USTADZ SELEB; BENTUK "KESALEHAN AKTIF"?
Ramadan Journey 2013
Day 24 (or 27? hehehe)
“Julia Day Howell membandingkan penceramah-penceramah televisi di Indonesia dengan fenomena yang sangat mirip di Mesir. Dia mengadopsi istilah “kesalehan aktif” dari tulisan Asep Bayat tentang Mesir yang menggambarkan model ketaatan beragama yang ditawarkan oleh penceramah televisi di Indonesia. Di sini, penulis menggunakan contoh Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dan Arifin Ilham. Howell mengenali dua ciri utama yang membedakan penceramah televisi di Indonesia dan Mesir. Pertama, dimasukkannya unsur-unsur sufi. Kedua, dilibatkannya cendekiawan-penceramah yang terlatih dalam ilmu-ilmu Islam klasik bersama para penceramah populer. Howell meneliti bangkitnya ketertarikan pada ajaran-ajaran sufi belakangan ini yang ditafsirkan secara baru dalam konteks global agar cocok dengan kehidupan orang-orang di Indonesia. Yang berasal dari kelas menengah, terpelajar dan tinggal di kota. Dia menjelajahi dua jalan yang berlainan, di mana kebangkitan sufi ini dipromosikan oleh (1) para ulama yang mendapat pendidikan Islam tradisional yang berkomunikasi dengan para pengikutnya di kelas-kelas pendidikan untuk orang dewasa atau dengan ambil bagian dalam diskusi panel di televisi dan (2) para pendakwah televisi yang menggunakan siaran-siaran yang diatur dan didramatisasikan di depan jemaah yang sangat banyak. Meskipun kedua kelompok penceramah ini mendorong perkembangan spiritual diantara para pengikutnya, kelompok pertama disebut Howell “mempromosikan perjalanan yang sangat otonom dari perkembangan spiritual pribadi”. Sedangkan kelompok kedua menawarkan kepada para penganut setianya suatu perjalanan yang begitu diatur berdasarkan Islam yang secara sosial lebih konservatif.”
Kutipan di atas saya ambil dari Bab Pendahuluan yang ditulis Greg Fealy dan Sally White, penyusun buku berjudul, “USTADZ SELEB, Bisnis Moral & Fatwa Online, Ragam Ekspresi Islam di Indonesia Kontemporer.” Julia Day Howell adalah Profesor Perhimpunan Pengkajian Asia, Departemen Bisnis Internasional dan Studi Asia, Universitas Griffith, Brisbane. Greg Fealy adalah Dosen Senior dan Rekanan (fellow) Politik Asia Tenggara, Akademi Pengkajian Asia da Pasifik dan Fakultas Pengkajian Asia di Universitas Nasional Australia, Canberra. Sally White adalah visiting fellow di institusi tempat Fealy bertugas. Ketiganya menjadi bagian dari 15 kontributor dalam buku yang diterbitkan atas kerjasama Proyek Indonesia, Univesitas Nasional Australia dengan Komunitas Bambu, Februari 2012.
Dua hari lalu, saya merasa kurang enak badan. Batuk dan migren kumat. Alhamdulillah tidak sampai membatalkan puasa. Seharian di rumah untuk istirahat membuat saya sempat memperhatikan koleksi buku di perpustakaan pribadi kami di rumah. Banyak buku yang belum sempat saya baca. Sebagian buku saya beli saya pergi ke luar negeri atau oleh-oleh teman. Sebagian lain beli di toko buku lokal, ataupun kiriman penulisnya. Dua bulan lalu saya membeli 125 buku dari Komunitas Bambu yang banyak menerbitkan buku-buku, kebanyakan adalah buku terkait sejarah.
Lewat akun Twitter pendiri Komunitas Bambu, @JJRizal saya dapat info ada “sale”, buku-buku terbitan komunitas ini. Lumayan, diskon sampai 50%. Jadi, dengan duit Rp 5 juta saya dapat 125 koleksi buku. Hampir semua judul buku yang ditawarkan belum saya punyai. Pas, saat itu saya baru terima bonus dari kantor. Saya pikir, baik juga kalau sebagian dialokasikan untuk melengkapi koleksi perpustakaan pribadi. Soal kapan bacanya urusan belakangan. Kira-kira saya baru sempat baca 10-an buku, itupun baru halaman-halaman awal L
Meminjam istilah dalam jurnalistik kita, tema buku ini sangat “nge-peg”. Selama Ramadan, kita saksikan parade ustadz selebriti di layar televisi, mulai dari jelang saat bedug azan Maghrib tanda saatnya berbuka puasa, sampai jelang azan Subuh. Ini masa panen bagi para ustadz selebriti, yang frekuensi pemunculannya di media tak kalah intensif dengan para penggiat dunia hiburan. Makanya disebut ustadz seleb. Soal-soal pribadi, mulai dari berita pacaran, cerai, kawin lagi, pesta pernikahan mewah dan konflik dalam rumah tangga, sampai kematian mereka menjadi santapan tayangan infotainment.
Laman terjemahan bebas Wikipedia menyebutkan, al-`Ust?dz, transliterasi ‘Ustad’ atau ‘Ustaz’) adalah kata bahasa Indonesia yang bermakna pendidik. Kata ini diserap dari Bahasa Arab dari kata, pelafalan dan makna yang sama yaitu guru atau pengajar. Dalam bahasa Indonesia, kata ini lebih merujuk kepada guru, pengajar atau orang yang dihormati dalam bidang Agama Islam.
Pendek kata, orang yang disebut ustadz adalah figur panutan dan rujukan. Lalu, mengapa belakangan kita justru sering mendengar kisah minor terkait pada ustadz selebriti ini? Mulai dari informasi kegiatan sahur on the road bersama klub penggemar mobil mewah, sampai pertanyaan soal investasi pembangunan hotel yang dikelola seorang ustadz, yang dipertanyakan oleh sebagian kalangan.
Fenomena meroketnya popularitas Aa Gym yang ditopang oleh kemampuannya mengemas konten ceramah, serta “potret keluarga sakinah” bersama Teh Ninih istri pertamanya, sampai anjlok-nya reputasi Aa Gym akibat kecewanya para pengagum yang didominasi oleh kaum perempuan saat Aa Gym menikah lagi, dibahas oleh Howell dalam Bab 3 dari buku ini. Judul babnya, “Variasi-variasi Kesalehan Aktif: Profesor dan Pendakwah Televisi sebagai Penganjur Sufisme di Indonesia.”
Howell memaparkan, pada tahun 2000, saat popularitas Aa Gym meroket, dan ia menjadi tokoh nasional di Indonesia, di Mesir juga ada fenomena yang mirip. “Amr Khaled, seorang penceramah agama, berhasil membuat gebrakan di televisi negeri Piramid itu. Khaled mendapat sukses besar karena mempromosikan kesalehan Islam yang apolitis, sangat ritualistik, dan penuh dengan emosi yang juga tengah dipopulerkan oleh Aa Gym. “Sejak kesuksesan sensasional pertama Aa Gym dan ‘Amr Khaled di televisi pada tahun 2000, gaya baru berceramah mereka yang berisi nilai-nilai produksi dan hiburan tinggi mengalahkan ceramah-ceramah tokoh-tokoh pemilik otoritas yang telah mapan, yang menggunakan gaya terpelajar dan keras di beberapa kasus mewartakan ancaman akan siksa api neraka,” tulis Howell (hal 42).
Menurut Howell, Asef Bayat yang mengamati fenomena di Mesir, menggolongkan religiusitas gaya baru Mesir ini sebagai kesalehan aktif dan memberikan tekanan lebih pada pangsa demografis yang banyak terseret kepadanya, dalam hal ini adalah kelas menengah dan atas, khususnya para perempuan dan anak mudanya. Howell mencatat, di Mesir, fenomena ini muncul sebagai reaksi atas perjuangan kekerasan ala organisasi-organisasi Islam yang mapan dan berakar lama, dan ingin menjadikan Mesir sebagai sebuah negara Islam.
Soal pangsa demografis, fenomena yang sama kita saksikan di Indonesia. Pihak yang punya duit berlomba-lomba mengundang para ustadz seleb ini ke acaranya, termasuk di bulan Ramadan, karena mereka menjadi daya tarik utama dari acara yang mereka adalah, baik itu oleh individu maupun lembaga. Ingat masa kejayaan Aa Gym, almarhum Ustadz Jefri Al Buchori alias Udje. Bahkan saat meninggal dunia, Udje diantarkan ribuan penggemarnya sampai ke liang kubur. Kepergiannya disiarkan secara langsung secara nonstop oleh stasiun televisi.
Media membuat berita taksiran honor yang ditetapkan oleh para ustadz seleb. Tentu saja mereka membantah selentingan yang ditulis media. Toh, gaya hidup “orang kaya baru” yang ditampilkan sebagian ustadz seleb ini menjadi cermin berapa aliran rupiah yang mengalir deras ke koceknya. Harus diakui, peran media televisi membuat ustadz-ustadz ini menjadi selebriti sangat besar. Televisi terutama membangun merek dagang bagi ustadz seleb. Perebutan mereka membuat mekanisme pasar dinamis, terutama untuk program di bulan Ramadan. Harga terkerek naik. Agar tidak terjebak pada figur itu ke itu saja yang kian mahal dan sulit dipesan waktunya, televisi membuat talent show untuk menjaring calon ustadz seleb. Dari yang muda, sampai tingkat anak-anak.
Di Indonesia, umumnya para ustadz seleb mendapatkan “kepercayaan” dari pengagumnya karena menyodorkan kisah masa lalu kehidupan mereka. “Cerita-cerita pertobatan para penceramah itu sendiri penting sebagai daya tarik mereka,” tulis Howell. Well, sounds familiar dengan para ustadz seleb di sini yang membagi kisah masa lalu yang unik bahkan kelam. Kisah masa lalu, digabungkan dengan “pengalaman sufistik”, itulah resep jualan yang mudah ditelan konsumen. Tengoklah pengalaman Aa Gym yang mengaku pernah bermimpi bahwa Nabi Muhammad pernah mencari-carinya. Aa gym lantas mencari seorang ulama yang dihormati. Ulama ini mengenali bahwa Aa gym menerima hadiah yang disebut “tanazul”, yang artinya Tuhan membuka hatinya kepada ilmu yang datang langsung dari-Nya tanpa perlu waktu lama untuk persiapan (hal 50). Howell menilai Arifin Ilham melakukan hal yang sama dengan pendekatan zikir akbar dan zikir taubat.
Saya belum selesai membaca sepenuhnya buku ini, kecuali Bab Pendahuluan dan Bab 3 yang membahas tema yang dijadikan sebagai judul buku – judulnya juga dipilih yang menjual sih, karena memasang foto lima ustadz selebriti, yakni Aa Gym, Arifin Ilham, Udje, Yusuf Manyur dan Soleh Mahmud alias Solmed yang baruan dihebohkan dengan isu “Lamborghini”.
Isi buku yang berdasarkan riset dan wawancara ini menarik dan lengkap. Ada bab soal fenomena ziarah dari sudut pandang komersial, dilema dakwah lisan, pertanyaan soal peraturan daerah syariah, preman Islam, terorisme sampai ekonomi Islam. Penulisnya termasuk sejumlah nama lokal mulai dari Maria Ulfah Ansor, Umar Juoro sampai Muhammad Syafii Antonio.
Saya berniat menuntaskan membaca buku ini selama liburan Ied Fitri. Mumpung wajah-wajah para ustadz seleb masih gencar wara-wiri di layar televisi, termasuk di tempat saya bekerja. Buku ini membuat saya #barutau tentang mereka. #end
PS. Tulisan Ramadan Journey belakangan jadi mengikuti fenomena ustadz seleb: kejar nulis, kejar tayang di blog 😀
No Comment