Dunkirk, Maut Membayangi Ketika Ingin Pulang
Saya tidak suka menonton film horor. Jadi, kebiasaan sebelum menonton adalah membaca sinopsis, atau berita mengenai film yang akan saya tonton. Supaya tidak terjebak. Begitu juga ketika hendak menonton “Dunkirk” film yang tengah jadi buah bibir dan diacungi jempol.
Yang paling duluan menyedot perhatian tentu sang sutradara, Christopher Nolan. Kita kenal karya inovatifnya lewat Memento, Trilogi Batman The Dark Night, Inception sampai Interstellar. Lalu, di media sosial saya membaca sekilas komentar tentang Harry Styles, personil One Direction, “untuk sebuah debutan, permainan Harry lumayan.”
Tentang Dunkirk sendiri, saya yakin sebelum Nolan mengangkatnya ke layar lebar, tak banyak yang tahu. Kawasan pantai di Perancis Utara ini menjadi tempat terperangkapnya sekitar (340 ribu?) 400 ribu tentara sekutu (Inggris, Perancis, Belgia dan Kanada), yang dikepung tentara Jerman, pada perang dunia II, bagian dari Battle of France. Peristiwanya terjadi pada 26 Mei sampai 4 Juni 1940.
Film ini bukan tentang film perang, tetapi sebagaimana dikatakan Nolan dalam wawancara dengan media, film ini memiliki nilai-nilai penting yang ada dalam semua peperangan. Film ini tentang proses evakuasi pasukan sekutu yang diberi nama sandi Operasi Dinamo. Mereka akan dipulangkan ke Inggris melalui Kanal Inggris, dibantu ratusan kapal kecil milik warga sipil.
Film dibuka dengan ketegangan yang dibangun dari upaya seorang prajurit muda, Tommy, lolos dari kepungan maut. Tommy diperankan oleh Fionn Whitehead, anak muda berusia 18 tahun yang tak punya pengalaman peran. Wajahnya yang innocent, begitu muda, membuat Nolan memilihnya menjadi “wajah” Evakuasi Dunkirk. “Ketika saya riset, bertemu dengan mereka yang mengalami peristiwa di era itu, saya mendapati bahwa kebanyakan mereka sangat muda ketika dikirim ke medan peperangan,” kata Nolan.
Dunkirk bukanlah film yang bersimbah darah karena pertempuran. Sepanjang film kita mendengar suara tembakan musuh, yaitu Jerman, tanpa ditunjukkan sosoknya, kecuali pesawat tempur Lutfwafe, dan tembakan-tembakan yang menjebol dinding kapal yang terperangkap di air surut di pantai Dunkirk. Jerman digambarkan sebagai musuh tanpa wajah kecuali pesawat tempurnya, dan menebar horor sepanjang film. Diperkuat skor musik karya Hans Zimmer yang membetot ke relung kecemasan. Ketakutan. Ketidakpastian.
Iya, buat saya yang tidak suka film horor, Nolan mencekam saya lewat maut yang setiap detik membayangi para tentara yang punya keinginan sederhana: pulang ke rumah. Home. Maut memburu para tentara-tentara muda itu sejak menit pertama film dimulai. Tommy selamat dari sebuah kepungan tembakan, lantas lari ke pantai, mendapati ribuan tentara yang berdiri di pantai yang terbuka dan rawan ditembaki pesawat musuh.
Dunkirk juga menebar nilai-nilai kebaikan di sepanjang film. Komitmen. Alih-alih segera bergabung dan antri untuk bisa naik ke pesawat yang membawanya pulang, Tommy justru membantu Gibson (diperankan Aneurin Barnard), tentara Perancis, menguburkan seorang tentara yang tewas. Sepanjang film, kita melihat semacam “pertemanan” hang dibalut solidaritas untuk bertahan hidup antara Tommy dan Gibson. Tentara Inggris dan Perancis.
Setiap kali harapan untuk pulang itu kandas. Bahkan, Tommy dan ribuan yang sejenak berlindung di kapal kesehatan pun tak sempat menghabiskan sepotong roti yang dibagikan para perempuan yang melihat mereka bagaikan anak-anak. Saking mudanya.
Lewat Tommy (dan ribuan lainnya) yang didekap maut di laut yang dingin, kita melihat seorang prajurit muda yang memiliki welas asih. Juga kecerdikan membaca situasi, yang toh tak membuat perjuangannya untuk pulang menjadi lebih mudah. Tommy adalah hati nurani dalam sebuah kompetisi hidup mati untuk pulang. Tommy adalah gambaran sebuah “miracle”, keajaiban dalam proses evakuasi yang dicatat sejarah sebagai evakuasi yang brutal.
“Saya melihat Dunkirk sebagai cerita yang universal, sesuatu yang setiap orang merasa punya kaitan,” kata Nolan, dalam wawancara dengan Time. Lebih dari setengah abad kemudian, di era perang modern, Dunkirk mengingatkan kita akan sebuah keputusan diambil elit politisi dan para jenderal untuk mengirimkan ribuan anak muda ke medan perang nun jauh dari negeri mereka. Menghadapkan mereka kepada horor di berbagai pertempuran dengan bungkus semangat cinta tanah air dan upaya menyelamatkan dunia.
Tidak cuma perang. Kita melihat perjuangan menuju tanah harapan, yang wujudnya bisa rumah asal, atau rumah di tempat baru yang dihadapi jutaan orang pengungsi, adalah situasi global yang paling berat saat ini. PBB mencatat lebih dari 65 juta pengungsi di dunia. Sebagian dari pengungsi yang terusir dari negerinya, atau memilih pergi untuk menyelamatkan diri, menempuh ratusan hari terombang-ambing di laut bersabung maut, ditolak negara yang dituju, dan terpaksa mendarat di negeri asing yang tak ingin menyediakan rumah pula bagi mereka.
Tommy adalah wajah pertama film Nolan kali ini. Wajah kedua adalah pilot Spitfire Inggris, Farrier (diperankan oleh si ganteng Tom Hardy). Kenneth Branagh yang memerankan seorang komandan Angkatan Laut Inggris memantau evakuasi dari sebuah dermaga adalah wajah ketiga. Wajah keempat adalah Dawson, pemilik kapal kecil, warga sipil Inggris ( diperankan Mark Rylance), yang mengajak putranya untuk menjadi bagian dari ratusan kapal sipil yang “menjemput” prajurit di Dunkirk.
Karena sejak awal Nolan membuat Dunkirk bukan sebagai film perang, maka saya memang tidak membandingkannya dengan film perang lain yang dianggap terbaik seperti Saving Private Ryan (1998). Sebagaimana film-film sebelumnya, bagi saya, Nolan menawarkan pendekatan baru dalam menyajikan cerita. Inovasi sudut pandang. Termasuk dalam cara pengambilan gambar yang dinamis, karena kamera melekat kepada karakter-karakternya, termasuk saat berjibaku melawan maut di bawah air laut yang bercampur dengan minyak kapal.
Bagi pemirsa film yang berharap memahami sejarah dari Dunkirk, akan kecewa karena film ini minim dialog. Nolan membuat kita terpaku di kursi selama 106 menit dengan membangun suspense, ketegangan luar biasa saat evakuasi. Apakah mereka akan selamat? Bagaimana penyelamatan terjadi? Itu yang disajikan Nolan.
Apa yang disampaikan seorang veteran Durkirk yang kini berusia 97 tahun saat menonton film ini, bisa menjadi gambaran. Ken Sturdy menangis saat menonton screening film ini. Dia berusia 20 tahun dan bekerja untuk AL Kerajaan Inggris saat membantu evakuasi prajurit di Pantai Dunkirk. Ini kesannya kepada sebuah media di Kanada, tempat dia bermukim saat ini:
‘I never thought I would see that again. It was just like I was there again… It didn’t have a lot of dialogue. It didn’t need any of the dialogue because it told the story visually and it was so real,’ he said. ‘I was 20 when that happened, but watching the movie, I could see my old friends again and a lot of them died later in the war. I went on convoys after that in the North Atlantic. I had lost so many of my buddies. One of my mates was taken prisoner. He wasn’t killed on the beach. They marched him up to Poland. And he spent five years in a German prisoner camp.’
‘Don’t just go to the movie for entertainment,’ he added. ‘Think about it. And when you become adults, keep thinking.”
Tanpa menghamburkan darah dan scene peperangan yang brutal, Nolan mengajak kita berpikir. Tentang perang. ###
No Comment