Kepasrahan dari Musibah Di Masjidil Haram
Ekspansi masjid dan cuaca buruk di Mekah menelan korban. Takdir? Atau sebenarnya kita bisa mencegah jatuhnya korban?
“Kak, Ass. Wr. Wb. Sudah dapat kabar jemaah Indonesia yang jadi korban kejatuhan crane di Masjidil Haram?.” Pertanyaan itu saya kirim via WhatsApp ke Menteri Agama Lukman H. Saifuddin, Jum’at tengah malam (11/9), tepat jam 12.30. Sekitar satu jam sebelum itu, di Twitter, saya melihat “Masjidil Haram” mulai trending. Saya klik, buka tautan, yang terlihat foto di dalam masjid terbesar di dunia itu. Berantakan. Korban berserakan, mereka tertimpa jatuhnya sebuah crane, yang digunakan untuk renovasi perluasan masjid.
Otoritas Haji Saudi Arabia menginformasikan sekitar 800.000 jemaah haji dari seluruh dunia sudah tiba di Mekah. Jum’t adalah hari yang padat di Masjidil Haram. Sehari sebelumnya Mekah dan Jedah dilanda badai pasir dan angin kencang. Crane yang jatuh disebabkan angin kencang dan hujan. Crane, adalah alat berat yang biasa digunakan memindahkan bahan bangunan dalam sebuah kegiatan konstruksi.
“Ya, sudah.. Saya OTW RS Ajyad di Makkah,” jawab Menteri Lukman. Panggilan “Kak” itu gaya anak Twitter. Menteri Lukman populer di Twitter dan aktif berkicau. Selanjutnya adalah kehebohan luar biasa di redaksi media, termasuk Rappler. Keriaan meliput konser Bon Jovi selama tiga jam sebelumnya, berganti dengan suasana prihatin. Korban berjatuhan dalam musibah di Masjidil Haram.
Semalam, Menteri Lukman mengabarkan satu jemaah haji asal Indonesia meninggal dunia, 20 luka-luka. Jumlahnya terus bertambah, sampai saat Menteri Lukman menengok ke rumah sakit semalam sekitar jam 23.45 waktu Mekah, 33 jemaah haji asal Indonesia menjadi korban, dua diantaranya meninggal dunia.
Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi yang tengah di Jeddah bersama Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan bahwa jajaran kedutaan besar dan konsulat jendral di sana sudah diperintahkan bekerjasama dengan Amirul Hajj Indonesia untuk mengurus jemaah Indonesia yang menjadi korban. “Presiden juga menyampaikan belasungkawa dan simpati” kata Menlu Retno ketika saya kontak.
Innalillahi wainnailaihi roji’un. Semoga para korban meninggal husnul khotimah dan mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Ketika kecil saya mendengar cerita dari eyang dan orang tua saya, bahwa banyak jemaah haji menginginkan “mati syahid” di Mekah saat menunaikan ibadah haji. Puluhan tahun lalu ke tanah suci memang sulit dan lama. Ketahanan fisik dan mental diperlukan. Meski demikian, saya yakin musibah Masjidil Haram yang terjadi kemarin sore mengejutkan bagi keluarga korban. Semoga Allah SWT memberikan kekuatan bagi mereka.
Pahala shalat di Masjidil Haram
Semalaman, sampai hari ini saya mengingat kembali anugerah Allah SWT, kesempatan menunaikan ibadah haji pada tahun 2000. Saya pergi dengan suami. Kami menghabiskan semua tabungan yang kami punya, untuk membayar Ongkos Naik Haji Rp 19.500.000 per orang. Tabungan kami masing-masing adalah Rp 20 juta. Sisa uang untuk bekal uang saku. Niatnya menunaikan rukun haji yang ke lima, sekaligus berdoa agar kami dikaruniai keturunan. Saya dan suami menikah tahun 1994.
Kami mengambil paket haji biasa, 41 hari. Cukup puas melakukan ibadah, shalat di Mesjid Nabawi di Madinah dan di Masjidil Haram, Mekah. Di Mesjid Madinah, dua kali berdesak-desakan untuk mendapatkan kesempatan berdoa di Raudhah, Makam Nabi Muhammad SAW. Di Masjidil Haram, hampir setiap hari melakukan thawaf mengelilingi ka’bah, di luar kegiatan umrah. Masjidil Haram dibangun untuk menjadi “rumah” bagi Ka’bah, tempat berkiblat shalat selama di Mekah.
Seingat saya, selama haji saya melakukan delapan kali umrah. Begitu bersemangat. Fisik masih muda, masak kalah dengan jemaah yang jauh lebih tua dari saya yang begitu semangat beribadah di masjid itu. Saking semangat, sering terpancing berdesak-desakan mendekat ke arah Ka’bah saat thawaf, berharap bisa mencium batu hitam Hajar Aswad, dan menyentuh Multazam, tempat yang disarankan untuk kita berdoa.
Setelah itu, beberapa tahun kemudian, saya masih diberikan kesempatan menunaikan dua kali ibadah umrah. Setiap kali menunaikan thawaf Wa’da, atau thawaf perpisahan sebelum meninggalkan Masjidil Haram, air mata jatuh berderai-derai, mengingat mungkin itu terakhir kali bisa berdoa di Baitullah.
Pahala shalat di Masjidil Haram, setara dengan 100.000 kali shalat di masjid biasa. Ini yang saya pelajari. Ini juga yang membuat saya, dan jutaan jemaah haji dan umrah di seluruh dunia, selalu berdoa agar diberi kesempatan shalat di sana. Belakangan, memiliki kemampuan fisik dan finansial pun sulit untuk kembali ke sana, karena ada kuota haji. Minat untuk haji makin tinggi setiap tahun, padahal pemerintah Indonesia, misalnya, untuk tahun 2015 mematok kuota sebanyak 155.200 jemaah haji.
Pembatasan dilakukan karena kapasitas Masjidil Haram yang dianggap tak lagi cukup. Tahun lalu, Masjidil Haram menerima 2 juta jemaah haji dari seluruh dunia. Masjid terbesar di dunia itu terus diperluas, agar bisa menampung 2,2 – 2,5 juta jemaah di musim haji yang jatuh di bulan Dzulhijah. Biaya ekspansi mencapai US$ 10,6 miliar dolar. Tak jadi masalah bagi negeri petro dolar itu. Crane dan mesin pembangun mengepung Masjidil Haram setahun terakhir, setelah musim haji 2014 berakhir.
Proyek perluasan masjid bahkan menuai kritik dari banyak pihak karena dianggap memgancam situs bersejarah di sekitar masjid. Ada rumah masa kecil Nabi Muhammad SAW di salah satu sudut luar kawasan Masjidil Haram. Kini menjadi perpustakaan. Setiap jemaah haji dan umrah pasti mengunjungi rumah kecil ini. Di media sosial bertebaran informasi bahwa ekspansi Masjidil Haram mengganggu rumah Nabi. Ini dibantah otoritas Arab Saudi.
Pemerintah Arab Saudi sibuk menggenjot pembangunan hotel mewah di sekitar Masjidil Haram. Kita tahu bahwa di negara kerajaan itu semua proyek mahal apalagi di sekitar tempat suci dikuasai keluarga kerajaan.
Sami Angawi, pakar arsitektur Islam asal Saudi merasa prihatin dengan pesatnya pembangunan di kota Mekkah. Kepada Reuters, ia menyebut kondisi ini kontradiksi dengan sifat dan kesucian Mekkah sebagai rumah Allah.
“Secara historis Mekkah dan Madinah kental akan unsur spiritual, namun yang terjadi kini Anda tidak menemukan apa-apa kecuali gedung pencakar langit,” ucap Sami. Pihak Arab Saudi membantah kekhawatiran itu.
Teman-teman yang menunaikan ibadah umrah tahun ini menyampaikan kekhawatirannya akan korban akibat beragam alat kontruksi di dalam area Masjidil Haram. Ilham Bintang, pendiri dan pemimpin redaksi tabloid Cek & Ricek melakukan ibadah umrah pada bulan Mei 2015. Pagi ini, Ilham Bintang mengirimkan foto-foto situasi di Masjidil Haram saat itu. Mesin crane menjulang mengepung Masjid. Di area seputar Ka’bah terlihat crane dan rangka-rangka baja untuk konstruksi.
Rupanya, saat musim haji dimulai tahun ini, mesin crane itu masih ada di lokasi masjid. Ketika hujan dan angina kencang menyapu Mekah, crane jatuh dan menimpa para jemaah yang tengah berada di masjid. Media kembali menyoroti ekspansi masif bernuansa komersial yang dilakukan pemerintah Arab Saudi di sekitar Masjidil Haram. Ekspansi yang memakan korban jiwa.
Siapa yang salah?
Ketika menunaikan haji, saya dibekali pesan oleh pembimbing agama. Di tanah suci, bakal banyak cobaan dan godaan yang bisa membuat ibadah kita terganggu. Tidak mabrur. Jadi, harus ikhlas. Jangan banyak mengeluh. Kalau ada kekurangan, itu bagian dari cobaan. Istiqomah saja.
Saking mencoba ikhlas, maka ketika biro perjalanan haji menyalahi janji, mulai dari fasilitas penginapan sampai konsumsi, ya jemaah biasanya tidak mengeluh. Ngedumel dalam hati iya sih, sambil buru-buru mengucap,” Astagfirullah”. Orang Jawa bilang, “nyebut…nyebut. Nanti pahala ibadah haji berkurang.”
Kesiapan mental seperti ini yang saya bayangkan ada dalam benak para jemaah haji kita, termasuk ketika melihat pemerintah Arab Saudi dengan cuek tetap memasang alat konstruksi termasuk crane di masjid, ketika musim haji tiba. Berisiko tinggi. Karena masjid itu hampir selalu dipadati jemaah. Mana berani protes atau mengeluh? Berhadapan dengan askar, tentara yang menjaga masjid saja sudah keder.
Lagipula, Indonesia setiap tahun mendapat kuota haji terbesar dibandingkan negara lain. Kebanyakan protes malah repot. Kadang saya berpikir, menyangkut apa yang diterapkan pemerintah Arab Saudi, banyak organisasi massa Islam maupun aktivis partai Islam yang kelihatannya memilih diam.
Pasrah. Ini sikap pilihan bagi jemaah haji. “Kuasa Allah, ini bukan salah siapa, mungkin saya harus instrospeksi juga,” kata Nuruddin, jemaah yang luka karena musibah Masjidil Haram. Dia dikunjungi Menteri Lukman di Rumah Sakit An-Noor di Mekah. Kepala, tangan dan kakinya dibebat. Dia terisak memeluk Menteri Lukman. “Terima kasih Pak sudah datang. Mohon doakan kami. Jangan putus doanya ya Pak,” tutur Nuruddin, Jumat malam (11/09). Menurut Nuruddin, apa yang dialaminya adalah takdir.
Saya kog percaya, mayoritas atau bahkan semua korban musibah Masjidil Haram memiliki perasaan yang sama. Apa yang kita alami di dunia ini, setiap harinya, sudah ada yang mengatur. Apalagi saat berada di tanah suci, di rumah Allah SWT.
Di grup WhatsApp, mulai ada diskusi soal kontroversi melakukan ibadah haji. Apakah hanya sekali dalam setahun, sebagaimana yang selama ini dilakukan, atau sebagaimana pernah disampaikan tokoh Nahdlatul Ulama, Masdar F. Mas’udi. Menurut tafsir Masdar, ibadah haji bisa dilakukan beberapa kali, sejak 1 Syawal sampai 10 Dzulhijjah.
Pemikiran Masdar didasarkan kepada telaahnya, dan juga untuk solusi tingginya minat menunaikan ibadah haji. Tentu bergantung kesepakatan negara-negara, termasuk tuan rumah, Arab Saudi. Pemikiran ini menuai kontroversi dan kecaman dari berbagai pihak di dalam negeri. Saya tidak berani memberikan pendapat soal ini, karena ilmu agama saya masih cetek. Dangkal. Tapi, hari ini diskusi itu muncul lagi karena musibah Masjidil Haram. Tingginya minat haji, memicu ekspansi pembangunan. Aspek keselamatan dilupakan, ditambah faktor cuaca. Jatuh korban.
Sejak mengikuti sebuah pelatihan mengenai bencana di Bank Dunia, di Washington DC, AS, tahun 2007, saya mulai percaya bahwa mayoritas bencana dan musibah, disebabkan oleh manusia juga. Men made disaster. Tidak lagi sekedar “natural disaster”. Banjir, longsor, gunung meletus, bahkan gempa bumi dan tsunami, bisa dikurangi potensi korban jika ada kesiapan (preparedness).
Badai pasir, angin kencang dan hujan lebat di Mekah mungkin tidak bisa ditolak, karena itu fenomena alam. Tapi, otoritas Arab Saudi mestinya menghentikan semua proses konstruksi dan menyingkirkan alat berat yang bisa jatuh dan menimpa jemaah, saat masjid tengah dalam puncak aktivitasnya. Musim haji.
Untuk saat ini, akhirnya memang kita cuma bisa seperti Nurrudin dan korban luka lainnya, serta keluarga almarhumah Iti Rasti Darmini dan Masnauli Hasibuan. Pasrah dan ikut mendoakan korban dan keluarganya. Pelajaran pahit bagi pemerintah Arab Saudi. Musibah bagi jemaah haji dan keluarganya. ###
No Comment