Pak Mar’ie Pergi Meninggalkan Jejak Digital
Di kaki tangga Mesjid Agung Al Azhar, Jakarta, Minggu siang (11/12), Rifki, putra Pak Marie Muhammad mendapat petunjuk singkat bagaimana upacara militer akan dilakukan saat pemakaman sang ayah. Di dalam masjid, ratusan kerabat dan relasi masih menyampaikan duka cita kepada keluarga almarhum mantan menteri keuangan tahun 1993-1998 itu. Bu Etty, istri Pak Marie mendapat pelukan yang menguatkan dari para hadirin perempuan yang ikut salat jenazah, yang diselenggarakan usai salat dhuhur.
Kesedihan dan kehilangan atas kepergian Pak Marie tak hanya dirasakan keluarga. Banyak yang tercekat. Sudah lama Pak Marie tak muncul dalam pusaran berita di media massa. Tapi begitu mendengar kabar Pak Marie meninggal dunia, orang langsung teringat dengan predikat Mr Clean yang melekat kepadanya. Sebuah julukan yang didapat tanpa perlu kampanye pencitraan. Apalagi banyak muncul dalam wawancara di media massa.
Media dan kolega memberikan julukan itu kepada Pak Marie saat dia menjabat Direktur Jenderal Pajak, tahun 90an. Kita mendengarkan testimoni atas kredibilitas dan integritas Pak Marie dari berbagai orang dan organisasi di mana dia bekerja. Mr Clean bukan sekedar predikat yang didapat dalam sebuah selebrasi ala award-award-an. Julukan itu adalah sebuah pengakuan dan penghormatan. Dia abadi, dibawa pergi sampai Pak Marie berpulang menghadap Sang Khalik. Meninggalkan jejak digital yang membanggakan bagi keluarganya. Ketiklah nama Marie Muhammad, yang muncul adalah ribuan artikel dengan kutipan, Mr Clean.
Kepergian Pak Marie sehari setelah kita memperingati Hari Anti Korupsi Internasional yang biasanya dirayakan setiap tanggal 10 Desember, seperti menjadi pengingat bagi semua. Julukan Mr Clean itu muncul karena sikapnya yang anti korupsi, kehidupannya yang sederhana sampai akhir hayat, dan tekad kuat melakukan reformasi birokrasi di era Orde Baru.
Mr Clean memimpin direktorat jenderal pajak dan kementerian keuangan, ketika pemerintahan Orde Baru berurusan dengan maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang melibatkan orang-orang terdekat penguasa. Bagaimana bisa?
Iwan Qodar, suami saya yang ikut melayat dan salat jenazah melepas kepergian Pak Marie menuliskan status pada dinding akun Facebook-nya. Sebagian saya kutip di sini:
Situasi sulit dihadapi Pak Mar’ie ketika ia jadi menteri keuangan, 1993-1998. Anak Pak Harto sudah besar, dengan gaya bisnisnya yang tak mudah diakomodasi peraturan negara. Bagaimana mengatur pajak untuk Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh, yang diketuai Tommy Soeharto? Untuk mobil Timor? Untuk PT Arbamass, milik Ari Sigit Soeharto, yang memonopoli peredaran walet?
Maka, kalo ditanya wartawan, jalan paling aman memang dengan menutupkan jari di depan bibir yang terkunci rapat. “Ssstt… sudahlah,” jawaban khas dia sambil berjalan tergesa.
Tahun 90-an itu Iwan bekerja di Mingguan Berita Majalah Tempo sebagai reporter desk ekonomi. Saya bekerja sebagai reporter di Mingguan Ekonomi Bisnis Warta Ekonomi. Tugas saya adalah meliput isu di lingkungan departemen keuangan, Bank Indonesia dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. Pada masa itu kami dan teman-teman media yang hampir setiap hari memonitor isu keuangan dan moneter mengenal Pak Marie dari dekat.
Zaman itu belum ada ponsel, apalagi komunikasi via Blackberry atau Whatsapp. Kami dibekali pesawat pager. Untuk mendapatkan satu kutipan yang harus mencegat langsung narasumber. Pak Marie sebagaimana yang ditulis Iwan, pelit berkomentar. Dan tidak bisa dipaksa komentar. Kami bersaing melontarkan pertanyaan, sahut-menyahut. Reaksi Pak Marie adalah, menempatkan telunjuk jari ke mulutnya, sambil berdesis, ssssstt.!
Saya dan teman reporter perempuan dari sebuah koran sore mencoba memasang wajah memelas. Kami sudah menunggu dari pagi ini, Pak. Tolong dijawab. Biasanya Pak Marie akan berhenti. Melihat ke kami, sekumpulan reporter yang lelah. Berharap kutipan. Sudah ya kata dia. Pak Marie melenggang pergi. Kami lemas. Kami menambahkan julukan, Mr No Comment.
Ketika Pak Marie memberlakukan penghematan anggaran, wartawan membuat plesetan atas namanya, Mari Menghemat. Pak Marie melolot, seolah marah, tapi sesaat kemudian tertawa terbahak-bahak ketika kami memberi tahu julukan baru itu. Kalian ini nakal, kata Pak Marie. Lalu melengos pergi. Kami lemas.
Mungkin itu caranya menghindar dari keceplosan menyampaikan pernyataan yang bisa memicu kontroversi. Pak Marie memilih kerja dalam diam. Tapi bukan soliter. Barangkali dia adalah salah satu pejabat publik yang memiliki jejaring dan kawan yang solid. Bagaimana pun, Pak Marie adalah sosok yang dikenal sebagai tokoh gerakan mahasiswa, pernah memimpin Himpunan Mahasiswa Indonesia, sebuah organisasi ekstra kurikuler yang sampai hari ini alumninya tersebar di berbagai medan aktivitas, termasuk legislatif dan eksekutif.
Yang membuat kagum adalah, bagaimana dia mencoba melakukan perubahan di internal pemerintahan justru di tengah suasana kepemimpinan politik yang dianggap koruptif. Berjuang tetap bersih dan jujur di tengah kubangan lumpur. Memang belum sukses betul, karena reformasi birokrasi di kementerian keuangan masih terus berjalan sampai kini. Pak Marie diundang Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk ikut membantu reformasi di kemenkeu pada 2006-2010, di periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
***
#sketch Selamat Jalan, Pak Mar’ie Muhammad@RapplerID @unilubis pic.twitter.com/hlg2qwHP4y
— sketsagram.com (@sketsagram) 11 Desember 2016
(Sketsa video dibuat oleh @Sketsagram di akun twitternya)
Ass innalillahi wa inna ilaihi rojiun.. 5 mnt yg lalu P Marie Muhammad meninggal dunia di RS Pusat Otak Nasional. Tks. Pesan pendek dari dr Nizar Yamani, pemimpin RS PON itu, masuk ke telpon seluler saya Pukul 02.15 wib. Saya baru membacanya saat bangun pagi. Saya mengenal dokter Nizar sejak dia menjadi dokter pribadi Pak Marie 20 tahunan lalu. Alhamdulillah, saat-saat terakhir negara bisa take good care maksimal via RS PON, kata dokter Nizar. Pak Marie dirawat di rumah sakit itu sejak pertengahan November 2016, dan meninggal karena infeksi paru-paru.
Duduk di aula masjid yang luas, pikiran saya melayang ke masa-masa bertemu secara intensif dengan almarhum. Suatu hari, sekitar bulan Oktober 1996, dalam sebuah pertemuan, Pak Marie menyampaikan kepada saya, bahwa pengurus Yayasan Al Azhar meminta bantuannya untuk menerbitkan kembali Majalah Panji Masyarakat. Majalah ini didirikan antaralain oleh ulama besar Buya Hamka pada tahun 1959.
Pak Marie sudah menjabat menkeu. Sudah saatnya kamu memimpin sendiri sebuah media. Supaya ndakkejar-kejar berita tiap hari di lapangan, kata Pak Marie. Informasi awal tentang ini sudah disampaikan Pak B. Wiwoho, mantan wartawan senior yang membantu komunikasi publik Pak Marie sejak di Ditjen Pajak. Saya kaget. Saya merasa bukan satu-satunya wartawan yang dekat dengan Pak Marie. Ada senior-senior yang jauh lebih dulu mengenalnya. Mengapa saya? Pangkat saya baru redaktur. Memang sih, jejaring di bidang keuangan dan moneter cukup baik sejak era Menkeu JB Sumarlin.
Singkat cerita, mulai Desember 1996, saya menjadi wakil pemimpin umum dan kemudian pemimpin redaksi Majalah Panji Masyarakat. Bersama teman-teman, sebagian dari Warta Ekonomi, kami mengemas penerbitan kembali majalah itu sebagai mingguan berita khas bernuansa Islam. Majalah Pantau, sebuah media watch menuliskan profil saya, perempuan muda memimpin majalah Islam. Pak Marie membuka jalan untuk itu. Saya membayangkan, kalau bukan karena pengaruh Pak Marie, mana mungkin kiai-kiai di Yayasan Al Azhar menerima saya, memimpin majalah yang legendaris itu? Penampilan saya kurang Islami, pengetahuan agama apalagi.
The rest is history. Pak Marie, membuka jalan. Dan, sebenarnya, tak pernah memanfaatkan pengaruhhnya ke majalah yang kami kelola atas permintaan dia. Bahkan ketika kami menulis cerita sampul tentang kasus korupsi Kepala Bulog yang notabene teman sesama alumni HMI dan cukup dekat dengannya, tak ada komentar atau protes apapun. Yang protes justru beberapa tokoh senior yang mempertanyakan, Ini kenapa kog Panji, majalah Islam, justru menggeber kasus korupsi tokoh umat?.
Dugaan sementara pihak bahwa Majalah Panji Masyarakat bakal menjadi semacam majalah internal departemen keuangan semata karena peran Pak Marie dalam penerbitannya kembali, tak terbukti. Majalah ini berkembang menjadi majalah yang kritis ke pemerintah dan banyak meliput isu politik aktual. Boro-boro mempromosikan Pak Marie.
Intensitas pertemuan sebagai wartawan dan narasumber antara saya dan Pak Marie memang menjadi makin sering. Meskipun, tidak mudah juga dapat wawancara khusus. Tapi saya sudah ikut diskusi-diskusi informal di rumah Pak Marie di kawasan Jalan Brawijaya. Rumah yang tidak terlalu besar dan tergolong sederhana untuk ukuran menkeu. Rumah yang dia tempati sampai akhir hayatnya.
Dalam diskusi-diskusi itu biasanya Pak Marie duduk ndlosor di lantai. Bersandar ke kursi sofa. Sejumlah pejabat, pengusaha, bos Badan Usaha Milik Negara, duduk ndlosor juga. Saya, yang paling muda, duduk ndlosor di pojokan. Diantara tema percakapan yang saya ingat adalah bagaimana menguatkan ekonomi kelompok usaha kecil dan menengah. Membahas pengembangan modal ventura. Termasuk membangun kerjasama modal ventura dengan pengusaha negeri jiran, Malaysia. Pak Marie mendorong pengusaha seperti Arifin Panigoro bos Medco, Sutrisno Bachir, Chairul Tanjung Bos Para Group untuk menjadi pionir dari pihak Indonesia. Tema lain adalah bagaimana BUMN bisa mendukung pengembangan UKM.
Semuanya off the record buat saya. Kalau sudah ngantuk, karena diskusi berlangsung sampai malam, saya akan mondar-mandir ke meja makan. Bu Etty menyiapkan penganan kecil. Yang paling sering saya comot adalah tempe goreng.
Pak Marie tidak alergi ke pengusaha besar. Dengan Pak Jakob Oetama, pendiri Kompas, Pak Marie berbagi kesamaan ide bahwa pengusaha, terutama pengusaha non pribumi yang menguasai bagian terbesar dari aset kegiatan ekonomi di negeri ini, perlu diajak, dilibatkan untuk menjadi solusi masalah bangsa. Pak Marie misalnya, pernah mengatakan kepada saya, kamu tahu. Anthony Salim itu orangnya pintar. Pekerja keras. Saya suka berdiskusi dengan dia. Anthony Salim adalah pemimpin generasi kedua Salim Group, yang di era Soeharto dianggap kelompok terkaya dan paling dekat dengan Soeharto dan keluarganya.
Tidak alergi, tapi juga tidak bisa didikte oleh dunia usaha. Apalagi oleh taipan.
Saya pikir, Pak Marie mengizinkan saya ikut mendengarkan diskusi- diskusi itu untuk memberikan saya wawasan mengenai situasi yang ada. Dia tetap menutup rapat-rapat infomasi yang sifatnya rahasia. Juga tidak terpancing untuk curcol, membuka masalah di internal pemerintahan. Kalau dipancing oleh peserta, Pak Marie akan terdiam. Matanya menatap langit-langit. Lalu pindah melihat ke kami, satu persatu. Kalau sedang berbicara, Pak Marie akan menatap lawan bicaranya lekat-lekat. Kadang untuk meyakinkan, dia akan melengkapi dengan menunjuk.
Saya kemudian menemukan cara yang lumayan ampuh untuk memancing komentar. Bukan dengan bertanya. Tapi nyeletuk selintas. Misalnya, ah, teman saya cerita, bapaknya punya masalah dengan harga beli cengkih. Kasihan petani. Pak Marie diam. Lalu meminta saya mendekat. Begini ya Uni… Dia menjelaskan sambil berbisik agar tidak didengar yang lain. Ujungnya? Off the record. Ya nasib.
***
Pak Marie sangat peka terhadap problem rakyat. Saya melihatnya menitikkan air mata dalam sejumlah kesempatan. Kami pergi menumpang pesawat Hecules TNI AU ke Ambon, saat kerusuhan berdarah tahun 1999. Pak Marie menjadi ketua Komite Kemanusiaan Indonesia. Juga ketua umum Palang Merah Indonesia. Perjalanan sekitar 5 jam, Pak Marie duduk di tengah tumpukan kardus makanan dan minuman. Sampai di lokasi dan bertemu pengungsi, berkali-kali dia megusap wajah, menahan haru. Situasinya memang mengenaskan. Melihat para pengungsi yang datang dari dua kelompok yang bertikai, kelompok Islam dan Kristen.
Pemandangan yang sama saya lihat ketika ikut Pak Marie ke Sampit, Kalimantan Tengah, saat terjadi Tragedi Berdarahdi sana. Pengungsi menumpuk di stadion olahraga. Bau anyir dari mereka yang tewas dalam tragedi antar etnis itu masih terasa betul. Sepanjang perjalanan pulang, Pak Marie mengingatkan kami tentang pentingnya hidup bersama diantara suku dan agama yang berbeda. Perjalanan yang membuat lelah, lahir dan batin.
Satu kali lagi saya berkesempatan melihat Pak Marie berada di lokasi saat gempa dan tsunami di Aceh, 26 Desember 2004. Saya lupa persisnya apakah Pak Marie tiba di Aceh bersama dengan kami yang ikut rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 27 Desember 2004, atau beliau sudah tiba pada sehari sebelumnya saat tsunami meluluh-lantakkan sejumlah lokasi di Banda Aceh dan kabupaten lainnya.
Soalnya Pak JK memang mengutus Pak Sofyan Djalil, Menteri Komunikasi dan Informasi untuk berangkat pada tanggal 26 Desember mengecek situasi lapangan. Yang jelas, pada tanggal 27 Desember itu, saya melihat Pak Marie menjadi komandan lapangan, berkoordinasi dengan Wapres, termasuk ketika memutuskan salat untuk ribuan jenazah dan pemakaman massal di Lambaro.
Pak Marie dan Pak JK sama-sama alumni HMI. Ada chemistry. Saya ingat saat Pak Marie harus kampanye sebagai tokoh Golkar di pemilu di era Orde Baru, Pak JK membantu, karena Pak Marie bertanggung jawab untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pak JK kemudian menggantikan Pak Marie sebagai Ketua Umum PMI. Ketua Umum PMI sebelum Pak Marie adalah Mbak Tutut, putra sulung Soeharto. Pak Marie juga mendapatkan respek dari keluarga Soeharto. Memilih Marie Muhammad yang dianggap birokrat lurus sebagai menkeu, adalah salah satu keputusan Soeharto yang dipuji semua kalangan. Ibaratnya, Pak Harto dapat standing applause. Semua yakin Pak Marie mendapatkan posisi itu tanpa kasak-kusuk sebagaimana gaya politicking di birokrasi.
Dari seorang birokrat yang menekuni angka-angka, mengawal anggaran negara, kemudian mendedikasikan diri sepenuhnya untuk kegiatan kemanusiaan termasuk memajukan Palang Merah Indonesia. Saya yang belakangan tak lagi intensif bertemu Pak Marie, melihat transisi peran dan kiprahnya untuk bangsa dan negara dilakukan dengan mulus. Passion-nya jelas. Integritas, dan dedikasi untuk memperbaiki keadaan. Termasuk ketika mendirikan dan aktif di Masyakat Transparansi Indonesia. Sosoknya menjadi jaminan kredibilitas di setiap organisasi dan kegiatan di mana dia terlibat. MTI berperan penting mendorong lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pak Marie rajin berolahraga. Yang murah, tanpa biaya. Bertahun-tahun dia berjalan cepat mengelilingi Stadion Gelora Bung Karno, setiap sore. Nyaris setiap hari. Di sana Pak Marie bergaul dengan semua kalangan masyarakat. Mereka menganggapnya sebagai teman, bukan pejabat, bahkan ketika Pak Marie menjadi menkeu.
Wartawan, yang dipaksa kantornya meminta komentar dari Pak Marie, sering mencoba memancing pertanyaan saat Pak Marie jogging. Saya juga pernah mencobanya. Lebih sering gagal ketimbang sukses. Saya merasa teman-teman jogging Pak Marie ikut melindungi beliau dari desakan wartawan. Ya, namanya usaha. Mereka, yang dikenal dengan dengan komunitas Perjaka Senja, Persatuan Pejalan Kaki Senayan Jakarta itu, pasti kehilangan seorang peserta tetap yang dedikatif.
Selamat jalan, Pak Marie. Semoga khusnul khotimah, dan mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT.
No Comment