HomeUncategorizedMeliput Anak, Menjamin Hak-Haknya

Meliput Anak, Menjamin Hak-Haknya

“There is no trust more sacred than the one the world holds with children. There is no duty more important than ensuring that their rights are respected, that their welfare is protected, that their lives are free from fear and want and that they can grow up in peace.”  (Koffi Anan, former UN Secretary General)

                                                     ****

 Problematika Anak Indonesia

Selasa, 18 Oktober, Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seks Komersial Anak meluncurkan “Laporan Pemantauan Global, Memonitor Status Aksi Melawan ESKA di Indonesia 2011.”  ESKA, adalah Eksploitasi Seks Komersial Anak.  Laporan itu menyebutkan, salah satu masalah besar yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah masih maraknya praktek pengeksploitasian anak. Anak dijadikan pengemis, pengamen, bahkan sebagai pekerja seks komersial (PSK). Eksploitasi ini umumnya terjadi akibat rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi di sebagian masyarakat.

Anak-anak Perlu Dijamin Haknya oleh Media

Menurut sebuah penelitian, pada tahun 2009 sekitar 14,2 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, dengan tingkat pengangguran 8,14 persen”. Selain kemiskinan ada banyak penyebab lain yang membuat anak-anak ini akhirnya dieksploitasi. Misalnya saja agar dapat bertahan hidup di Jakarta, atau kurangnya pendidikan si anak,” ungkap Ahmad Sofian, koordinator nasional ECPAT Indonesia yang menyampaikan laporan itu, sebagaimana diberitakan Kompas.Com.

ECPAT adalah jaringan global organisasi-organisasi dan individu-individu yang bekerja bersama-sama untuk menghapuskan pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Informasi mengenai ECPAT dapat di-klik http://www.ecpat.net/ei/Publications/CST/CST_FAQ_BAHASA.pdf. ESKA, adalah organisasi lokal di Indonesia yang berafiliasi ke ECPAT.

“Menurut perkiraan ada sekitar 40.000 sampai 70.000 anak korban eksploitasi seksual di seluruh Indonesia, dan di pulau Jawa sendiri diperkirakan ada 21.000 anak yang terlibat prostitusi,” kata Ahmad Sofian.

Catatan ECPAT menunjukkan, lokasi di Indonesia yang terkenal sebagai lokasi pariwisata seks adalah Bali, Batam, bagian utara pulau Bintan, dan Lombok. Setiap tahunnya, ada sekitar 3.000 wisatawan asal Singapura dan Malaysia yang datang ke Batam untuk melakukan pariwisata seks. Yang paling disayangkan adalah, para pekerja seks di Batam ini 30 persennya (5.000-6.000) merupakan remaja perempuan berusia sekitar usia 18 tahun.

Pekan ini, tim peliput program mingguan TOPIK KITA antv menelusuri praktik perdagangan anak yang dipekerjakan sebagai penari telanjang di sejumlah tempat di Jakarta. Mereka masih di bawah umur.  Mereka datang ke Jakarta berharap mendapatkan pekerjaan layak untuk menafkahi keluarga.  Kisahnya kemudian menjadi klasik: terjerumus ke lembah hitam.

Membaca laporan ECPAT Indonesia, mendengar laporan tim peliput antv, saya tercenung. Anak-anak Indonesia terus menjadi korban kekerasan, perundungan seksual, perdagangan anak, kriminalitas dan berbagai kejahatan lain.

Ilustrasi di Internet tentang Anak Korban Pelecehan Seksual.

Bagaimana media berperan mengungkap fenomena ini?  Memastikan hak anak-anak dilindungi?  Memastikan kesadaran masyarakat untuk melindungi hak anak kian besar? Bukankah salah satu tugas penting dalam jurnalisme adalah memberikan ruang bagi “the voiceless” untuk didengar?  Anak-anak, sama halnya dengan kaum marjinal adalah mereka yang tak sanggup bersuara memperjuangkan haknya.

