MEMBAHAS BAHASA DI MEDIA SIBER
Ramadan Journey 2013
Day 7
PADA hari ketujuh puasa Ramadan saya kembali belajar. Siang sampai sore saya diundang oleh Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS) untuk berbagi di diskusi dalam rangka 25 tahun ultah mereka. Wow, seperempat abad berkontribusi terhadap pendidikan jurnalistik. Sesuatu banget! Saya adalah salah satu lulusan kursus jurnalistik LPDS, 20 tahunan lalu. Dalam rangka ultah ini, mereka menggelar diskusi tiap hari pukul 14.00-17.00 wib, mulai 15 Juli-19 Juli. Temanya seputar jurnalistik. Saya kebagian mengisi hari pertama, temanya adalah “Dilema Bahasa Di Media Siber”.
Saya beruntung bisa satu panel dengan Prof Benny H. Hoed, guru besar bahasa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Arifin Arsyad, pemimpin redaksi media siber detik.com. Diskusi dihadiri 50-an orang, banyak di antaranya jurnalis senior , redaktur bahasa, pula pengajar bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Pemandunya Pak Maskun Iskandar, pengajar di LPDS.
Sejak awal niat saya datang ke acara adalah untuk belajar. Bukan mengajari. Prof Benny pakar bahasa, Arifin bekerja di media siber belasan tahun. Keduanya ahli. Saya memosisikan diri sebagai pengguna dan pengamat bahasa di media siber. Bagi saya, media siber memang jenis jurnalistik yang berbeda dari sisi medium, cara konsumsi dan konsumennya. Tak heran jika penyajian kontenpun berbeda dengan media tradisional terutama koran harian dan majalah. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan bahasa.
Selama bertugas sebagai anggota Dewan Pers dan mengamati perkembangan media siber, saya lebih peduli pada penerapan etika jurnalistik, misalnya akurasi dan keberimbangan, ketimbang penggunaan bahasanya. Sesekali risih juga dengan judul-judulnya, apalagi yang bernuansa seks. Cenderung vulgar.
Dalam buku “BLUR”, bagaimana memilah informasi yang benar dia ntara banjir informasi, yang ditulis oleh empu jurnalistik Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dibahas konsekuensi dari era media digital terhadap konten dan kemasan produk jurnalistik. Gaya penyajian yang bertutur menjadi kian penting. Story telling. Bertutur akan terasa “aneh” kalau menggunakan bahasa baku. Bersaing menarik perhatian pembaca di era banjir informasi juga membutuhkan kemasan dan konten yang “compelling” atau menarik.
Dalam pengamatan saya, teman-teman di media siber menerjemahkan hal ini dalam format judul-judul yang menggugah. Mengagetkan. Membuat audiens melakukan “klik” masuk ke saluran berita utuhnya. Yep, ini media yang “click-driven”. Bahasa di media siber kita selama ini menggambarkan sifat: informal, luwes, nge-pop, ringkas, menimbulkan rasa penasaran, punya unsur dramatik, sensasional.
Tengoklah judul-judul ini:
– Daripada Jadi PNS, Ini Kerjaan yang Bakal Booming Tahun Depan dan Gajinya
– Wow, Dengan Semprotan ini Pakaian Hingga Gadget Bisa Tahan Air
– Telat Dapat Info Soal Lapas Tanjung Gusta, SBY Ngamuk
– Mengapa Begadang Bikin Gemuk?
– Siapa Sangka Pria Bisa Terangsang dengan 10 Hal Ini
Dan seterusnya…banyak contoh judul-judul yang dianggap menggelitik.
Judul-judul berita media siber lantas mengundang kritikan dari pakar dan pemerhati bahasa. Ini diakui oleh Arifin Arsyad yang mengatakan, problem bahasa di media siber adalah: penggunaan bahasa tidak baku, penggunaan bahasa prokem/gaul/, penggunaan istilah asing, judul hiperbolik dan cenderung menipu, tata bahasa yang salah. “Kami menyebutnya, menggunakan bahasa yang lebih efektif,” ujar Arifin.
Dia membeberkan soal audiens Indonesia yang memiliki waktu terbatas dalam menggunakan internet (pengguna internet saat ini 70 juta), Mereka hanya memiliki rata-rata dua jam per hari untuk berinternet. Tahun ini diperkirakan waktu berinternet bertambah jadi tiga jam sehari. Sepertiga dari waktu itu digunakan untuk membaca artikel/berita. Sisanya, pengguna internet asyik beraktivitas di media sosial.
Satu jam sehari itulah yang diperebutkan media siber, baik yang berdiri sendiri dan sudah mapan seperti detik.com, vivanews.com maupun yang menjadi ekstensi dari media cetak seperti kompas.com, tribunnews.com, tempointeraktif.co.id dan ratusan lainnya. Belum lagi kiprah penyedia jaringan seperti Telkom yang juga masuk ke bisnis media siber. Dunia yang dinamis, dengan potensi bisnis yang besar dan persaingan ketat. Tantangannya adalah, menarik perhatian langsung ke “rumah” media siber itu. “Faktor kecepatan dan akurasi lebih didahulukan ketimbang soal bahasa,” kata Arifin.
Dia mengatakan pihaknya bukannya tak pernah berupaya memperbaiki kualitas bahasa. Pelatihan dilakukan rutin. Tapi turn-over jurnalis juga tinggi. Detik.com mempekerjakan redaktur bahasa. Masalahnya mereka tak akan sanggup mengoreksi bahasa 1000-an berita yang dihasilkan oleh 170-an jurnalis mereka setiap hari. “Masak kami harus memperkerjakan 100 redaktur bahasa? Ya sudah, yang penting upload dulu. Kalau ada koreksi bahasa belakangan. Apalagi kalau ada kejadian penting, audiens menunggu perkembangan berita dari kami,” lanjut Arifin.
Apa yang menjadi “kenyataan sehari-hari” dalam kerja media siber memicu kritik. Di antaranya dari ahli bahasa jurnalistik Pak TD Asmadi yang juga pengajar LPDS. Pula dari Pak Atmakusumah dan Bu Yayah. Mereka berpandangan kalau situasi ini dibiarkan, maka fungsi media untuk mendidik konsumennya berbahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi pudar.
Prof Benny menyoroti tema ini dalam kemasan “Bahasa, Masyarakat, Kebudayaan”. “Bahasa dalam media siber adalah bahasa yang berkembang dalam suatu kebudayaan baru, semacam subkultur budaya,” kata dia. Sifat kerja media siber yang mengandalkan kecepatan, konsumen yang menghendaki informalitas, dan kekuasaan audiens yang begitu besar dalam ikut menentukan arah dan kemasan berita di era internet tak bisa dinafikan oleh peneliti bahasa. “Kita harus concern, mendukung mereka dengan mulai membangun konvensi dan kesepakatan mengenai bahasa yang efektif di media siber,” ujar Prof Benny.
Dia memahami pentingnya bagi media untuk memahami siapa audiensnya. “Bukankah inti dari bahasa adalah komunikasi? Media siber melayani audiens in-group, yang paham dengan gaya bahasa mereka karena itulah yang mereka gunakan sehari-hari,” ujar Prof Benny. Jadi, kalau ada judul atau istilah pake bahasa asing, sepanjang dicetak miring atau pake tanda kutip, tidak masalah. “Kalau untuk koran cetak harian, apalagi majalah, harus menggunakan bahasa yang baku,” kata Prof Benny. Cara komunikasi yang terpengaruh.
Perubahan dalam tata bahasa (grammar) berjalan lambat. Sementara perubahan dalam leksikon (gaya) bahasa justru berjalan lebih cepat. Ini juga disoroti Prof Benny. Dia memaparkan sejumlah istilah percakapan bahasa “alay” yang kian populer digunakan. Orang tua justru harus mencoba memahami bahasa anak-anak muda. “Menurut saya, jangan campuradukkan antara konten dengan cara menyajikan. Sepakat secara konten harus ikuti etika jurnalistik. Tetapi soal kemasan, bergantung pada siapa yang menjadi sasaran,” kata Prof Benny. Berikut adalah catatan Prof Benny soal bahasa siber:
Apa itu bahasa siber?
– Bahasa siber adalah bahasa yang digunakan dalam komunikasi di dunia maya (surat elektronik, internet, sms): komputer dan ponsel
– Bahasa siber pertama lahir sebagai variasi dari bahasa Inggris
– Kemudian lahir bahasa siber di berbagai bahasa lain termasuk bahasa Indonesia
Karakteristik bahasa siber :
– Bahasa siber terbentuk dan berkembang dalam ruan
g virtual.
– Bahasa siber, dalam bahasa Inggris : internet slang, cyber slang, netspeak, chatspeak, translexical, phonological, abbreviation.
– Berasal dari bahasa game.
– Kemudian berkembang dalam komunikasi melalui HP dan komputer.
– Tidak memiliki standar pada awalnya.
– Terbentuk proses standarisasi bersamaan dengan perkembangannya.
– Namun, tidak dapat dikatakan berstandar karena variasinya mengikuti kebutuhan “in-group”.
– Perlu diteliti bahasa berita (media) untuk media siber.
Masih banyak penjelasan menarik dari Prof Benny yang membuat Arifin dan pengelola media siber lainnya tentu lega karena dibela;-). Singkat kata, menurut Prof Benny, bagaimana menyikapi bahasa di media siber tergantung sikap pribadi. Opini pemurni bahasa akan men ganggap bahasa siber merusak bahasa. Opini pembaru akan melihat potensi bahasa siber sebagai pemerkaya bahasa, ia menjadi variasi bahasa “in-group”.
Menarik sih. Menurut saya langkah LPDS memulai diskusi bahasa media siber perlu dilanjutkan. Pengaruh media siber kian besar dalam mengarahkan opini publik. Dewan Pers membantu perkembangannya dengan memfasilitasi Pedoman Pemberitaan Media Siber. Kini ahli bahasa perlu mendukung agar bisa berperan secara lebih efektif tanpa merusak kebanggaan terhadap bahasa nasional kita.
Diskusi dilanjutkan saat kami berbuka bersama. #end
2 Comments
Hi Kak,
Apakah ada rujukan buku-buku mengenai gaya bahasa siber ini ? soalnya saya sedang menyusun skripsi mengenai gaya bahasa siber ini.
Trims!
Hi Kak,
Apakah ada rujukan buku-buku mengenai gaya bahasa siber ini ? soalnya saya sedang menyusun skripsi mengenai gaya bahasa siber ini.
Trims!