EMPATI DALAM MELIPUT ANAK DAN PEREMPUAN
Ramadan Journey 2013
Day 10b
- “Bagaimana media meliput sidang pengadilan yang melibatkan terdakwa usia anak, jika sidang itu dinyatakan terbuka untuk umum oleh majelis hakim?” – contoh kasus pelaku pencurian sandal yang disidangkan di Pengadilan Negeri Palu, ini tautannya : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/277441-kpai–vonis-aal—maling-sandal–seumur-hidup. Sejumlah media menayangkan wajah terdakwa yang masih usia anak sesuai UU Perlindungan Anak.
- “Bagaimana media meliput istri atau pasangan hidup seseorang yang disangka terlibat dalam kejahatan korupsi?”. Saya merujuk kepada peliputan atas istri-istri Irjen Polisi Djoko Soesilo dalam kasus dugaan korupsi proyek uji klinik Simulator SIM. Ini salah satu tautan rujukan kasus : http://www.merdeka.com/peristiwa/masih-abg-istri-ketiga-irjen-djoko-susilo-beli-rumah-rp-14-m.html
- “Bagaimana media meliput narasumber yang secara sengaja mengajak anaknya ikut serta dalam memberikan keterangan kepada jurnalis mengenai kasus dugaan korupsi yang membelitnya? Padahal secara etika jurnalis dilarang mewawancarai –dan mengambil gambar— anak tanpa didampingi orang tua atau walinya, terkait hal di luar kemampuannya untuk menjawab?”. Rujukannya adalah Angelina Sondakh, sebagaimana dalam berita ini: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/379205-bawa-anak-ke-sidang–angelina-ditegur-hakim.
- “Bagaimana media meliput saksi korban kejahatan asusila, jika kemudian polisi menyatakan tidak terbukti terjadi kejahatan asusila itu? Apakah media masih terikat merahasiakan identitasnya? Ini merujuk pada kasus berikut: http://www.tempo.co/read/news/2013/07/10/064494997/Wartawati-Korban-Pemerkosaan-Merasa-Ditekan-Polisi.
Masih ada sejumlah pertanyaan lainnya yang terlontar dari peserta lokakarya Peliputan Tentang Perempuan dan Anak yang diadakan oleh Lembaga Pers Dokter Sutomo, Jumat, 19 Juli lalu. Tema ini menutup rangkaian lokakarya jurnalistik dalam rangka HUT ke-25 LPDS, sebuah lembaga yang berkecimpung di bidang pendidikan dan pelatihan jurnalistik. Empat pertanyaan di atas adalah sebagian dari pertanyaan yang saya ajukan kepada pembicara hari itu, yakni Mbak Maria Hartingsih wartawan senior Kompas, Mbak Maria Adriana wartawan senior LKBN Antara dan Mbak Astrid wakil dari UNICEF, badan PBB yang mengurusi soal anak. Lima hari lokakarya selalu penuh pesertanya.
Mbak Maria Hartingsih menanggapi pertanyaan saya dengan komentar, “sebagaimana kata filsuf, pertanyaan lebih penting dari jawaban. Sebenarnya Uni sudah tahu jawabannya.” Mbak Maria Adriana komentar, “Ini Mbak Uni hanya ingin saya bicara lebih banyak. Dia sudah paham.” Well, saya mengajukan pertanyaan itu memang bukan karena saya tidak paham. Tetapi ada kalanya saya perlu konfirmasi dalam upaya menegakkan etika jurnalistik di newsroom kami di ANTV. Semua pertanyaan saya di atas merujuk kepada sejumlah peristiwa yang diliput luas oleh beragam media. Kode Etik Jurnalistik yang berlaku saat ini, dengan 11 pasalnya, seringkali dirasakan tidak cukup untuk memandu kerja jurnalistik, terutama di televisi dan media siber. Lalu muncul debat saat menurunkan berita. Itu sebabnya Dewan Pers memfasilitasi lahirnya Pedoman Pemberitaan Media Siber.
Untuk tayangan televisi diatur juga dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang diterbitkan Komisi Penyiaran Indonesia. Tapi, ada saja wilayah “abu-abu” yang bisa memicu perdebatan antara regulator isi dan pelaku.
Mbak Maria Hartiningsih menggunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan uneg-unegnya atas sejumlah pemberitaan media. Bagaimana media memperlakukan perempuan dan anak-anak. Bagaimana media memperlakukan mereka yang minoritas secara diskriminatif. Bagaimana media meliput Orang Dengan HIV-AIDs (ODHA). Bahkan media siber yang satu grup dengan media di mana Mbak Maria Hartiningsih bekerja pun tak luput dari kritikannya. Ya, sebenarnya forum itu sekaligus menjadi refleksi dan ajang otokritik bagi pelaku jurnalistik. Termasuk buat saya dan teman-teman ANTV yang hadir. Godaan performa rating dan share, komersialisasi, arus konsumtivisme seringkali membuat jurnalis dan media menabrak rambu etika.
Mbak Astrid memaparkan data-data yang dihimpun UNICEF soal kondisi anak dan perempuan. Datanya bagus. Menarik untuk dikembangkan sebagai sebuah liputan jurnalistik. Saya berbisik kepada Alfia, salah satu reporter ANTV yang hadir dan berbagi kursi dengan saya. “Tuh, moga2 kamu jadi punya ide untuk membuat usulan peliputan. Buat wishlist, riset, diskusikan dengan saya, lalu dikerjakan.” Tujuan saya mengajak teman-teman ke lokakarya itu, selain untuk belajar, berjejaring, juga mencari ide peliputan. Beda sekali dengan saat saya menjadi jurnalis pemula, jurnalis sekarang jarang sekali membuat usulan peliputan. Dulu, kami berlomba-lomba mengajukan usulan, dan itu menjadi bagian dari penilaian kinerja. Begitu pula kemampuan berjejaring.
Mbak Astrid mengingatkan, “menurut saya tidak ada berita yang lebih penting dari keselamatan, kenyamanan dan kesejahteraan anak-anak danmereka yang termarjinalkan.” Setuju 100%. Dalam berbagai sesi pelatihan jurnalistik yang saya lakukan saat menjadi ketua komisi pendidikan dan pelatihan di Dewan Pers 2010-2013, saya menggunakan kalimat, “ dalam meliput soal perempuan dan anak, coba pikirkan, seandainya yang sedang kita liput adalah orang yang kita kenal, kita sayangi, kita pedulikan.” Bukan berarti saat meliput laki-laki jurnalis boleh serampangan, tapi perempuan dan anak seringkali menjadi korban kedua kalinya. Korban atas peristiwa dan atau kejahatan yang dialami, lalu korban atas pemberitaan media.
Sore itu saya mendapatkan konfirmasi atas upaya yang selama ini coba kami terapkan di newsroom ANTV –tidak selalu kami berhasil, masih banyak yang perlu diperbaiki. Dalam membuat berita, mulai dari meliput sampai mengemas dan menayangkan ke publik, selalu tanyakan, “apa tujuan dari berita ini? Mengapa kita membuat berita ini?” Tujuan selalu harus berkaitan erat dengan kepentingan publik.
Penting juga untuk dipikirkan ANGLE atau sudut pandang peliputan. Ketika memberitakan seorang anak yang menjadi pelaku kejahatan, atau perempuan yang ditangkap aparat karena penjadi pekerja seks komersial, pikirkan bahwa mereka adalah korban dari keadaan. Anak-anak dan kaum perempuan mayoritas masih hidup dalam dunia di mana posisi mereka dalam relasi kuasa di bawah kaum laki-laki. Dalam konteks kasus Dipta istri Irjen (Pol) Djoko Susilo yang menjadi terdakwa kasus dugaan korupsi uji klinik Simulator SIM, ada kemungkinan Dipta adalah korban. Korban dari paradigma di masyarakat, yang mengukur sukses hidup dengan materi yang berlimpah. Tak heran jika banyak orang tua merelakan anaknya menjadi istri ke sekian, atau bahkan memaksa anaknya yang masih di bawah umur untuk menikah dengan laki-laki yang sudah berkeluarga, usia terpaut jauh, yang penting kaya.
Anak yang mencuri sandal, secara KEJ harus dirahasiakan identitasnya, bahkan ketika sidang vonis, saat majelis hakim menyatakan sidang dibuka untuk umum. Jurnalis terikat dengan KEJ, dan bukan kepada keputusan hakim atas sebuah tata cara peradilan. Tetapi lebih jauh dari soal teknis ini, jurnalis perlu lebih peka mengangkat aspek kemanusiaan dari kasus ini. Seorang anak mencuri sandal? Pasti dia terpaksa. Bagaimana mungkin itu terjadi? Kritisi lingkungan di mana anak itu tinggal. Sama halnya kita harus mengkritisi lingkungan di mana seseorang terpaksa bunuh diri karena kemiskinan. Mengkritisi masyarakat yang membiarkan seorang siswi SMP menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan ayah dan kakaknya bertahun-tahun. Sudut pandang ini yang seringkali luput dalam pemberitaan media. Empati menjadi kunci.
Jika tujuan dan sudut pandang dalam membuat berita sudah kita tentukan, maka soal teknis menyesuaikan, sesuai medium. Mbak Maria Hartiningsih secara khusus menyoroti masih seringnya pemberitaan media siber gagal merahasiakan identitas korban kejahatan asusila. “Teman-teman di televisi pasti lebih sulit mengemasnya karena mereka perlu gambar. Perlu membuat ilustrasi pengganti jika ada hal yang harus dirahasiakan. Teman-teman di media siber dan media cetak seharusnya lebih mudah menerapkan etika karena bisa menggantikan gambar atau foto dengan deskripsi,” kata Mbak Maria.
Pendidikan juga menjadi bahasan seru dalam diskusi ini karena penting dalam menumbuhkembangkan sikap peduli atas isu-isu perempuan dan anak.
Pentingnya empati dan sikap kemanusiaan dalam menjalankan tugas jurnalistik juga menjadi tema bahasan di kalangan jurnalis di AS. Craig Silverman, salah satu kontributor di situs www.poynter.org yang membahas media dan jurnalistik mengatakan:
“Rather than focusing on the usual concepts of accuracy, transparency and accountability, I found myself thinking more about humility, honesty, fairness, empathy and vulnerability”.
Baca tulisannya di tautan ini: http://www.poynter.org/latest-news/regret-the-error/193063/journalism-ethics-are-rooted-in-humanity-not-technology/
Saya hanya hadir 35 menit dalam lokakarya kali ini, karena harus menuju sebuah acara lainnya, yakni buka bersama dan diskusi di rumah pengusaha Chairul Tanjung. Saya belajar, mendapatkan konfirmasi dan merasa perlu terus-menerus mengasah empati saat meliput perempuan dan anak. Semoga teman-teman saya juga mendapatkan pesan yang sama.
Selamat Ultah LPDS, terima kasih atas kontribusinya untuk pengembangan jurnalistik di Indonesia. #end
No Comment