Menulis Pengalaman Sendiri, First Person Singular
Maret ini menandai setahun Indonesia alami pandemi COVID-19. Persisnya, sejak 2 Maret 2020 ketika Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengumumkan kasus pertama positif COVID-19. Saya mengajak teman-teman di IDN Times menuliskan refleksi, semacam catatan singkat, apa yang dialami selama setahun pandemi, selain kerja dari rumah (work from home). Tulisannya, kami muat di rubrik OPINI di laman www.idntimes.com. Saya dan wakil pemimpin redaksi Umi Kalsum mengedit tulisan teman-teman. Manajer Community Writers Ernia Karina dan Koordinator Editor Hyperlocals Yogi. E. Fadila membantu menerbitkannya. Saya membaca semua tulisan itu. Haru, sedih, tersenyum, merasa bersalah tak bisa banyak membantu selain mendengarkan teman yang perlu curhat. Campur-aduk, itu perasaan yang muncul. Saya berterima kasih teman-teman mau berbagi perasaan kehidupan selama masa penuh ketidakpastian ini. Silakan dibaca ya di sini https://www.idntimes.com/opinion
Selama setahun, masing-masing tim redaksi menulis ratusan artikel. Bahkan ribuan. Tapi, sifatnya adalah reportase. Menulis tentang orang lain yang diwawancarai, atau sudut pandang narasumber. Tulisan yang saya minta, adalah cerita orang pertama, atau First Person Singular. Deneen L. Brown, reporter rubrik feature di The Washington Post, dalam buku berjudul, “Telling True Stories, A Non Fiction Writer’s Guide”, from the Nieman Foundation a Harvard University menuliskan pengalamannya menulis dengan gaya itu, yang sangat bermanfaat dalam karir jurnalistiknya. Ini tulisan DeNeen:
Sebuah prasasti di lobi kantor koran The Washington Post menyerukan agar setiap reporter menggali kebenaran (truth) semaksimal mungkin. Prasasti itu juga menantang reporter untuk, “to afflict the comfortable and comfort the afflicted”. Mengganggu pihak yang nyaman dan memberi kenyamanan kepada pihak yang menderita.
Apa maksud dari kalimat di atas?
Artinya, menyatukan benang kemanusiaan yang membuat kita jadi satu, mengambil apa yang dianggap berbeda dan menjadikannya hal yang lumrah. Pendek kata, menulis tentang orang, kehidupannya, kemanusiaannya—tidak peduli siapapun orang itu, di mana pun mereka tinggal, berapa banyak penghasilan mereka, atau strata sosial mereka (atau yang mereka pikirkan ada di mana), berarti memperlakukan baik orang maupun ceritanya dengan penuh martabat, kebanggaan. Berarti juga, mencoba menjangkau narasi dalam kisah kemanusiaan dan menuliskan : kehilangan, duka, cinta, kesendirian, kegembiraan, rasa sakit, kesengsaraaan, keyakinan, kedamaian, keputusasaan.
Kadangkala, berarti menceritakan diri kita, kisah tentang kita, jika kita tak bisa menemukan orang yang bisa dan mau menceritakannya (diwawancarai) dalam rangka mengungkapkan kebenaran. “First Person Singular, Sometimes It is About You”.
Untuk mendapatkan kebenaran dalam sebuah kisah, kamu harus menggali dalam, lebih dalam. Proses yang kadang-kadang lebih dalam dari yang disadari oleh subyek, apakah dia bisa sampai ke sana. Seringkali, kita harus menceritakan “kisah kita” sendiri.
Saya bertugas meliput soal “kelas menengah kulit hitam” di kawasan makmur di dekat Washington, D.C., yang populasinya mayoritas berkulit hitam. Saya selalu bilang ke editor saya, bahwa saya ingin menulis tentang seseorang yang bisa mengentaskan diri dari kemiskinan dan menyeberang ke kelas menengah atas.
Pada saat seseorang naik struktur kelas, seringkali mereka diminta membantu warga yang ketinggalan. Sebagai reporter, saya ingin bertanya, “apa kewajiban mereka yang tidak lagi miskin? Apa kewajiban mereka bagi keluarga yang masih tertinggal (dalam kemiskinan)?
Editor menganggap, hal itu adalah ide artikel yang bagus. Topik ini dibicarakan masyarakat saat acara dengar pendapat nominasi Clarence Thomas (hakim agung di AS, sebuah jabatan bergengsi di sana). Saudara perempuan hakim Thomas hidup sangat sederhana dalam rumah yang sempit. Tema ini lantas didokumentasikan dalam buku dan film, termasuk flm berjudul, “Soul Food”.
Saya mencoba melakukan reportase fenomena ini di Washington D.C., saya menelepon sejumlah narasumber. Mereka mengatakan, “Ya, hal itu terjadi.” Lalu saya bertanya, “bolehkah saya wawancarai soal itu?” Mereka bilang, “Jangan saya deh.”
Editor gigih mendorong saya menuliskan tema ini dan akhirnya menyarankan saya menuliskan pengalaman saya. Kisah saya. Saya menulis artikel itu, yang diterbitkan di koran edisi Minggu. Tulisan itu dimulai dengan:
Nini, saudari saya, bicara di ujung telepon. Dia terdengar ragu-ragu bicara. Saya bisa merasakan bahwa dia membutuhkan sesuatu.
“Saya gak bakalan minta tolong kamu kalau gak benar-benar perlu.” Suaranya terdengar ragu. Ia terdiam. Dia gak mau mengemis bantuan.
“Tapi, dia ngomong lagi, dan saya tahu banget apa yang akan dia katakan sebelum dia menyampaikannya. Kata “tapi” adalah kuncinya. “Tapi” menggantung di sana, diantara kemarin dan besok, di sebuah tempat diantara tempat saya tinggal di Maryland dan tempat tinggal saudari saya di Midwest, di sebuah tempat diantara status kelas menengah saya dan kelas pekerja miskin saudari saya. Di sebuah tempat diantara dua kakak-beradik, satu yang berhasil meninggalkan kemiskinan, dan satunya tertinggal di sana.
Sesudah artikel saya diterbitkan, saya menerima banyak telepon yang memberitahu saya bahwa mereka meneteskan air mata, menangis, setelah membaca tulisan itu. Saya juga mendapat telepon dari mereka yang menolak saya wawancarai.
Situasinya jadi serba salah buat saya. Saya menulis cerita itu karena saya merasa itu perlu disampaikan ke publik. Saudari – saudari saya membaca tulisan itu dan setuju untuk diterbitkan. Masing-masing saudari saya memberikan reaksi yang berbeda setelah membaca tulisan saya. Ada yang merasa kisah itu adalah pernyataaan kebenaran atas situasi yang ada. Ada yang menganggap tulisan itu luapan katarsis. Ada yang, pokoknya gak keberatan aja.
Ibu saya suka dengan tulisan itu. “DeNeen,” kata dia, “kamu gak menceritakan semuanya di situ. Mengapa kamu gak memuat banyak hal?”
Ketika kita menulis tentang pengalaman kita sendiri, siapkan diri untuk menghadapi reaksi keras dari mereka yang kamu sebutkan dalam tulisan, dari teman dan kerabat, juga dari pembaca. Saya sering mengatakan kepada orang lain, “kamu mungkin membaca sebuah kisah, tapi kamu hanya tahu sebatas yang saya ungkapkan/tulis.” Orang (pembaca) memiliki pemikiran, perasaan dan rasa percaya tersendiri terhadap apa yang kita tulis. Gak masalah. Penilaian orang lain bisa saja sulit untuk dihadapi, tapi hal itu tidak terelakkan.
Sebagai jurnalis, tugas kita adalah membantu membentuk kembali bagaimana sekelompok orang berpikir tentang orang lain. Kita harus menggali lebih dalam dari stereotipe. Kita perlu berlutut atau memanjat ke atas kursi atau berjalan menggunakan sepatu dari orang yang kita tulis. Kadang kala kita melakukannya dengan mendalami jurnalisme. Kadang kala kita melakukannya dengan menulis pengalaman kita sendiri.
Pengalaman DeNeen, yang mendapatkan sejumlah penghargaan karya jurnalistik, memberikan contoh, bagaimana kita bisa mengungkapkan kebenaran, yang sulit kita dapatkan dari narasumber lain, lewat pengalaman kita sendiri. Tentu saja kalau kita memang benar-benar memiliki kisah hidup yang relevan dengan tema yang akan kita angkat.
No Comment