`        Dua pekan lalu, 14 Oktober 2011,  saya menyampaikan soal ini di Manila, dalam sebuah acara yang digelar  The International Committee of the Red Cross (ICRC), atau Palang Merah Internasional. “Covering Children; From Privacy to Violence, Indonesia Case Study” adalah judul presentasi saya pada konperensi  yang menghadirkan pembicara 20 editor dari berbagai negara di kawasan ini, 14 Oktober 2011.  Tema besar  konperensi  ini adalah “Reporting On Violence and Emergencies”.

Saya memulai presentasi dengan menampilkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dari tahun ke tahun, ada kecenderungan peningkatan angka laporan kekerasan terhadap anak. Tahun 2008, laporan masuk terkait kekerasan terhadap anak yang ditangani KPAI sebanyak 1.726.  Tahun 2009, meningkat menjadi 1.998 kasus, sementara sampai Mei 2010 angkanya tercatat 1.826 kasus.  Padahal, Indonesia sudah memiliki UU Perlindungan Anak No 23/2002.  Coba kita simak bunyi pasal 2 UU tersebut:

Penyelenggaraan perlindungan anak berdasarkan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak, meliputi:

  1. non-diskriminasi;
  2. kepentingan yang terbaik bagi anak;
  3. hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembagan; dan
  4. penghargaan terhadap pendapat anak

 

Lalu ada Pasal 3 UU Perlindungan Anak  mengatur soal:

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

 

Belum cukup serius? Ada Pasal 24 UU Pelindungan Anak menyatakan:

 

Negara dan pemerintah menjamin bahwa anak-anak dapat menggunakan

haknya untuk menyampaikan pendapat yang sesuai dengan usia dan

tingkat kecerdasan/pendidikannya.

 

 

UU ini juga menyatakan yang dimaksud dengan “Anak” adalah setiap orang

yang berusia di bawah 18 tahun.

 

Anak-anak Pengungsi Merapi. Dalam Setiap Bencana Anak-anak Paling Menderita.

Kondisi anak di Indonesia masih memprihatinkan.  Datanya bisa kita pelajari dari Indonesia’s Country Report On Welfare and The Protection of Children. Dalam laporan itu terungkap bahwa terdapat 85 juta anak atau 30% dari populasi Indonesia. Setiap tahun ada 4,5 juta  anak lahir, dengan tingkat mortalitas (kematian) bayi yang cukup tinggi yakni 34/100.  Enampuluh persen dari bayi baru lahir tak memiliki akte kelahiran –biasanya karena orang tuanya miskin–.

Karena tak punya akte, maka anak itu tak terdaftar di mana pun dan tak dapat mengakses bantuan pemerintah termasuk di bidang kesehatan. Kondisi ini membuka peluang terjadinya eksploitasi anak pada usia dini dan pemalsuan umur dan identitas karena praktik kejahatan terselubung termasuk asusila.  Laporan itu bisa diakses di: http://www.aipasecretariat.org/wp-content/uploads/2011/07/Indonesia_Welfare-and-Protection-of-Children.pdf

 

Masih dalam laporan yang sama, badan PBB untuk anak, UNICEF, tahun 2009 memaparkan data yang membuat miris.  Tiga juta anak Indonesia dipaksa bekerja di usia muda.  Setidaknya sekitar 30% pekerja seks komersial berusia di bawah 18 tahun.  Ada yang dipaksa menggeluti dunia kelam sejak usia 10 tahun! Diperkirakan sekitar 100 ribu perempuan dan anak-anak menjadi korban perdagangan manusia setiap tahunnya, kebanyakan sebagai pekerja seks komersial baik di Indonesia maupun di luar negeri.  Sekitar 12% dari anak perempuan terpaksa menikah sebelum usia 15 tahun.  Mereka rentan dijangkiti virus HIV/AIDS.

Bagaimana dengan mereka yang menjadi pelaku tindak kejahatan?  Tahun 2009, sekitar 4000-5000an anak menghuni pusat rehabilitasi soal maupun penjara.  Sebanyak 84% dari yang ditahan dicampur dengan tahanan kriminal dewasa. Tahun 2010, KPAI melaporkan jumlah anak yang harus menghuni penjara menjadi 7.000an orang.

UU Peradilan Anak yang berlaku saat ini dianggap belum sepenuhnya melindungi anak, karena cenderung menjebloskan anak yang terlibat tindak pidana kriminal ke penjara.  Indonesia yang terdiri dari 33 propinsi, hanya memiliki rumah tahanan anak di 16 propinsi saja.  Sisanya harus berbagi tempat dengan tahanan dewasa.  Tak heran jika anak-anak yang harus menjalani masa tahanan karena keterlibatannya dengan tindak kejahatan rentan dengan tindak kekerasan yang terjadi di penjara, pula pengaruh buruk dari tahanan dewasa.

Pemerintah berjanji menjamin hak setiap orang (termasuk anak)  untuk mendapatkan hak hukum, bantuan hukum dan perlakuan setara di depan hukum. Jaminan ini diatur dalam pasal 28 D (1) UUD 1945, dan pasal 18 dan 59 daei UU No 23/2002 tentang Peradilan Anak.  Tantangan yang sering dihadapi adalah: kesalahan prosedur masih sering terjadi saat proses penangkapan, penahananan, pengadilan dan pemenjaraan anak.  Belum lagi dengan pemenuhan hak amak untuk tidak menjawab pertanyaan di luar keterbatasan pengerahuan mereka terkait kasus yang tengah menjeratnya. s

Isu lain yang mengemuka dalam laporan terkait kondisi anak Indonesia adalah rentannya anak-anak (dan perempuan) dalam setiap konflik maupun di komunitas korban bencana alam.  Tak kurang dari 2.000 anak kehilangan orang tua dan ribuan lagi alami dampak psikologis setelah bencana Tsunami yang melanda Aceh dan Sumatera Utara,  26 Desember 2004. Disebutkan dalam laporan soal kesejahteraan anak Indonesia ini  bahwa  bagi anak-anak yang menjadi korban bencana alam, pemerintah Indonesia mendirikan pusat anak  yang menyediakan proteksi bagi anak-anak korban bencana .  Laporan UN World Fit for Children menyatakan, pada 2006, Pemerintah Indonesia membuat program desa ramah anak (children-friendly villages) di 50 desa di Aceh.  Sebagian besar kini tak lagi beroperasi.

 

Anak-anak Indonesia, sebagai mana yang terjadi di seluruh dunia, mengalami kekerasan di rumah, jalanan, sekolah, termasuk dari sesama teman-temannya. Kebanyakan dari tindak kekerasan ini disembunyikan, dan tidak dilaporkan karena ada paradigma bahwa kekerasan adalah bagian dari upaya mendisiplinkan anak — kasus terbaru adalah terungkapnya praktik bullying yang dilakukan senior di sebuah sekolah swasta terkemuka di Jakarta, yang dilaporkan orangtua murid ke KPAI.

 

Peran Media dalam Meliput Anak

Data-data di atas menunjukkan banyak anak Indonesia dalam situasi yag rawan.  Perlindungan anak menjadi adalah tantangan besar bagi semua pihak yang peduli termasuk media.   “Meningkatkan kesadaran mengenai hak anak dan promosikan hak anak adalah tantangan bagi media,” kata Aidan White, Sekretaris Jendral  Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) dalam pengantar “Children Rights and the Media, Putting Children in the Right”. Dokumen ini disusun bersama oleh para jurnalis dari berbagai media, didiskusikan di sejumlah forum IFJ di Amerika Latin, Eropa, Asia dan Afrika, dan diterbitkan atas kerjasama dengan Komisi Uni Eropa pada 2002.  Hasilnya adalah Pedoman bagi Jurnalis dan Praktisi Media.

Media berperan meningkatkan kesadaran akan pentingnya perlindungan anak dan anak, tetapi rentan juga ikut melakukan eksploitasi terhadap anak dengan menjadikannya obyek berita dan gambar yang provokatif baik melalui berita maupun iklan.  Lebih parah lagi, konten media bisa menjadi pembuka jalan bagi pornografi anak dan sumber informasi bagi pelaku seks yang memilih korban anak (pedofil).

Wartawan perlu menyadari konsekuensi dari setiap peliputan dan pemberitaannya.  Apalagi meliput dan memberitakan anak.  Organisasi media dan wartawan perlu bekerjasama dalam memastikan bahwa setiap peliputan dan pemberitaannya berorientasi pada hak-hak anak seraya menjamin kehormatan anak dan remaja.  Pemberitaan juga ditujukan untuk memastikan hak anak dipahami dan dijamin implementasinya oleh semua pihak.  Pemberitaan yang sensasional bisa berakibat negatif bagi anak yang diliput, juga anak-anak lain, sungguhpun maksudnya untuk menarik perhatian audiens.

Dalam pedoman peliputan anak yang disusun oleh IFJ di atas, misalnya, dikemukakan bahwa media jarang menganalisis penyebab ekonomi dan sosial dari terjadinya beragam perlakuan kejam terhadap anak: dipisahkan dari keluarga dan komunitasnya, tidak punya tempat tinggal, majikan yang korup dan kejam, perlakuan mucikari yang tidak manusiawi, pengaruh narkotika dan obat terlarang, atau mengapa orang tua yang miskin terpaksa menjual anaknya demi menyokong kebutuhan hidup keluarga.  Di sisi lain, kisah positif mengenai kehidupan mereka pun kerapkali ditampilkan secara parsial.

Meliput mengenai anak membutuhkan empati yang tinggi, tanpa mengorbankan kemerdekaan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi (public rights to know).  Dalam berbagai kesempatan diskusi yang digelar Dewan Pers baik di daerah maupun di Jakarta, saya mencoba menggugah kesadaran teman-teman wartawan mengenai soal empati ini.  Ini saya lakukan dalam kapasitas sebagai anggota Dewan Pers.

Setiap kali saya memberikan pre-test sebelum pelatihan jurnalis, pertanyaan mengenai bagaimana meliput terkait anak (khususnya korban kejahatan asusila) selalu saya tanyakan. Pertanyaan ini sudah saya tanyakan sedikitnya ke 500an wartawan di 7 propinsi.  Hasilnya, sebagian besar mengatakan “nama harus disamarkan, gambar harus di-blur.” Teknikal.

Jadi, begitulah interpretasi wartawan atas Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik Indonesia yang bunyinya:

  “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”

 

Dalam KEJ di atas, penafsiran dari pasal di atas adalah:

 

  1. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak
  2. Anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah

 

 

Hampir tidak ada yang menyinggung soal pentingnya melindungi privasi, apalagi mengulas mengapa penting merahasiakan (bukan sekedar menyamarkan nama) identitas anak dalam peliputan seperti ini.  Juga membahas bagaimana sebaiknya wawancara dengan narasumber anak dilakukan. Apalagi menjadikan trauma bagi si anak sebagai konsideran dalam peliputan.

 

Media yang Menghibur Anak di Saat Sulit

Padahal KEJ Pasal 2 mengatur soal hal ini.  Lengkapnya berbunyi:

“Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam menjalankan tugas jurnalistik”

 

Penafsiran  pasal di atas, Cara-cara yang profesional adalah:

 

  1. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
  2. menghormati hak privasi;
  3. tidak menyuap;
  4. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
  5. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
  6. f.      menghormati pengalaman traumatis narasumber dalam penyajian gambar, foto dan suara;
  7. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
  8. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik

 

Soal Privasi dalam KEJ diatur dalam Pasal 9 yang bunyinya:

 

“ Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.”

 

Penafsiran pasal di atas adalah:

 

  1. menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati;
  2. kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik

Wartawan mengenali apa yang sehari-hari dikerjakannya sebagai : bertugas melaporkan fakta, yang disampaikan secara lengkap, 5W+1H.  Laporan yang “basah”, detil selalu menjadi “perintah” harian yang diterima wartawan lapangan.  Siapa saja yang terlibat dalam peristiwa/kasus ini? Begitu selalu pertanyaan mendasar yang muncul.

Kendati demikian, wartawan perlu memahami bahwa untuk perlakuan khusus perlu dilakukan terhadap anak.  IFJ mengeksplorasi bagaimana wartawan dapat menyediakan tempat bagi anak untuk didengar pendapatnya di media (be seen and heard), mendengarkan aspirasinya dan melindungi identitasnya dari publisitas.

The Convention on the Rights of the Child, mengakui bahwa hak anak perlu dilindungi dan ditingkatkan pelaksanaanya, mencakup hak akan privasi, penghormatan dan reputasi, baik sebagai korban maupun dalam kondisi konflik dengan hukum. Isi lengkap dari Konvensi ini dapat diakses di www.unicef.org/crc, terutama pasal 12 dan 13 yang berkaitan dengan tugas jurnalistik.

Jadi, bagaimana seharusnya media/wartawan meliput anak? Ada sejumlah referensi dengan prinsip universal yang sama.  Wartawan Indonesia pun sudah memiliki kode etiknya.  Wartawan media elektronik bisa mengacu pula kepada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, Pasal 38 (lihat: Meliput Kejahatan Asusila di situs ini). Apa yang disusun oleh IFJ bisa menjadi referensi penting.

IFJ menyebutnya “Guidelines”, Pedoman Meliput Anak

Wartawan dan organisasi media harus berjuang memelihara standar tertinggi dan kode etik dalam meliput anak dan berita terkait anak, secara khusus wartawan harus:

 

  1. Berjuang untuk standar yang “excellent” dalam hal akurasi dan sensitivitas saat meliput isu-isu menyangkut anak;
  2. Menghindari memproduksi program dan publikasi gambar-gambar dan informasi yang dapat merusak anak –terutama dilakukan melalui program/media yang dikonsumsi anak.
  3. Menghindari presentasi yang mengandung stereotip (stigmatisasi) dan sensasional dalam mempromosikan konten jurnalistik yang melibatkan anak
  4. Mempertimbangkan dengan hati-hati konsekuensi atas publikasi dari setiap konten jurnalistik yang melibatkan anak dan seyogyanya meminimalkan dampak buruk bagi anak
  5. Menjaga kerahasiaan identitas anak, termasuk secara visual kecuali jika ada alasan kuat untuk kepentingan publik
  6. Memberikan hak dan akses bagi anak, di mana dirasakan perlu, untuk mengekspresikan pendapat mereka tanpa bujukan atau hal yang serupa
  7. Memastikan verifikasi independen atas informasi yang didapat dari anak dalam proses peliputan dan bersikap hati-hati dalam verifikasi agar tidak menempatkan anak yang menjadi sumber informasi dalam bahaya
  8. Menghindari penggunaan gambar/visual bernuansa seksual dari anak
  9. Menggunakan metode yang fair, terbuka dan langsung dalam mendapatkan/mengambil gambar-gambar anak sebagai narasumber, berikan penjelasan kepada mereka mengenai pengambilan gambar (termasuk peralatan yang digunakan untuk peliputan), dan pastikan dalam wawancara anak didampingi orang dewasa baik itu orang tua, wali atau ahli
  10. Verifikasi secara seksama setiap pihak/organisasi yang bermaksud berbicara untuk dan atau atas nama kepentingan anak
  11. Tidak memberikan materi/pembayaran kepada anak dalam kaitan dengan kesejahteraannya, orang tua, wali atau ahli atas peliputan, kecuali jika hal itu untuk kepentingan anak.

Selain panduan meliput (termasuk memberitakan) terkait anak, IFJ juga menyusun panduan wawancara dengan narasumber anak.  Bagaimana memastikan bahwa wawacara dapat dilakukan secara efektif seraya menghormati hak anak?

 

  1. Wawancara dengan anak seyogyanya dilakukan –kecuali dalam keadaan tertentu—dengan didampingi orang dewasa (orang tua, wali, ahli) yang mampu bertindak untuk melindungi kepentingan anak, termasuk menghentikan wawancara jika dirasa perlu
  2. Pewawancara harus duduk atau berdiri pada level yang sama tinggi dengan anak, dan pastikan jangan ‘talk-down” baik secara literally maupun metafor. Artinya, anak harus kita hormati keberadaannya sebagai narasumber. Jangan dianggap remeh
  3. Untuk wawancara radio dan televisi, pastikan anak dalam keadaan yang rilek dan tidak terganggu perhatiannya oleh peralatan siaran, misalnya kamera. Jika diperlukan, berikan penjelasan kepada anak atas fungsi kamera, pencahayaan, sehingga mereka paham dan tidak terganggu dengan teknologi di sekitar wawancara tersebut
  4. Pertanyaan harus ditujukan ke si anak, bukan ke orang dewasa yang mendampinginya.  Pendamping sifatnya mengawasi, tetapi tidak intervensi atas jawaban anak –memastikan cerita yang didapatkan adalah cerita anak, bukan  cerita pendampingnya
  5. Pewawancara harus bersikap tenang, bersahabat dan menggunakan suara netral terjaga dan tidak bereaksi mengejutkan atas jawaban
  6. Pertanyaan harus jelas dan langsung, dan bukan berupa pertanyaan tertutup yang mengarahkan jawaban anak.  Gunakan pertanyaan tertutup hanya untuk mengecek fakta-fakta yang telah dibicarakan sebelumnya
  7. Pertanyaan dapat ditanyakan dalam berbagai bentuk/format termasuk untuk verifikasi jawaban/fakta dan memastikan anak memahami apa yang ditanyakan dan sudah menjawab sesuai dengan apa yang seharusnya mereka jawab
  8. Jangan bertanya “bagaimana perasaanmu?”, secara langsung.  Lebih baik bertanya mengenai apa yang dikatakan dan atau dirasakan orang lain mengenai sebuah peristiwa yang melibatkan anak yang menjadi narasumber.
  9. Upayakan semaksimal mungkin apa yang harus dilakukan dalam sebuah wawancara yang profesional
  10. Jika wawancara dilakukan menggunakan penerjemah, pastikan bahwa pertanyaan yang disampaikan sesuai dengan yang diharapkan, begitu pula jawaban anak, dan penerjemah tidak membuat konklusi atas pertanyaan dan jawaban.

 

Meliput anak menjadi bagian dari pekerjaan rutin wartawan di Indonesia.  Isu privasi dan kekerasan menonjol, apalagi dengan berkembangnya teknologi.  Video seks yang dibuat oleh dan atau melibatkan anak misalnya hampir setiap pekan menjadi obyek berita.  Pemahaman akan etika dan standar jurnalistik yang tinggi dalam peliputan anak  menjadi syarat penting dalam Standar Kompetensi Wartawan, sebagaimana yang saat ini sedang diujikan di berbagai organisasi dan perusahaan media.

Meliput anak, bagaikan meliput masa depan.

The right to freedom of expression is always important to media professionals, but has to be balanced againts other important rights – most notably the rights to child to freedom from fear and exploitation

 

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
My Eisenhower Fellowships Journey
Next post
Twitter: Antara Jurnalisme, Saluran Berita dan Ekspresi Personal

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *