suara Halim gegaokan, sesosok wajah sangar, sepuluh kali lebih sangar dari wajah HP melongok dari jendela. Hidungnya dihiasi kumis melintang seperti setang sepeda unta. Halim berkata:” Babenye si Mawar, galak banget die”. Bujug busyeeeet, Mawar berduri! Halim menggenjot gas. Motor Honda meloncat menghantam lubang di jalanan. Aku hampir terlempar ke tanah pasar yang becek berlumpur. Kaboooor !
Halim dan aku kembali ke kelurahan. Makan siang dan syukuran telah tersedia di meja. Ada sayur asam, pepes ikan peda, petai, lalapan, ikan emas bakar dan goreng. Kali ini Bu Lurah membuat membuat dua cobek sambal, yang besar dan sudah terulek untuk Pak Guru, Kang Jajat, Pak Lurah dan Halim; yang kecil untukku. Bu Lurah lalu mengulek sendiri, cabai, bawang merah, putih terasi, garam, gula dan ngaprekprek bunga kecombrang.
Tangannya kecil ramping tetapi amat terampil mengulek. Berkali-kali dia berhenti dan menyuruh aku mengicipi :” Cukup pedas, kurang asin, manis ? Nada suaranya mirip suara seorang kakak perempuan, ibu, dan kekasih. Pak Lurah tak curiga dan berapa kali malah menyemangati aku untuk banyak makan. Dia juga ribut tertawa tawa dengan Halim tentang kejadian dengan Mawar dan Bapaknya yang galak siang itu. Dia memuji muji kecantikan Mawar berpuluh kali. Aku mulai curiga, jangan-jangan bandot tua ini mengincar daun muda : Mawar. Pak Lurah lupa dengan rumus n/2 plus atau minus 4 lagi.
Bu Lurah tak peduli, perhatiannya hanya padaku, Serelah mengulek sambal dalam cobek kecil kemudian dia menyendok nasi, menyiapkan sayur dalam mangkuk mengangsurkan ikan emas bakar dan menawari pilih paha…dada ? Tawaran yang jujur dan murni, tapi karena pengaruh produksi hormone, otakku mulai ‘ngeres’ mirip buah salak Bali yang diluar licin bersih tapi jika dibuka berpasir. Kalau tak ada Pak Lurah dkk barangkali cunihin ku muncul. Tapi aku jelas tak berani. Disamping itu, sikap Bu Lurah kepadaku lebih mirip pancaran kegembiraan dan kebanggaan seorang kakak perempuan atau ibu. Seorang mahasiswa IPB yang pernah tinggal hampir 3 bulan dirumahnya dan dianggap keluarga telah lulus menjadi sarjana. Sikap kasihnya dalam batasan moral dan non-seksual.
Selesai makan kami pindah ke depan. Pak Lurah menawari kopi dan kemudian berteriak kedalam. Tak lama, seorang pelayan atau staf kelurahan keluar membawakan nampan berisi tiga cangkir kopi untuk Pak Lurah, Kang Jaja dan Pak Guru. Aku agak bingung, mana kopiku ? Tapi tak lama Bu Lurah juga keluar dan membawakan secangkir kopi khusus buatku. Kopi itu kental dan hitam, dia tahu kopi kesukaanku. Dia bilang “ Kopi kental, hitam ….mau tambah susu ? “ Dia tersenyum kecil, kali ini terasa ada agak nakal. Ataukah cuma pikiranku yang kotor ? Susu, hmm.
Tak ada pesta yang tak selesai, Perpisahan itu akhirnya datang, menjelang sore, sehabis sholat asar aku minta diri pulang ke Jakarta. Pak Lurah dan lain-lain memintaku untuk menginap, tapi aku menolak dengan halus. Kulihat ada rasa kecewa di mata Bu Lurah. Selama itu kami tak pernah bersentuhan kulit, tapi kali ini dia menjabat tanganku dengan dua telapak tangannya.
Matanya berlinangan dan berkata lembut dalam bahasa Sunda Bogor;” Sering-seringlah datang kemari, kami orang-orang di kampung ini…’. Pak Lurah juga mengucurkan air mata dan berkata serak :’ Bimbing dah si Halim supaya meniru jadi sarjana nanti’. Teteh, Halim, Kang Jaja dan Pak Guru juga berlinangan air mata. Hanya Neneng yang tak acuh dan bermain dengan boneka.
Setelah perpisahan itu tahun 1976 itu, aku belum pernah kembali ke desa Sukamaju, Jonggol. Musim apa sekarang dan masih adakah dia ? Banondari ?
Eeee Banondari anu geulis kabogoh si kakang sorangan, hiap kadieu geura sakeudeung, Aduh alah ieung, da leuleuweungan.Nu geulis kawanti nu endah kabina bina. Geura-geura enung jung nangtung. Asa lalanjang gek diuk asa ti guling. Leumpang asa ngalongkewang, geulis. Nyangigir asa gigireun. Nangkarak asa luhureun. Nangkuban asa handapeun. Aduh alah ieung…asa handapeun…
Jakarta, 1 Januari 2015
No Comment