HomeUncategorizedTujuh Mantra Sukses Media

Tujuh Mantra Sukses Media

 

Sejarah media modern menunjukkan, prinsip dasar tetap relevan untuk memastikan media bisa bertahan sepanjang jaman

 

The Medium Is No Longer The Messages. Kalimat ini milik Mark Tungate, seorang jurnalis yang menulis buku berjudul “Media Monoliths”, How Great Media Brands Thrive and Survive, diterbitkan tahun 2005. Tungate menulis mengenai jurnalisme, komunikasi dan marketing di kolom tetapnya di mingguan Strategies yang terbit di Perancis.

Erwin Arnada, mantan pemimpin redaksi Majalah Playboy Indonesia, memberi buku ini kepada saya, suatu siang saat saya menjenguknya di Lapas Cipinang, Jakarta, tahun lalu. “The medium is no longer the message” adalah judul bab terakhir buku itu.  Sebuah konklusi. Menariknya, kesimpulan yang dibagi Tungate itu didapat setelah mewawancarai puluhan pengelola merek besar media di sejumlah kota besar dunia.

Terdapat sejumlah elemen yang menurut saya beririsan atau sama dengan elemen kunci media sosial.  Padahal Tungate membahas media lama (old), sebagian berusia lebih dari seratus tahun. Dari The Economist, majalah mingguan berbasis di Inggris  yang terbit pada 1843, Vogue, majalah gaya hidup wanita yang berdiri sejak  1892, koran The Wall Street Journal yang masuk ke pasar sejak 1889, New York Times, MTV, CNN, Paris Match,  International Herald Tribune, Washington Post, Reuters hingga Playboy. Ada 20 media yang dibahas Tungate dalam Media Monoliths.

Media Monoliths itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah organisasi media yang memiliki jaringan.  Semacam konglomerasi yang dibentuk karena kekuatan media yang bersangkutan.  Bagaimana menciptakan media monoliths? Itulah fokus riset dan wawancara yang dilakukan Mark Tungate.  Hasilnya?

Pertama, semua merek besar dunia, semacam media power house, didirikan dan dikembangkan dengan visi yang jelas.  Have a vision, itu konklusi Tungate. Mempelajari sejarah media besar,  banyak di antaranya bersandar pada visi seseorang, bukan hasil kerja tim.  Sebut saja Conde Nast pendiri grup yang menerbitkan Vogue dan Vanity Fair, Ted Turner yang menjadikan CNN sebuah televisi berita global, atau Mike Bloomberg pendiri Bloomberg dan Paul Julius Reuter pendiri Reuters.

Mereka (dan sejumlah nama lain) adalah sosok yang memiliki visi saat membangun medianya. Mereka tak pernah menyerah meski musim dan tahun berganti membuat bisnis medianya dipengaruhi dinamika industri dan ekonomi.  Mereka tetap bertahan, termasuk “play dirty if you have to”.

Kalimat ini mengingatkan saya pada persaingan antara dua grup penerbit koran di daerah, di Indonesia.  Ada yang sempat memborong koran pesaingnya tiap terbit untuk dibenamkan di laut, supaya pelanggan sulit menemukan koran tersebut dan pindah menjadi pelanggannya;-)

Kedua, Pick A Target.  Saya mengartikannya dengan tentukan siapa target pasar.  Dan memang itulah yang dimaksudkan dalam Media Monoliths.  Vogue dari Conde Nast dan International Herald Tribune yang dibangun James Gordon Bennett misalnya menargetkan “new elite” – “the jet set” of their day.  Paul Julius Reuter dan Mike Bloomberg menargetkan mereka yang bekerja di pasar uang.  Sebuah koran di Perancis, Liberation, mengarahkan produknya menjaring genersi muda post-1968, dengan sifat “membangkang pada kemapanan”.  MTV ditujukan kepada penggemar musik yang tidak mengenal batas negara dan bahasa.

Menentukan target konsumen menurut saya kian penting di era media digital.  Semua individu bisa menjadi produsen informasi. Beban biaya mengoperasikan perusahaan media kian berat.  Jelang akhir tahun lalu pusat kajian media digital di Universitas Southern  California AS, Annenberg School,  menerbitkan kajian yang diberi judul “Newspaper That Will Survive: The Largest And The Smallest.”

Dalam poin ke-5 kajian itu, Jefrey I. Cole, direktur sekolah ini mengatakan, dalam lima tahun ke depan surat kabar harian di Amerika akan mati, kecuali empat yang terbesar yakni New York Times, USA Today, The Washington Post dan Wall Street Journal.  Meski matinya koran sudah sering dibahas, tapi prediksi  Annenberg masih dianggap mengejutkan.  Mau dikemanakan 1.400 an surat kabar harian lainnya di AS?

Prediksi seperti ini sudah lama disampaikan oleh berbagai pihak dalam berbagai pertemuan media.  Meski tak secepat yang dibayangkan, satu demi satu koran di AS gulung tikar.  Kian banyak yang hanya terbit 3-4 hari dalam sepekan, sisanya diterbitkan dalam format digital.  Tahun 2009 di AS diperkirakan terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap 15.000 karyawan surat kabar, dan sekitar 6.700 tahun lalu.

Seattle Post-Intelligencer dan Rocky Mountain News yang lebih dari  100 tahun terbit, menutup usahanya.  NewsPaperDeathWatch mencatat, San Francisco Chronicle  dan Boston Globe hampir mengalami nasib serupa, untungnya diselamatkan dengan perjanjian kerja yang baru dengan serikat pekerja. Perjanjian kerja ini dianggap sangat menekan karyawan di kedua koran itu, terutama ratusan wartawan yang dianggap bergaji tinggi.

The Smallest will survive, bisa berarti juga yang paling fokus, misalnya majalah yang khusus membahas soal teknologi informasi terbaru dan beragam alat komunikasi bergerak (gadget).  Jika Anda pergi ke toko yang menjual beragam penerbitan, mudah menemukan kian banyaknya media yang fokus seperti ini. 

Menentukan konsumen  bisa berarti menemukan niche market.  Koran lokal misalnya, memiliki peluang besar untuk bertahan.  Hyperlocal journalism menjadi jawaban bagi media agar bisa bersaing dengan menjamurnya komunitas blogs. Masih ingat salah satu elemen dalam “Next Journalism” yang disampaikan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam BLUR: How To Know What’s True In The Age  of Information Overload?  Baiklah saya kutipkan di sini bagian yang relevan:

Next Journalism mengharapkan jurnalis berfungsi sebagai Witness Bearer.

Jurnalis menjalankan fungsi pengamat (observer), monitoring, menelisik.  Jurnalis/media bisa melakukannya dg membangun komunitas lokal, atau kluster-kluster, via internet (komunitas blogger). Kini sedang marak “Hyperlocal Journalists”. 

Berangkat dari jurnalis dan/atau non jurnalis yang mengamati segala sesuatu di sekitarnya, di komunitasnya, melihat apakah ada yang perlu diingatkan: pemerintah?  aparat? NGO? masyarakat itu sendiri?  Mengamati kebutuhan dasar dari warga  sekitarnya.  Komunitas blogger di berbagai kota di Indonesia menurut saya mencoba melakukan fungsi ini. Lantas bagaimana dengan pers? 

Kehadiran pers penting mengisi “kekosongan” informasi di level masyarakat.   Kalau jurnalis tidak hadir dan memberitakannya, pihak lain yang punya kepentingan tertentu akan mengisi kekosongan itu. Jurnalis perlu memperhatikan hal-hal yang “being ignored”,  dilupakan/diremehkan. 

Jangan hanya memberitakan yang sudah dibicarakan orang, tetapi pers harus jeli mengangkat yang tidak diperhatikan, voicelessPers harus punya kepekaan tinggi dan lebih punya “emosi”. Differentiated. Tidak hanya sekedar nambah satu komentar dari narasumber.  Tapi menggali kemungkinan kisah yang lebih menarik.  Orisinil. (Selengkapnya di tulisan berjudul “Next Journalism”, Beratnya Tugas

Jurnalis Masa Depan, di Blog ini).

 

Mark Tungate

Hal ketiga, untuk menciptakan Media Monoliths adalah Create A Club.  Tungate menyebutkan: “Once you’ve identified your audience, it’s essential to make them feel part of your project”   Pemirsa MTV loyal karena mereka merasa menjadi bagian dari organisasi media ini.  Kita pernah dengar “MTV Generations”, dan remaja serta orang muda bangga mengidentifikasi dirinya dengan kelompok ini.

I want my MTV”, adalah slogan pada  iklan pertama MTV, dianggap sebagai contoh iklan inklusif yang sukses.  Menjadi pembaca The Economist membuat orang merasa masuk dalam kelompok elit “cerdik-pandai”.  Pembacanya adalah kelompok yang loyal.  Ini mengingatkan saya akan kekuatan atau elemen penting dari media sosial: Community.

Membangun komunitas menjadi tantangan media dan pengelolanya di era digital. Setiap pemimpin redaksi di era digital pada dasarnya adalah chief community officer, bukan lagi chief editor.  Mengapa?  Karena media sosial menumbuhkan “participatory journalism”, dimana publik kian penting peranannya menentukan agenda setting pemberitaan.

Publik ikut menjadi “news editor”.  Setiap pagi, para pengelola media kini mengamati apa yang menjadi “percakapan” di dunia maya, dan menjadikannya sebagai bahan berita.  Chief community officer berarti pengelola media bersama para jurnalisnya harus membangun “engagement” atau hubungan yang erat dan bersifat timbal-balik dengan konsumen medianya.  Pendek kata, sebagaimana disampaikan oleh Kovach dan Rosenstiel dalam BLUR, media dan jurnalis kini tak bisa berfungsi sebagai “lecture” atau mengajari konsumennya, melainkan melayani konsumen, berdialog dengan publik.

Hal Keempat, Go Wide – Yet Narrow. As well as going wide, you have to go narrow.  Semua merek media yang dipandang berhasil dan layak disebut Media Monoliths adalah yang berhasil menjadi “merek global”.  Artinya, tidak hanya dikenal dan dipasarkan di negara asal, melainkan menjangkau konsumen di negara lain secara luas.

International Herald Tribune adalah merek global.  Awalnya diterbitkan di Paris, kendati pemiliknya orang Amerika, dan memiliki “rasa” Eropa dalam jurnalismenya.  IHT menggunakan strategi “innovative partnership with domestic newspaper brands, print advertising, direct marketing.”

Mulai dari beriklan di berbagai media lokal di sejumlah negara dengan potensial pembaca besar seperti di Brasil, Jepang,  hingga Indonesia, sampai menyisipkan korannya di koran-koran mitra.  Di Indonesia IHT bermitra dengan koran berbahasa Inggris The Jakarta Post sejak tahun 2008.  Awalnya, IHT yang kini dikelola grup New York Times, membayar fee atas sisipan di The Jakarta Post.

Setelah berjalan beberapa waktu, ada pembagian fee atas perolehan iklan yang didapatkan atas pemuatan sisipan itu. Bagi IHT, penting memastikan korannya ada di toko media di berbagai kota besar dunia.  “Dari sisi The Jakarta Post, kami bisa menghemat biaya karena tak perlu menambah isi dari wires (kantor berita) ataupun menambah awak di desk bisnis, desk yang paling banyak dibaca selain deks opini-editorial,” kata Daniel Rembeth, mantan CEO The Jakarta Post yang terlibat dalam negosiasi dengan pengelola IHT, kepada saya, Selasa malam (10/1/2012).

Strategi mengadopsi selera dan budaya lokal juga digunakan MTV.  Di berbagai negara, MTV menyajikan program dengan nuansa lokal dan pembaca acara lokal pula, dan mengenalkan lagu dan klip lokal. “ Ampuh”, “Alay”, “Indonesia SuperBands” adalah beberapa judul program MTV yang sempat populer dan hanya ditayangkan di Indonesia melalui stasiun televisi mitranya, yakni ANTV, dan kini Global TV.

Baik IHT maupun MTV awalnya membangun merek yang kuat secara global, memastikan ada di mana saja: di hotel, maskapai penerbangan, toko media di airport, sampai memasang iklan di bus, taksi dan sebagainya.  Tapi mereka menjaga popularitas merek dengan masuk ke pasar lokal yang kuat.  Era digital memungkinkan MTV menyediakan saluran yang spesifik untuk mereka yang suka aliran musik Rock, Rap, Techno dan sebagainya.

Menurut saya, strategi ini yang juga dilakukan koran lokal kita.  Di saat sirkulasi koran secara nasional menurun, pengalaman Grup Fajar, kelompok media bermarkas di Makassar, misalnya menunjukkan bahwa potensi lokal masih kuat di sejumlah daerah.

Tahun 2012 Fajar berencana mendirikan 20-an koran daerah lagi, dari 10 yang mereka miliki saat ini.  “Permintaan koran daerah masih tinggi,”  kata Alwi Hamu, pemilik dan juga komisaris utama Grup Fajar kepada saya, akhir tahun lalu.  Berita yang diproduksi jurnalis Fajar bisa dibaca di Jawa Pos News Network (JPNN), termasuk koran mereka yang terbit di Jakarta, Indo Pos. Tetapi “rasa” kedaerahan itu tetap mereka pertahankan sebagai ciri khas.  Itu resep sukses, menurut mereka.

“Koran itu identik dengan komunitas, yang terbagi berdasar wilayah atau minat. Kalau bisa memenuhi komunitasnya itulah, koran akan terus berkembang,” kata Christoph Riess, CEO WAN-IFRA di hari pembuka World Newspaper Congress dan World Editors Forum, di Messe Wien, Wina, Oktober tahun lalu. Baca: http://www.batampos.co.id/index.php/2011/10/15/oplah-koran-bak-matahari-terbit/

Televisi lokal kebanyakan ingin meniru program TV yang berpusat di Jakarta, dan karena itu bisa dikatakan yang bisa disebut sukses adalah Bali TV, yang melayani pemirsa lokalnya dengan baik, sekaligus menjawab keingintahuan pendatang (termasuk turis asing) akan keunikan budaya Bali.  Mark Tungate mengatakan, “meski konten dapat kita sesuaikan, penting menjaga nilai dari merek itu sendiri.”.

Mark Wright, direktur kreatif CNN Internasional mengatakan kepada Tungate, “the number one component for successful branding is consistency.”.  Bicara soal “the smallest will survive”, selain ke media lokal saya melihat potensi yang besar ada pada blogs dan bentuk-bentuk media komunitas lain.  Bagaimana dengan televisi?  Dari sudut pandang pemberitaan, selama ini sekitar 70% berita sumbernya dari daerah.

 Be Flexible – And Be Quick About It.  Ini hal Kelima, yang bisa membuat sebuah mereka menjadi media monoliths.  Kira-kira kalimat di atas mirip dengan slogan iklan sebuah produk makanan, “Siapa Cepat, Dia Dapat.”  Ketika orang belum memikirkan soal konvergensi media, yang secara gampang diartikan menyajikan konten melalui multi platform (utamanya tiga layar: TV, komputer, telpon seluler), Mike Bloomberg, pendiri jaringan media yang menyajikam pasar uang dan pasar saham, telah merealisasikannya.

Begitu konsumen percaya akan kredibilitas informasi dan analisis pasar uang dan pasar saham yang didistribusikan melalui “Bloomberg’s Terminal”, maka Mike merambah ke TV lalu Radio.  Dikenal dengan slogannya: I was Bloomberg, Bloomber was Money – and Money Talked!.

Ini digunakan saat akhirnya Mike Bloomberg yang mantan mitra di Salomon Brothers, salah satu perusahaan keuangan terkemuka di AS tahun 80-an, memutuskan menggunakan namanya sebagai merek dagang atas layanan jasa informasi keuangannya. Selain menjual informasi keuangan dan analisisnya langsung ke para pelaku di bursa saham dan keuangan, Mike mencium peluang memasok berita keuangan bagi media umum yang sulit mendapatkan jurnalis yang kredibel dalam menulis bidang yang butuh pengetahuan khusus ini.

Kantor Bloomberg didesain serba terbuka, setiap orang dapat melihat apa yang sedang terjadi di kantor itu dan yang dikerjakan orang lain.  Monitor TV terus menampilkan angka-angka keuangan, orang lalu-lalang sibuk di lobi dan lorong-lorong bekerja.  Kantornya mencerminkan situasi pasar uang dan pasar saham.  Serba cepat.

Kecepatan membaca tren juga dilakukan Wall Street Journal yang menjadi koran pertama yang mengenakan bayaran atas layanan via portal WSJ.com, segera setelah mereka mendirikan portalnya pada 1996, saat era internet belum marak, dan orang belum membayangkan media cetak akan berkurang sirkulasinya gara-gara beralih ke internet.

Keputusan cepat diambil, dan kini WSJ sudah menikmatinya, saat bahkan nama besar lain masih terus berjuang mendapatkan pemasukan memadai dari bisnis online-nya. Apa kuncinya? Percaya akan kredibilitas, fondasi konsumen yang kuat dan visi jauh ke depan.  Di dunia digital kita melihat  smart aggregator seperti HuffingtonPost.Com melakukannya , dan diawali oleh seorang Arianna Huffington.

Survei terakhir yang dilakukan lembaga seperti Pew Research Center di Washington DC menunjukkan popularitas dan pengaruh Huffington Post tak kalah dengan Yahoo News yang dikelola secara korporasi.  Kira-kira kalau di Indonesia apa yang bisa menjadi contohnya ya?

Saya sih berharap www.nulisbuku.com dapat berkembang besar sebagai online publishing company. Juga ide kreatif semacam Go-Jek Indonesia, An Ojek for Every Need, yang memanfaatkan keberadaan ojek untuk beragam keperluan termasuk distribusi barang dalam kota dan belanja.

But, Maintain Quality. Menurut buku Media Monoliths, itu syarat Keenam.  The medium is the message, itu kredo yang dikenalkan Marshall MacLuhan dan jadi pegangan semua praktisi media.  Menariknya, ratusan wawancara dan riset yang dilakukan Mark Tungate di buku ini menunjukkan bahwa “the message is the message”.

Kira-kira sama dengan istilah “Content is King” yang dipopulerkan oleh Bill Gates pendiri Microsoft dalam sebuah esai dengan judul yang sama tahun 1996. “Content is where I expect much of the real money will be made on the internet, just as it was in broadcasting,” demikian Gates memulai esainya.

Era digital, ketika konten media didistribusikan ke konsumen melalui beragam platform – saya kok belum menemukan terjemahan yang pas dalam bahasa Indonesia untuk platform dikaitkan dengan saluran distribusi media, mungkin paling pas adalah medium – , menjaga reputasi konten itu kian penting.

Konten di koran atau majalah yang sudah punya reputasi tinggi, harus tetap dijaga kualitasnya saat disajikan dalam versi digitalnya.  Begitu pula dengan reputasi konten cetak yang disalurkan lewat TV.  Tentu tidak mudah, karena setiap medium  punya keunikan dalam struktur dan sifat konsumennya. Media cetak dikonsumsi oleh kelompok yang lebih homogen, sementara media elektronik terutama TV konsumennya heterogen. Konsistensi dalam menghasilkan produk kualitas tinggi tercermin dalam 20 merek media yang dibahas dalam Media Monoliths.

Hampir semua wakil media yang diwawacarai mengatakan: Our product, is our best marketing tool.  Tak mengherankan jika perusahaan media sangat jarang beriklan.  Banyak yang melakukannya dengan cara barter iklan dengan media lain.  Di televisi kami mengenal rumus, promosi program paling efisien ya di stasiun itu sendiri, alias promo on air.

Promo acara TV lewat baliho, atau iklan di media cetak yang harganya super mahal itu sifatnya lebih kepada menjaga reputasi, atau bagian dari kerjasama dengan pemasok program atau pemasang iklan. Itupun kebanyakan dilakukan setahun sekali saat ulang tahun atau kesempatan khusus.

Finally….Stay Relevant. Itu kunci sukses ketujuh.  Ini bagaikan mantra kunci bagi media dan jurnalis. Nafasnya sama dengan  “It must strive to make the significant interesting and relevant,”  butir ketujuh dari Elements of Journalism, What News People Should Know and The Public Should Expect, yang ditulis oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

Tahun lalu saya sempat bertemu dengan belasan guru besar dan praktisi media di AS, dan “stay relevant” menjadi jawaban dari mereka atas bagaimana jurnalis seharusnya bekerja saat ini dan di masa datang.  Stay relevant termasuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan teknologi dan medium berita.  Prof Owen Youngman di Medill School of Journalism, NorthWestern University, Chicago, memberikan A 21s Century Journalist’s Toolkits yang isinya:  accuracy, self awareness, numeracy (!), appropriateness, business knowledge, audience awareness and adaptibility.

Menjadi jurnalis kini tidak hanya dituntut bisa meliput dan menulis berita.  Jurnalis harus paham sisi bisnis media.  Paham siapa konsumen yang harus dilayani medianya.  Paham berkembangan demografi konsumen.  Konsumen muda tentu beda selera dengan konsumen usia tua.  Menyajikan berita untuk konsumen digital tentu berbeda dengan menulis di koran atau majalah yang selama ini kita kenal.

Nama besar tak menjamin bakal tergusur di pasar.  Minimal diganggu pesaing.  Bahkan CNN pun sampai kini belum berhasil menembus kembali dominasi pasar domestik yang sejak Perang Teluk ke-2, diambil oleh Fox News.  Ada bukunya yang membahas soal ini: Crazy Like A Fox, The Inside Story How Fox News Beat CNN.

Membaca halaman demi halaman Media Monoliths bagaikan menelusuri sejarah media dunia. Saya belajar banyak.  Prinsip yang berusia ratusan tahun, ternyata masih relevan meski jaman berubah.  Saya  sepakat dengan penulis, the medium is no longer the message.  The message, is the message.

Dalam konteks jurnalistik misalnya, mediumnya berubah.  Kini medium internet, orang mengkonsumsi informasi via telpon seluler atau tablet, tetapi prinsip dasar jurnalistik itu sendiri tak pernah berubah.  Bahkan tuntutan untuk memenuhinya kian tinggi.

Tak heran jika kian banyak media yang masuk ke media sosial dan menjadikannya sebagai sarana menyalurkan berita, mempekerjakan jurnalis dengan pengalaman tinggi untuk mengelola akun media sosialnya.  Kantor Berita Associated Press, pekan lalu mengumumkan Eric Carvin sebagai editor media sosialnya.  Eric adalah wartawan berpengalaman.

AP yang kini harus bersaing dengan kecepatan breaking news via Twitter yang disajikan pewarta warga, memilih mendahulukan prinsip jurnalisme termasuk akurasi dan verifikasi untuk menjaga reputasinya di tengah serbuan jutaan informasi yang bisa diproduksi oleh siapa saja. Terlambat sedikit tak apa, yang penting akurat. ###

 

Uni Lubis

 

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Presiden Marah, LAPOR! Datang
Next post
Educating Indonesian Journalists on Issues of Privacy, Violence; a Focus for Press Council

6 Comments

  1. January 12, 2012 at 12:28 pm — Reply

    satu komentar: luar biasa..

    luar biasa panjang.. :p tapi isinya memang luar bisa..hihi
    Makasih Mbak, nambah ilmu banget nih.. penting ni tulisan di baca wartawan dan pemilik media..

    oh ya sy setuju kalimat akhir Mbak Uni “Terlambat sedikit tak apa, yang penting akurat” ..apalagi sekarang media2 online Indonesia (terutama yg itu tu hihi) masih pake prinsip.. yg penting cepat..salah bisa kita ralat *nepok jidat…

  2. January 12, 2012 at 12:28 pm — Reply

    satu komentar: luar biasa..

    luar biasa panjang.. :p tapi isinya memang luar bisa..hihi
    Makasih Mbak, nambah ilmu banget nih.. penting ni tulisan di baca wartawan dan pemilik media..

    oh ya sy setuju kalimat akhir Mbak Uni “Terlambat sedikit tak apa, yang penting akurat” ..apalagi sekarang media2 online Indonesia (terutama yg itu tu hihi) masih pake prinsip.. yg penting cepat..salah bisa kita ralat *nepok jidat…

  3. February 16, 2012 at 1:38 pm — Reply

    wah, walau panjang bikin penasaran tuk membaca nih mbak , dan tentunya membuka wawasan saya …
    >> ” the medium is no longer the message. The message, is the message ” bolehkah saya mengartikannya, sebagus apapun media kita, namun bila kehilangan esensi dasarnya bersiap siaplah ditelan bumi ?

  4. February 16, 2012 at 1:38 pm — Reply

    wah, walau panjang bikin penasaran tuk membaca nih mbak , dan tentunya membuka wawasan saya …
    >> ” the medium is no longer the message. The message, is the message ” bolehkah saya mengartikannya, sebagus apapun media kita, namun bila kehilangan esensi dasarnya bersiap siaplah ditelan bumi ?

  5. February 21, 2012 at 8:06 am — Reply

    diaaaan…kebiasaan nulis kudu banyak riset beginilah jadinya..panjang hahaha…gw penganut long form of journalism yg sudah banyak ditinggalkan…Kang Adhie thanks sdh baca…yap, esensi dasar jurnalisme tetap, teknologi dan perubahan gaya konsumsi harus direspon oleh porodusen konten media

  6. February 21, 2012 at 8:06 am — Reply

    diaaaan…kebiasaan nulis kudu banyak riset beginilah jadinya..panjang hahaha…gw penganut long form of journalism yg sudah banyak ditinggalkan…Kang Adhie thanks sdh baca…yap, esensi dasar jurnalisme tetap, teknologi dan perubahan gaya konsumsi harus direspon oleh porodusen konten media

Leave a Reply to dian Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *