HomeUncategorizedPengantar Diskusi Mengenai Etika Privasi dan Jurnalisme

Pengantar Diskusi Mengenai Etika Privasi dan Jurnalisme

We define freedom of the press as that degree of freedom from restraint which is essential to enable proprietors, editors and journalists to advance the public interest by publishing the facts and opinions without which a democratic electorate can not take responsible judgments
(Royal Comission on the Press Final Report, Media Law, by Geoffrey Roberstson and Andrew Nicol, 1984)

Kalimat di atas menjadi pembuka buku “Media Law”. Prof Bagir Manan, Ketua Dewan Pers membacakannya dalam sebuah Rapat Pleno Dewan Pers di awal bulan Ramadhan tahun ini.  Intinya adalah, kemerdekaan atau kebebasan pers, adalah kemedekaan yang didedikasikan untuk kepentingan publik, dan bukan yang lainnya.  Pertanyaannya, apa definisi “Kepentingan Publik'”?  Pertanyaan berikutnya adalah “Publik yang mana?”, Siapa yang berhak mendefinisikan kepentingan publik itu?

Kalimat di atas saya jadikan pengantar dalam Diskusi Mengenai “Etika Privasi dan Penyadapan Di Media Massa” yang diadakan Dewan Pers pada hari yang sama dengan hari digelarnya Rapat Pleno tersebut. Diskusi dipicu oleh skandal penyadapan telpon (phone-hacking) yang membuat raksasa bisnis surat kabar Ruper Murdoch harus menutup tabloid kesayangannya, News of The World (NoW) yang sudah berusia 168 tahun dan memiliki oplah 2,7 juta eksemplar.  Jumlah yang besar mengingat sirkulasi media cetak di Inggris, tempat NoW diterbitkan adalah 8,9 juta eksemplar.  Koran The Guardian, yang pertama kali mengungkap skandal penyadapan telpon yang dilakukan NoW memiliki oplah sekitar 300.000. Tak heran jika ketika The Guardian pertama kali memberitakan skandal ini, tahun 2009, tak banyak media lain dan publik yang “memperhatikan”.  Lagipula kerajaan bisnis Murdoch sibuk mencoba menutupi skandal ini termasuk dengan meminta pihak berwenang, provider telpon, menghapus sejumlah email komunikasi mereka, untuk menutup jejak perbuatan yang mereka lakukan. Carl Bernstein, legenda investigative reporting yang dikenal dengan liputan “Watergate”bersama  Bob Woodward, menyebut skandal ini hanya bisa terjadi karena perusahaan pers beroperasi seperti ‘perusahaan mafia’.  Melakukan perbuatan kriminal.  Dalam buku Media Law di atas, penyadapan telpon dan komunikasi dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. Jadi, bukan sekedar pelanggaran etika jurnalistik semata.

Di Inggris, yang dikenal dengan sejumlah media bernuansa tabloid yang gemar menerobos privasi narasumber, skandal NoW awalnya dianggap biasa.  Media di sana sudah biasa mendapatkan berita dengan cara melanggar etika, termasuk membayar informan untuk mendapatkan berita.  Hal ini dilakukan baik kepada figur publik maupun orang biasa.  Di AS, ada perlindungan privasi terutama untuk warga biasa.  Mereka bisa menggugat media yang melanggar privasi.  Bagi  figur publik, ceritanya bisa berbeda.  Skandal NoW lantas menimbulkan kemarahan, ketika terungkap bahwa NoW menyadap rekaman pembicaraan telpon orang tua dari  bocah berusia 13 tahun yang jadi korban pembunuhan.  Padahal, berdasarkan hukum di Inggris, penyadapan hanya bisa dilakukan atas perintah pengadilan.

Kasus ini awalnya sulit diungkap karena sejumlah oknum polisi bekerja untuk koran-koran Murdoch termasuk NoW.  Dalam laporan yang ditulis Nick Davies, wartawan the Guardian yang secara intensif membongkar skandal NoW, terungkap bahwa selama 2009, induk NoW secara diam-diam menyelesaikan pembayaran atas gugatan sejumlah korban penyadapan telpon. Nilai pembayaran tak kurang dari 1 juta poundsterling.  Yang disadap mulai dari politisi, pejabat hukum, selebriti hingga orang biasa termasuk keluarga yang anaknya jadi korban pembunuhan.

Kasus penyadapan telpon yang dilakukan NoW lantas mendorong penyelidikan oleh parlemen Inggris terhadap praktik pelanggaran privasi yang dilakukan sejumlah media di sana selama ini. Juga, kolaborasi antara media dengan penguasa.  Di Australia, kasus ini sempat memicu debat soal perlunya pengaturan lebih ketat dalam pelaksanaan tugas jurnalistik yang dilakukan wartawan.  Untungnya, debat tidak berujung pada lahirnya pembatasan.  Proses penegakan hukum yang dilakukan atas NoW, dengan dukungan politik dari parlemen di Inggris, nampaknya meredakan tekanan terhadap rencana pembatasan praktik jurnalistik.  Yang berlaku adalah, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, hukum yang bersalah.

Bagaimana di Indonesia?

Wartawan di Indonesia terikat dengan Kode Etik Jurnalistik yang disepakati oleh masyarakat pers dan dikukuhkan dnegan Keputusan Dewan Pers No 03/SK-DP-III/2006.  Dalam bagian pertama dari KEJ tersebut, ada rumusan kalimat: “Dalam menjalankan fungsi, hak dan kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol masyarakat.”

Dalam KEJ tersebut, ada dua pasal yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan privasi yakni Pasal 2b dan Pasal 9.  Di Pasal 2b, terkait dengan cara-cara melaksanakan jurnalistik secara profesional, wartawan Indonesia wajib menghormati privasi.  Pasal 9 senafas dengan kutipan dari Royal Comission on Press: di atas, dan bunyinya adalah: “Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya kecuali untuk kepentingan publik””. Penafsiran dari Pasal 9 cukup jelas, (a) Menghormati Hak Narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati, (b) Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Jelas bahwa dalam praktik jurnalistiknya, wartawan di Indonesia harus taat KEJ, sungguhpun tidak disebutkan secara spesifik mengenai penyadapan telpon dan komunikasi.  Tetapi wartawan tidak bisa dibedakan dari warga negara lain dalam kewajibannya menghormati hukum.  Dalam Pasal 2 KEJ, butir terakhir memang ada diskresi, bahwa cara-cara yang melanggar ketentuan dalam butir sebelumnya dapat diabaikan sepanjang melakukan liputan investigatif dengan kepentingan publik yang tinggi.

Jelas, unsur kepentingan publik menjadi kata kunci.  Kembali ke pertanyaan di atas: Apa Kepentingan Publik?  Publik yang mana? Siapa berhak mendefinisikan? Bagaimana dengan potensi pelanggaran hak asasi manusia dalam peliputan yang menabrak privasi?

Sebuah tulisan yang tak saya temukan nama penulisnya?nampaknya seorang akademisi yang mengajar jurnalistik di sebuah universitas di Colorado, AS, menurut saya berisi sejumlah pertanyaan dasar yang perlu kita tanyakan kepada diri kita sebagai wartawan terkait dengan Etika Privasi: http://www.uiowa.edu/~c019168/168s6online15.html.

Wartawan diingatkan pada sejumlah pertanyaan:

  • Dalam memutuskan mana informasi yang sifatnya pribadi, dan harus dilindungi dari publikasi ke publik, bagaimana kita membedakan : apa yang disebut “public has a right to know, needs to know, and wants to know?”
  • Apakah orang/warganegara memiliki hak privasi? Siapa saja yang punya hak privasi? Dalam keadaan/situasi apa mereka punya hak privasi? Bagaimana dengan “personal need for privacy”?

Etika Privasi dalam penerapannya berkembang sejalan dengan berkembangnya kultur masyarakat.  Tapi dalam sejarahnya, pelanggaran privasi biasanya dilakukan melalui cara-cara:

  • Menerobos area pribadi
  • Publikasi hal-hal yang menyangkut privasi, berpotensi mempermalukan obyek dan menyodorkan fakta-fakta yang tidak relevan
  • Menempatkan seseorang dalam “sorotan publik”atas sesuatu informasi yang salah
  • Menyalahgunakan  nama seseorang atau gambar seseorang untuk kepentingan yang mendatangkan keuntungan pribadi.

Menurut saya, semua pelanggaran di atas bisa dilakukan baik oleh wartawan, warga lain, pejabat publik, politisi, penguasa!!

Tulisan tersebut juga mengungkapkan, bahwa filsuf dan pakar etika jurnalistik, Louis Hodges menjelaskan dalam “circles of intimacy“, bahwa ketika orang lain menerobos masuk ke area privat, seseoang akan kehilangan kontrol atas informasi mengenai dirinya sendiri (Journal and Mass Media Ethics, 20090.  Dalam kasus-kasus khusus seperti suasana perkabungan, soal ini menjadi relevan.  “Minimizing harm“, sebuah etika universal yang dianut wartawan bisa menjadi dasar untuk pemberlakuan etika privasi.  Peliputan media di Indonesia, misalnya banyak menuai kritik karena pelanggaran privasi saat peristiwa perkabungan dan atau bencana/musibah.

Perlu disampaikan pula di sini, Hodges mengingatkan, sebagai warganegara bebas, privasi dibutuhkan untuk berlindung dari intervensi kekuasaan negara.  “Ä government that knows everything about us is a government that will be readily able to control us..even when that is “for our own good”.

NoW, dan sejumlah skandal yang dilakukan media di Inggris yang sudah berkembang ratusan tahun, bisa saja terjadi di Indonesia, dalam beragam format.  Menjadi tugas kita semua, termasuk Dewan Pers untuk memastikan hal itu tidak terjadi. Proses sertifikasi wartawan, melalui Uji Kompetensi adalah salah satu upaya yang dilakukan Dewan Pers.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 3 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Media Convergence in the US and in Indonesia: A Talk with Uni Lubis
Next post
Manila Declaration on Reporting on Violence and Emergencies

1 Comment

  1. Niken Widowaty
    November 14, 2011 at 11:17 pm — Reply

    Belajar banyak buat newbie kayak saya,, makasih mbak.. 🙂

Leave a Reply to Niken Widowaty Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *