HomeMediaTwitter: Antara Jurnalisme, Saluran Berita dan Ekspresi Personal

Twitter: Antara Jurnalisme, Saluran Berita dan Ekspresi Personal

Kian banyak yang menjadikan Twitter sebagai sumber informasi, baik itu dari akun media maupun kontribusi akun personal.  Apakah pesan Twitter bisa dikategorikan Jurnalisme?  Ataukah Twitter semata-mata saluran distribusi berita?

Jika definisi jurnalisme adalah mencari, menyimpan, mengolah, memproduksi dan melaporkan berita, maka Twitter bisa dikategorikan sebagai jurnalisme.  Apalagi Twitter menyediakan kemampuan berbagi gambar. Twitter juga memiliki kelebihan dalam hal kecepatan distribusi berita/informasi yang menjadikannya kian menarik sebagai tujuan mencari perkembangan berita. Masalahnya, apakah pesan (berita) yang disalurkan pengguna Twitter memiliki aspek pertanggungjawaban publik dan unsur esensial yang harus dipenuhi sebagaimana dalam jurnalisme? When is Twitter Journalism?

 

Setiap kali ada peristiwa besar yang memiliki nilai berita besar pula, di ranah kicauan microblogging Twitter terjadi debat: mana lebih dapat diandalkan sebagai panduan informasi warga: Pesan Twitter vs Konten Media Pro (TV, Radio, Koran, Media Online)? Saya memasukkan media online atau bisa disebut juga media siber dalam kategori Media Pro, karena mereka dikelola secara korporasi sebagai sebuah perusahaan media, untuk membedakannya dengan individual yang menyampaikan beragam bentuk informasi melalui akun Twitternya.

Pada peristiwa 11 September  2011 saat terjadi bentrok yang dipicu oleh tewasnya seorang tukang ojek di Ambon, di ranah Twitter terjadi saling klaim antara pihak yang mendukung para pewarta warga (citizen journalist), yang dianggap paling layak dipercaya dihadapkan dengan hasil liputan media yang notabene sumbernya dari wartawan di lapangan juga.  Insany Syabarwati, seorang wartawan lapangan di Ambon yang berpengalaman meliput Rusuh Ambon 1999 dan sejumlah peristiwa ikutannya, merasa risau akan derasnya kecaman akan kualitas liputan media yang datang dari kicauan di Twitter.

“Jika persepsi bahwa kami di lapangan dianggap justru memprovokasi terjadinya kerusuhan itu ditelan oleh warga, bukankah justru kami yang terancam jiwanya? Karena kami tinggal di Ambon juga,” kata dia lewat pembicaraan telpon dalam program bincang-bincang “Dewan Pers Kita” yang disiarkan secara langsung oleh TVRI, dua hari setelah peristiwa 11 September 2011.

Bagi saya, karya jurnalistik wartawan pro dan pewarta warga seyogyanya saling melengkapi, sebagaimana dikatakan oleh Steve Outing dalam 11 layers of citizen journalist: Pro Journalist + Citizen Journalist = Better Journalism. Manakala kombinasi ini terjadi, baik dalam satu payung organisasi perusahaan atau outlet media, maupun dari sudut pandang pola konsumsi warga atas sebuah peristiwa tertentu, maka warga mendapatkan informasi lebih lengkap dari berbagai sudut, berbagai versi.

Meski ada kekurangan di sana-sini, peliputan media atas Peristiwa 11 September 2011 jauh lebih baik dibandingkan dengan saat 1999.  Rentang waktu yang cukup panjang, trauma yang mendalam atas peristiwa itu yang sampai kini masih kuat di benak warga Ambon (dan wartawannya) membuat mereka berupaya sedapat mungkin meredam berita yang bisa memanaskan suasana.  Dalam pelatihan Jurnalisme Damai yang diadakan Dewan Pers di Ambon, 1 Oktober 2011, yang dihadiri tak kurang dari 70 peserta termasuk para pemimpin redaksi media lokal di sana, saya menangkap kuat semangat itu.

Aparat keamanan berjaga setelah kerusuhan di Ambon 11 September 2011. Gambar diambil dari internet.

Kontrol dari ranah Twitter atas peliputan media ikut mempengaruhi membaiknya kualitas pemberitaan Ambon.  Tetapi Twitter baru marak sejak 2009.  Sebelum itupun media di Ambon sudah mengemas berita yang berpotensi memicu konflik dengan hati-hati. “Padahal kami di sini hidup dalam ancaman kekerasan dari waktu ke waktu,” kata Pemimpin Redaksi Harian Pagi Siwalima,  Fredom Toumahuw saat saya berkunjung ke kantornya untuk pendataan perusahaan pers, awal Oktober ini.

Harian Siwalima berdiri tahun 1999, sesaat setelah terjadi konflik Ambon yang pertama.  Siwalima artinya ‘milik bersama’. “Koran ini didirikan oleh sejumlah pihak yang peduli akan kemajemukan dan damai di Ambon,” kata Toumahuw.

Ada yang menyebut Twitter tak ubahnya “media” bagi pemilik akun.  Pendapat yang mengatakan hal seperti ini tidak sedikit.  Twitter sebagai salah satu bentuk jejaring sosial menjadi ajang implementasi kemerdekaan berekspresi. Enda Nasution dalam presentasinya di workshop yang diadakan InMark Digital, di ajang SocialMediaFestival 2011,  belum lama ini menyebutkan bahwa adanya Freedom of Expression dan Freedom of The Press menjadi salah satu alasan mengapa Twitter (dan Facebook, Blog) begitu marak di Indonesia.

Data ComScore, Februari 2011, pengguna Twitter melalui Twitter.Com di Indonesia mencapai 7,6 juta akun.  Jika Twitter bisa dikatakan sebagai “media” bagi penggunanya, baik dari sudut pemilik akun maupun yang memanfaatkannya, tambahan lagi  tren bahwa Twitter kian diminati sebagai sumber informasi, apakah Twitter bisa dikatakan sebagai format Jurnalisme yang baru?

Majalah Rolling Stones edisi November 2011, yang memuat naskah ini.

Sebuah buku berjudul News Online, Transformations & Continuities, terbitan Palgrave McMillan 2011, menarik perhatian saya.  Dalam buku yang diedit oleh Graham Meikle dan Guy Redden ini, ada bagian yang membahas: When is Twitter Journalism? Bagian ini ditulis oleh Kate Crawford (@Kate Crawford) associate professor Journalism and Media Research di Universitas New South Wales, Sydney, Australia.

Ledakan bom Marriott 2 di Mega Kuningan, Jakarta, Juli 2009,  Pesawat US Airways ‘nyungsep” di Sungai Hudson, Mumbai Terrorist Attack,  demo protes hasil pemilihan presiden di Iran sampai kebakaran hebat yang menghanguskan hutan di bagian selatan Australia adalah contoh peristiwa yang pertama kali disampaikan ke publik luas via Twitter.  “There’s a plane in the Hudson. I’m on the ferry going to pick up the people. Crazy.”

Dalam hitungan detik 57 karakter kicauan Janis Krums itu menyebar melalui sistem Twitter. Krums melengkapinya dengan foto yang diambil dengan kamera telpon selulernya.  Gambar US Airways yang mengambang di Sungai Hudson menyentak pengikut (follower) akun Twitter-nya, dan kian menyebar melalui proses Re-Tweet. Sekelompok penumpang nampak memenuhi sayap pesawat, menunggu dievakuasi.  Ada drama dalam pesan dan foto yang disampaikan Krums. Peristiwa itu membuat Krums dinobatkan sebagai “Citizen Jounalist Star” (Mackey, 2009).

Di Indonesia, sebagaimana disinggung diatas, kian pentingnya Twitter sebagai sumber berita bagi warga, misalnya, terjadi dalam peristiwa Bom Marriot 2, 17 Juli 2009. @DanielTumiwa tercatat sebagai orang yang pertama kali mengabarkan itu pada dunia. Tengoklah catatan yang dibuat oleh ABCNews berikut ini. Menurut Crawford, di Twitter, informasi ‘breaking-news’ disampaikan dalam narasi yang dramatik dan seringkali menjadi cerita  dari sudut pandang mereka.

Apakah Krums  merasa ia menjalankan tugas jurnalistik?

Dalam ‘News Online’, Crawford menganalisa, tidak mudah menerapkan apa yang sering disebut “citizen journalist” atau “participatory journalist” terhadap berbagai aktivitas yang muncul di Twitter.  Bahkan dalam kasus Janis Krums, dia sebenarnya tak punya intensi untuk mengadopsi perilaku atau proses yang terkait dengan jurnalisme.  Pesan Twitternya tidak dimaksudkan menyampaikan cerita obyektif, juga tidak mengandung upaya investigasi, mencari tahu lebih jauh tentang peristiwa itu.

Pesawat mendarat darurat di Sungai Hudson. Beritanya dengan cepat menyebar. Gambar diambil dari internet.

Pesan Twitter dari Krums dikirim segera, sesaat setelah peristiwa terjungkalnya pesawat US Airways ke Sungai Hudson. Pesan itu bersifat subyektif. Ada kandungan emosi.  Krums saat itu berada di sebuah ferry, yang kemudian membantu mengevakuasi penumpang pesawat. Dia tiba-tiba berada di tengah misi penyelamatan penumpang dan berbagi pengalaman dramatis dengan followers-nya.

Begitupun, pesan Krums dalam hitungan detik segera di Re-Tweet oleh audiensnya, disebarluaskan lewat sistem Twitter. Jika sebuah informasi disebarluaskan oleh jaringan internasional yang besar, bisa jadi dia mencapai status “major news”.  Berita besar. Tapi, apakah hal itu membuatnya menjadi produk jurnalisme?

Tengoklah esensi “Journalisme”: “Menyampaikan informasi kepada publik sedemikian sehingga publik dapat mengambil keputusan yang berakibat baik bagi hidupnya. “ Dari sekian banyak definisi esensi jurnalisme, inilah definisi favorit saya.  Definisi yang saya kutip dari buku 9 Elemen Jurnalisme tulisan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel itu tergolong sederhana rangkaian kalimatnya, dengan tanggung jawab yang luar biasa besar.

Membaik atau memburuk hidup seorang warga bisa ditentukan oleh kualitas informasi yang disampaikan oleh sebuah produk jurnalistik yang dipublikasikan secara luas.  Produk jurnalistik harus menampilkan ‘truth’, yakni kebenaran.  Jalan menuju kebenaran ditempuh melalui prosedur jurnalistik.  Sesuatu yang tidak dilakukan oleh Krums, karena ia menjadi saksi mata.  Ia melaporkan peristiwa.   Sesudah membantu evakuasi penumpang, Krums pulang ke rumah dengan perasaan luar biasa.  Ia baru saja lakukan tugas kemanusiaan.

Tetapi jurnalisme memerlukan lebih dari sekedar melaporkan, melainkan menggali, mencari jawaban.  Prinsip elementer sebuah naskah jurnalistik adalah 5W+1H (What, Who, Where, When, How, Why).  Jurnalisme mencari jawaban atas “Why dan How”. Mengapa pesawat itu harus mendarat darurat di Sungai Hudson? Mengapa pelaku meledakkan dirinya di Hotel Marriott dan bagaimana proses dia melakukan aksi itu?  Belasan, puluhan pertanyaan warga yang harus dijawab oleh kerja jurnalistik.

Apa yang dilakukan Krums boleh jadi masuk kategori “participatory journalism”. Secara umum kita mengenal definisi, konsep participatory journalism adalah ketika peran melaporkan informasi dilakukan oleh mereka yang bukan bekerja sebagai jurnalis.  Bowman dan Willis mendefinisikannya sebagai:

“The act of a citizen, or group of citizens, playing an active role in the process of collecting, reporting, analysing and disseminating news and information. The intent of this participation is to provide independent, reliable, accurate, wide-ranging and relevant information that a democracy requires” (WeMedia, How Audiences are Shaping the Future of News and Information, Bowman and Willis, 2003, p.9)

Bagi non-jurnalis yang menggunakan Twitter, tujuannya bisa saja berbeda. Baik kepada belasan atau puluhan, bahkan ribuan followers, seorang pengguna Twitter bisa saja sewaktu-waktu ingin membagi informasi yang relevan, tapi mereka juga ingin  menghibur, melampiaskan emosi dan perasaan, membagi momen pribadi atau sekedar membangun percakapan.

Konsep keandalan dan akurasi, serta memberikan komentar yang obyektif tidak menjadi motivasi dari sebagian besar pesan Twitter.  Masih ingat dengan tagline pertama dari Twitter saat diluncurkan? “What are you doing now?” Tagline ini mengarahkan agar pengguna berkontribusi dengan cara yang gaya subyektif. Ada keintiman di situ.

Pada bulan November 2009, tiga tahun lebih setelah peluncurannya, pendiri Twitter mengubah pertanyaan pembuka di atas menjadi “What”s happening?”.  Sebuah perubahan yang signifikan dan mengarahkan Twitter ke peran baru.  Sebagaimana disampaikan oleh Biz Stone, co-founder Twitter, layanan perusahaannya telah berkembang melampaui fungsi sebagai wadah ”personal status updates”.

Publik juga menjadikan Twitter sebagai sumber informasi dari mereka yang ”menjadi saksi mata sebuah peristiwa, mengorganisir kegiatan, membagi info atas sebuah berita, breaking news, melaporkan apa yang tengah terjadi dengan ayah mereka, dan banyak lagi (Stone, 2009). News, links, dan menjadi saksi mata sebuah peristiwa sekarang menjadi karakteristik penting dari apa yang dilakukan orang di Twitter.

Tak mengherankan jika Twitter berkembang menjadi jejaring sosial yang dianggap paling cepat dan ideal untuk breaking news dan headlines, sebuah kapasitas yang dimanfaatkan oleh BNO News, BBC, ABC dan CNN. Sebagaimana diakui oleh managing director ABC, Mark Scott:

“I think Twitter may emerge as the outstanding way of disseminating suprising breaking news.  In my experience in newsroom, the biggest stories always arrived in 140 characters or less: “Princess of Wales dead”. “Plane hits World Trade Center.” (Scott, 2009)

Tapi, apakah menuliskan status seperti gaya berita, yang bersumber dari pengalaman menjadi saksi mata peristiwa, merupakan proses jurnalisme?  Sebelum peristiwa “Sungai Hudson”,  Janis Krums menggunakan Twitter untuk alasan bisnis, memuat informasi terkait perusahaanya, bergerak di bisnis nutrisi “Yang saya sampaikan di Twitter sebelum dan sesudah foto US Airways  kebanyakan acak (random), sesuatu yang saya pikir menarik,” kata Krums.

Sebuah sebuah pesawat di Sungai Hudson, adalah sesuatu yang berbeda; menarik bagi Krums, dan jelas bagi banyak orang.  Tapi dia gunakan Twitter saat itu sama seperti  bagaimana dia memanfaatkannya sebelum peristiwa naas itu  terjadi. Krums membagi pengalaman personal sebagai saksi mata, ekspresikan perasaannya atas apa yang dia lihat, sama sekali tidak ingin bertindak sebagai jurnalis atau menyajikan informasi yang ‘accurate, wide-ranging, and relevant information’.  Informasi yang akurat, lengkap dan relevan.

Lantas, bagaimana kita menjelaskan, mengkategorikan kontribusi semacam itu, jika tidak bisa disebut jurnalisme, apa kita sebut sebagai pewarta warga atau apa? Dalam jejaring sosial semacam Facebook dan Twitter, jutaan pesan disebarluaskan setiap hari, pesan-pesan berdasarkan pengalaman dan observasi. Kadang, sebuah pesan bisa dikategorikan sebagai pesan penting, signifikan dan disebarluaskan secara luas melalui sistem jejaring sosial, dari satu kelompok ke kelompok lain, ke jejaring lain.

Pesan itu bergeser dari hanya sekedar pesan personal menjadi sesuatu yang lebih besar. Pesan mendapat pengakuan, perhatian dan dianggap relevan. Kendati ada  momen di mana laporan pandangan mata mendapatkan perhatian banyak pengguna Twitter, mereka juga bisa masuk kategori di luar spektrum yang biasa dari jurnalis warga atau definisi dari berita.

Tulisan Crawford juga memaparkan sebuah data riset yang menunjukkan bahwaTwitter mungkin lebih tepat dikategorikan sebagai “personal news network” ketimbang “news” itu sendiri. Pear Analytics melaporkan pada 2009 bahwa 40% dari pesan yang disebarkan oleh Twitter adalah celotehan semata.  Hanya 3,6% yang bisa dikategorikan terkait dengan news. Berita. Studi ini mengambil sampel 2000 pesan Twitter dalam  waktu 2 pekan.

Temuan yang paling signifikan adalah definisi.  News didefinisikan sebagai “segala bentuk berita yang bisa anda temukan di media arus utama seperti CNN, FOX, atau lainnya. Ini tidak termasuk tech news atau social media news yang bisa ditemukan di TechCrunch atau Mashable. “Babble” alias celotehan tidak ditemukan di ragam media serius di atas. “I just saw raccoon,” atau “Ingin beli sepatu hari ini,” adalah contoh pesan celotehan itu

Memakai twitter.

Jelas, bahwa Twitter kian diterima menjadi plaform berita singkat (short news). Dalam hal distribusi berita, semakin banyak media yang memiliki akun Twitter, termasuk BBC, CNN, ABC, The New York Times dan Wall Street Journal. Network televisi terkemuka menarik bagi audiens, ditunjukkan dengan jumlah pengikut (followers) yang besar. Mereka datang dari berbagai belahan dunia.  CNN Breaking News Service (twitter.com/cnnbrk) kini  memiliki lebih dari 5  jutaan pengikut.
Sayangnya, menurut Crawford,  media dan network TV kebanyakan menggunakan akun resmi Twitter-nya sebagai saluran distribusi berita, satu arah, persis seperti cara  kerja media tradisional. Mereka melakukannya dengan mendistribusikan sejumlah berita terbaru tiap hari, tapi tidak melayani masukan berita dari audiens, atau mencoba menggali bagaimana respon atas berita yang disampaikan.  Kendati CNN memiliki lebih dari lima juta followers mereka hanya follow-back sangat sedikit, 60 akun saja.

Medium baru, pola membangun  hubungan dengan audiens yang kerap disebut dengan engagement masih gunakan cara lama. Pendek kata, CNN semata-mata menggunakan Twitter sebagai alternatif saluran mendistribusikan berita terbaru mereka. Searah. Menurut observasi Mark Deuze (2008), industri media hanya gunakan wadah siber (online) mereka sebagai tempat mengiklankan produk ”offline” mereka.

Ketika bertemu dengan Tom Rosenstiel di kantornya yang nyaman di PEW Research, Washington DC, awal Mei lalu, saya menanyakan soal apakah jejaring sosial seperti Twitter (dalam kasus Arab Spring – revolusi di Tunisia, Mesir yang merembet ke negara Arab lainnya) sudah bisa dikategorikan sebagai sebuah produk jurnalistik karena melakukan kerja teknis yang sama?  Rosenstiel, yang bersama Bill Kovach belum lama ini menulis buku berjudul BLUR;  How To Know What’s True in The Era on Information Overload, tersenyum.

Sampul ”Blur”.

“Prinsip universal jurnalistik itu tak pernah berubah, kendati medium dan teknologi berubah. Disiplin V – verifikasi- misalnya, menjadi kunci produk jurnalistik dan harus dilakukan sendiri oleh wartawan atau media yang menerbitkan sebuah berita,” kata Rosenstiel. Tugas yang tidak bisa dibebankan pada warga lain.

Tugas yang antara lain menjadikan pesan jejaring sosial, Twitter terutama, bukanlah Jurnalisme sampai ia melewati proses jurnalistik dan memenuhi esensi jurnalisme itu sendiri.  “”Yang berubah di era digital adalah pola konsumsi media dan bagaimana media harus meresponnya.  Ini yang saya katakan sebagai Jurnalisme Baru atau “next journalism’,: kata Rosenstiel.

Soal ini baiknya saya bahas kali berikutnya. ##

Uni Z. Lubis, Jurnalis ANTV, Anggota Dewan Pers 2010-2013

 

 

 

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Meliput Anak, Menjamin Hak-Haknya
Next post
Menjadi delegasi RI ke ASEM-Interfaith Dialogue ke-7 di Manila

8 Comments

  1. Niken Widowaty
    November 4, 2011 at 10:09 pm — Reply

    Pembahasan menarik seperti yang ada di jurnal “Twitter: Microphone for the masses?” by Dhiraj Murthy ..
    Salam kenal Mbak.. 🙂

  2. Niken Widowaty
    November 4, 2011 at 10:09 pm — Reply

    Pembahasan menarik seperti yang ada di jurnal “Twitter: Microphone for the masses?” by Dhiraj Murthy ..
    Salam kenal Mbak.. 🙂

  3. November 7, 2011 at 8:26 am — Reply

    Thanks for visiting and leave comment Niken..salam kenal. Wah, jadi ingin baca tulisan Dhiraj Murthy. Baru baca excerptnya pagi ini karena kudu log-in yaa…soal Mumbai dan Hudson River juga contohnya.

  4. November 7, 2011 at 8:26 am — Reply

    Thanks for visiting and leave comment Niken..salam kenal. Wah, jadi ingin baca tulisan Dhiraj Murthy. Baru baca excerptnya pagi ini karena kudu log-in yaa…soal Mumbai dan Hudson River juga contohnya.

  5. windry
    November 7, 2011 at 1:17 pm — Reply

    cool… pembahasannya menarik nih, izin buat jadi rfrensi paper saya yaa mbaaa.

  6. windry
    November 7, 2011 at 1:17 pm — Reply

    cool… pembahasannya menarik nih, izin buat jadi rfrensi paper saya yaa mbaaa.

  7. November 8, 2011 at 8:52 am — Reply

    Thanks, silahkan Windry

  8. November 8, 2011 at 8:52 am — Reply

    Thanks, silahkan Windry

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *