HomeUncategorized18 Pesan Kunci Akhiri Praktik Perkawinan Anak

18 Pesan Kunci Akhiri Praktik Perkawinan Anak

Catatan:  Pesan ini saya terima dari Ade Novita Juliano, aktivis 18+, kelompok yang menyosialisasikan pentingnya mencegah perkawinan dini.  Saya mendukung gerakan ini.

Silahkan dibaca mengapa kita perlu peduli akan masalah ini.  Jika Anda setuju, mari membantu untuk sebarluaskan pesan ini.  Terima kasih.###

18 Pesan Kunci untuk akhiri Praktik Perkawinan Anak
1. 1 dari 4 perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun (Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008, 2009, 2010, 2011, 2012)
2. 1 dari 10 remaja usia 15-19 tahun telah melahirkan dan/atau sedang hamil anak pertama (SDKI 2012)
3. Perkawinan pada Usia Anak memiliki hubungan yang sangat erat dengan capaian pendidikan. Persentase perempuan yang menikah di atas usia 18 memiliki kesempatan menyelesaikan pendidikan Menengah Atas 6 kali lebih dibandingkan yang menikah di bawah 18 tahun (Susenas 2012). 16% remaja tidak berpendidikan sudah pernah melahirkan, sedangkan perempuan yang sempat mengenyam pendidikan tinggi hanya 0,6% pernah hamil pada usia di bawah 19 tahun (lebih dari 26 kali lipat) (SDKI 2012).
4. Kehamilan pada usia remaja beresiko tiga hingga tujuh kali lipat berujung pada kematian ibu dibandingkan kehamilan pada rentang usia 20-35 tahun (dr. Julianto Witjaksono, Sp.OG, saksi ahli pada Persidangan Mahkamah Konstitusi, hal 5 Risalah Sidang No 30 dan 74/PUU-XII/2014 tertanggal 29 September 2014). Secara global, komplikasi kehamilan adalah penyebab kematian terbesar kedua untuk remaja perempuan usia 15-19 tahun. Pendewasaan usia kehamilan menjadi 20 tahun dapat menurunkan rasio kematian Ibu dari 1,400 per 100,000 kelahiran menjadi 550 per 100,000 kelahiran. Preeklampsia (hipertensi atau tekanan darah tinggi pada kehamilan), kerusakan jalan lahir pasca salin berupa terbentuknya lubang-lubang di vagina, serta kemungkinan terbaliknya rahim, dan depresi pascasalin yang bisa meningkat 25 sampai 50% dari kehamilan remaja tersebut.
5. Bayi yang dilahirkan oleh ibu berusia remaja memiliki resiko 50% lebih tinggi untuk meninggal di saat lahir (SDKI 2012, dan disebutkan kembali oleh dr Kartono Mohamad, saksi ahli pada Persidangan Mahkamah Konstitusi, hal 8 Risalah Sidang No 30 dan 74/PUU-XII/2014 tertanggal 29 September 2014). Rasio kematian bayi dari ibu berusia remaja (15-19) adalah 61 per 1000 kelahiran hidup berbanding dengan rasio kematian bayi pada ibu usia dewasa 40 per 1000 kelahiran hidup.
6. Kehamilan pada usia remaja memiliki dampak negatif terhadap tumbuh kembang remaja tersebut dan janin yang dikandungnya. Kebutuhan nutrisi pada masa remaja sangat besar, karena pada masa inilah terjadi perkembangan hormon-hormon penting, pertumbuhan dan kematangan tulang. Jika terjadi kehamilan pada usia ini, maka ibu dan janin akan berebut nutrisi dan oksigen, tulang panggul belum cukup kuat untuk menjadi jalan lahir secara normal, sehingga resiko kehamilan dan melahirkan menjadi lebih besar baik bagi ibu maupun bayi.
7. Kejadian kelahiran dengan berat badan lahir rendah (<2500 g) pada ibu dengan usia remaja adalah dua kali lipat dari ibu yang berusia dewasa (Jonathan D. Klein, Journal of the American Academy of Pediatrics, 2005)
8. Perkawinan pada usia anak berkontribusi pada pelestarian rantai kemiskinan khususnya pada perempuan. Perempuan yang menikah pada usia anak dan terputus pendidikannya akan semakin terpuruk baik pada aspek modal sosial (kecakapan hidup, pendidikan, kesehatan termasuk kesehatan reproduksi), kepemilikan aset, dan jejaring sosial (World Bank, 2001). Mereka kerap terasing dari dunia kerja, memiliki akses terbatas pada penyediaan layanan, dan tidak memiliki kontrol terhadap pemasukan/income rumah tangga.
9. Perkawinan pada usia anak meletakkan anak pada resiko dan kerentanan yang lebih besar terhadap kekerasan. Pemukulan (beating) sering dipandang sebagai bentuk hukuman yang wajar bagi istri yang dipandang tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. 41% anak perempuan di Indonesia menganggap wajar seorang suami memukul istri berdasarkan alasan-alasan seperti tidak menyediakan makanan yang enak, tidak menanggapi ajakan melakukan hubungan seksual, tidak mampu mendiamkan anak yang sedang menangis, dan sebagainya.
10. Secara psikologis, seorang anak tidak seharusnya membesarkan seorang anak. Anak perempuan yang menikah dan hamil pada usia remaja justru sedang mengalami transisi menjadi dewasa dan sedang membutuhkan berbagai penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang sedang ia alami. Memberi tekanan kepada mereka dalam bentuk tanggungjawab pengasuhan dan kewajiban-kewajiban pengelolaan rumah tangga memiliki konsekuensi terhadap kesehatan jiwa.
11. Secara psikososial, remaja perempuan sedang berada pada masa ketika ia sedang mempertanyakan jati dirinya dan perannya dalam lingkungan sekitar. Perkawinan pada usia anak membuat yang bersangkutan tercerabut dari keluarga dan jejaring pertemanan sebaya.
12. Perkawinan usia anak akan berdampak buruk bukan hanya untuk anak (atau generasi) nya tetapi juga untuk generasi selanjutnya. Penelitian yang dilakukan oleh American Academy of Pediatrics, 2005 menunjukkan bahwa anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang melahirkan pada usia remaja tidak dapat berkembang dengan setara dengan rekan-rekannya yang dilahirkan oleh ibu yang melahirkan pada usia dewasa. Mereka rata-rata mengalami keterlambatan pertumbuhan, kesulitan akademis, permasalahan perilaku, penyalahgunaan napza, perilaku seksual beresiko, depresi, dan kawin dan melahirkan pada usia dini juga.
13. Perempuan yang menikah pada usia lebih dewasa dapat memilih untuk hamil dan melahirkan pada tingkat kesiapan yang lebih matang, dan lebih mampu merencanakan jumlah anak. Ini akan berdampak pula pada perkembangan jumlah penduduk yang lebih sesuai dengan pengembangan program Keluarga Berencana nasional. Rasio Pertumbuhan Penduduk yang lebih rendah berasosiasi dengan usia harapan hidup yang lebih tinggi.
14. Undang-Undang Perkawinan No 1/1974 pasal 7 ayat 1 masih mengizinkan anak perempuan menikah pada usia 16 tahun (sementara usia minimum menikah untuk laki-laki adalah 19 tahun) bahkan di ayat 2 nya memungkinkan lebih muda dari 16 tahun dengan hanya meminta persetujuan pejabat setempat.
15. Undang-Undang No 23/2003 tentang Perlindungan Anak melarang perkawinan usia anak. Pasal 1 menyatakan bahwa ‘Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan’. Pernikahan pada usia dibawah 18 tahun karenanya merupakan Perkawinan Usia Anak. Pasal 26 Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
16. Perkawinan usia anak merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Khususnya pada Pasal 28 A, 28 B ayat (1), 28 C ayat (1), 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (2) dan ayat (3), Pasal 28 H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 28 I ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang pemenuhan hak-hak azasi manusia
17. Perbedaan pengaturan usia dewasa pada pasal-pasal yang terdapat dalam UU Perkawinan maupun dengan UU perlindungan anak telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi perlindungan anak perempuan.
1. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menetapkan umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki merupakan usia yang masak untuk melangsungkan perkawinan,
2. Pasal 47 ayat (1), Undang-Undang Perkawinan menetapkan umur 18 tahun sebagai batasan umur seorang anak berada di bawah pengawasan orangtuanya.
3. Pasal 45 ayat (1) dan (2), Undang-Undang Perkawinan menegaskan dua ketetapan waktu bagi orangtua untuk memelihara dan mendidik anak mereka, yakni: 1) sampai anak tersebut kawin; atau 2) dapat berdiri sendiri
18. Adanya pembenaran perkawinan usia anak dalam UU Perkawinan bukan tidak mungkin dimanfaatkan pedophilia atau orang dengan perilaku seksual menyimpang dengan mengincar anak dapat berlindung dibalik UU ini dan membuat UU Perlindungan Anak tidak dapat diterapkan.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
BERPACU DI JALUR KEMANDIRIAN ENERGI
Next post
Ber-Socmed Ria Ala Randi Zuckerberg

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *