“BU SAYA MINTA IZIN MUDIK”
Kemacetan lebaran tahun 2012. Foto diambil dari aslimalang.wordpress.com
Ramadan Journey 2013
Day 9
“Dalam rangka penyelenggaraan Angkutan Lebaran Tahun 2013/1434 H dan mewujudkan transportasi yang aman, nyaman, dan selamat, Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jendral Perhubungan Darat berencana menyelenggarakan Layanan Mudik Gratis Pengangkutan Sepeda Motor dengan truk kepada masyarakat luas, dengan informasi sebagai berikut: Ada 12 Tujuan Mudik : Lampung, Cirebon, Tasikmalaya, Cilacap, Tegal, Wonosobo, Magelang, Yogyakarta, Kebumen, Wonogiri, Solo dan Purwokerto. Pendaftaran dimulai tanggal 16 Juli s.d 30 juli 2013 Pukul 08.00-15.00 WIB bertempat di lobby Ged. Cipta Lt. Dasar Kementerian Perhubungan, Jl. Medan Merdeka Barat No. 8, Kantor Dinas Perhubungan Bekasi……dstya.”
Pesan di atas, yang secara lengkapnya memuat nomor telepon orang di sejumlah instansi terkait perhubungan darat untuk pendaftaran mudik gratis, saya terima via broadcast message blackberry, siang ini. Tiga orang berbeda, ketiganya jurnalis meneruskan pesan serupa. Memasuki hari ke-9 Ramadan (hari ke 8 versi pemerintah), suasana mudik lebaran mulai terasa. Kemarin, salah satu dari staf rumah tangga saya pamit, minta izin untuk “mudik”, akhir pekan ini. Mbak M1, sebut saja kode namanya;-), pamit untuk pulang kampung ke Purwokerto Kamis besok, dan akan kembali pada Minggu malam.
“Bu, saya izin mudik duluan. Lebaran saya rencananya nggak pulang kampung, Bu. Jadi saya minta izin pulang kampung empat hari minggu ini,” kata Mbak M1. Tentu saja saya ijinkan. Ongkos transportasi untuk pulang kampung pun, saya ganti. Dia akan pulang kampung sebentar bersama ibu dan anaknya yang masih balita. Suaminya tidak ikut karena harus bekerja sebagai sopir di sebuah perusahaan distribusi gas tak jauh dari kawasan tempat kami tinggal, di perbatasan Jakarta Timur dan Bekasi.
Mbak M1 ini cerdas. Selama ini tugasnya menemani anak saya belajar dan menunggui di sekolah. Dia pula yang menjemput anak saya setiap hari, dengan menyetir mobil. Iya, saya punya staf rumah tangga yang bisa menyetir mobil. Asyik kan;-). Tahun ini dia memilih tidak mudik saat Lebaran. Selain bisa menghemat biaya transportasi, tidak sengsara kena macet di jalanan –tahun lalu dia kena macet 12 jam saat mudik ke Purwokerto –, dia juga bakal mendapatkan tunjangan “infal”, untuk tetap bekerja selama Lebaran.
Saya biasa memberi sebulan gaji untuk ini, di luar gaji bulanan dan Tunjangan Hari Raya yang akan dia terima. Jadi, M1 akan menerima tiga bulan gaji sekaligus karena memilih tidak mudik pas Lebaran. Sejak berkeluarga tiga tahun lalu, M1 mengontrak rumah persis di belakang rumah kami. Dia setiap saat bebas keluar masuk via pintu belakang halaman rumah saya yang langsung berbatasan dengan perkampungan Betawi. Halaman belakang rumah sudah menjadi arena bermain bagi anaknya, juga anak-anak tetangga di belakang rumah. Lumayan, rumah nggak pernah kosong.
Rupanya seperti tahun-tahun sebelumnya, Mbak M1 gantian dengan Mbak M2, staf rumah tangga saya yang lebih senior. Lebih senior dalam arti sebenarnya, selain usianya lebih tua, M2 notabene kakak tiri dari M1. Ayah mereka sama, ibu berbeda. Keduanya sudah bersama keluarga kami lebih dari 10 tahun. Pekan lalu M2 pamit untuk mudik lebaran tanggal 4 Agustus, dan akan kembali tanggal 12 Agustus. Selama ini M2 yang lebih jarang mudik pas Lebaran. Dia biasanya mengalah, memilih untuk mudik seminggu setelah lebaran, ketika M1 sudah kembali bekerja. Aplusan.
Ini dilakukan untuk mendapatkan tabungan lebih dan hindari macet. Keluarga mereka berdua sesekali ke Jakarta, dan saya izinkan menginap di rumah. Begitulah cara mereka melepas kangen, sehingga mudik pas Lebaran bisa dinegosiasikan diantara mereka. Saya tidak melarang keduanya untuk mudik sih, kecuali saat usia Darrel masih setahun, saya memang mengimbau agar mereka mudiknya gantian. Mereka bersedia. Yang terjadi berikutnya adalah kesepakatan diantara keduanya.
Saya tanya ke M2, dia mau naik apa mudiknya? Apakah sudah punya tiket? Soalnya saya tahu tiket kereta api sudah ludes terjual. Tahun-tahun sebelumnya mereka memilih naik bis. Tahun ini, M2 ingin lebih nyaman dan sudah memesan tiket travel dengan mini bis. Harga tiketnya sekali jalan Rp 250.000. Saya memberikan ongkos untuk pulang-pergi. Sebagai staf yang tugasnya memasak dan cuci-setrika, termasuk memasak makanan sahur, saya mendukung Mbak M2 mudik dengan nyaman.
Sopir saya tidak pernah mudik. Dia orang Jawa yang menikah dengan orang Betawi. Sejak kami tinggal di rumah yang kami tempati saat ini, 14 tahun lalu, dia pindah dan mengontrak rumah di belakang kami. Dalam lima menit jalan kaki dia sudah sampai di rumah kami. Sopir ini sudah bersama kami 16 tahunan. Lama juga ya. Padahal saya suka marah juga ke dia kalau tidak menjaga jarak aman dengan mobil lain. Pada dasarnya saya orangnya galak sih #beranijujur 😉
Mudik menjadi ritual tahunan saat lebaran. Tidak terkait dengan kewajiban dalam agama. Mudik menjadi kebutuhan sosial bagi orang Indonesia, setiap tahun. Sejak kecil saya biasa diajak mudik ke Yogya, karena Ibu saya asli Yogya dan sampai saat ini kami masih punya rumah keluarga. Ayah-Ibu saya kini tinggal tak jauh dari rumah kami di kawasan Jatiwaringin.
Suami kebetulan juga tinggal di Yogya dan semua keluarga ada di sana. Kunjungan ke Yogya sebenarnya kami lakukan minimal 4-5 kali dalam setahun, urusan pribadi maupun pekerjaan. Tetap saja, ke Yogya saat Lebaran menjadi tradisi tahunan yang tak pernah kami lewatkan, kecuali satu kali saat usia Darrel baru 2 bulan. Terlalu riskan membawanya naik pesawat terbang.
Yang membedakan antara kunjungan ke Yogya lainnya dengan saat Lebaran adalah suasana kumpul bersama keluarga. Semua tumplek, ngumpul di rumah mertua. Sebelum punya anak, saya dan suami punya kesepakatan, hari pertama Lebaran, saat shalat Iedul Fitri, tiap tahun gantian lokasinya. Kalau tahun ini dengan orang tua saya di Jatiwaringin, tahun berikutnya di Yogya dengan keluarga suami. Setelah Darrel lahir, Salat Iedul Fitri selalu kami lakukan bersama orang tua saya, karena Darrel masih menjadi satu-satunya cucu bagi Opung dan Eyang.
Sementara Yangkung dan Yangti punya 13 cucu. Kurang satu saat salat Ied nggak terlalu pengaruh;-). Tahun ini saya akan ke Yogya pada hari kedua lebaran, sore hari. Kami sudah memesan tiket jauh-jauh hari. Untuk tahun ini ukurannya sih telat, karena baru pesan dua bulan lalu. Biasanya lebih dulu, sehingga harga tiket masih murah.
Begitu pentingnya arti mudik, seringkali proses dan perjuangan yang dilakoni para saudara-saudara kita membahayakan nyawa. Setiap tahun, angka kecelakaan dan korban jiwa dalam proses mudik terus bertambah. Imbauan agar pemudik memilih menggunakan bis atau kapal yang disediakan pemerintah kurang digubris. Pemudik memilih sepeda motor, menembus lalu-lintas padat belasan jam, menggendong anak dan bayi, agar di kampung tetap punya sarana transportasi. Mudik dengan sepeda motor juga dianggap lebih murah.
Sejumlah media mengutip data dari Korps Lalu Lintas Polri yang menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas pada musim mudik 2012 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu mencapai 3.600 kecelakaan atau meningkat dua persen. Sebanyak 638 orang meninggal dunia, 994 orang luka berat, dan 3.444 orang luka ringan. Jumlah 3.600 kecelakaan tersebut melibatkan 3.881 sepeda motor atau meningkat 17 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 3.213 unit.
Sejumlah penyebab kecelakaan disampaikan mencakup faktor manusia. Yang paling tinggi karena mengantuk dengan jumlah 737 kasus. Faktor lain di luar manusia adalah prasarana jalan yang kurang layak sebanyak 407 kasus dan kendaraan. Untungnya stafsus saya memegang pesan saya untuk tidak mudik pake motor. Mbak M1 punya motor.
Tahun ini, sebagaimana pesan yang beredar di awal catatan ini, pemerintah kembali menyediakan angkutan gratis untuk motor. Pemudik bisa memilih naik bis, dan tetap dapat menggunakan sepeda motornya untuk bersilaturahmi di kampung. Terima motor di kota tujuan mudik. Akankah fasilitas ini lebih dimanfaatkan para pemudik pada Lebaran ini? #end
No Comment