KAMI KELUARGA #LOVECABE
Ramadan Journey 2013
Day 20
dengan sambal dan 3 gelas jus buah
“Mom, boleh nggak aku buat sambal bawang?” pinta Darrel, menjelang buka puasa sore tadi. “Kan masih ada sambal pete kemarin. Enak itu. Habiskan dulu. Cabe masih mahal,” ujar saya. Si D cemberut;-). Tidak tega melihat wajahnya, saya membolehkan D membuat sambal, dengan syarat harus membuat sendiri. Saya lantas meneruskan merapihkan isi lemari pakaian, kegiatan rutin mingguan. Saat berbuka puasa, D sudah siap dengan sambal yang dia taruh di meja makan lengkap dengan cobeknya. “Itu pake cabe berapa? Bahannya apa saja?” tanya saya. “Cabe rawitnya lima. Harusnya lebih banyak. Tapi mommy bilang cabe lagi mahal. Lalu aku kasi satu bawang putih dan garam,” jawab D. “Kog nggak pake gula pasir?” tanya saya, sambil membayangkan pedasnya. “No sugar. We are manly,” kata si D. Waks! :;-)
D belajar membuat racikan sambal bawang dari ayahnya, yang memang hampir selalu membuat sambal ini untuk teman nasi panas dan lauk lain. Bahkan, sepanjang ada sambal bawang dan nasi putih panas, ayahnya si D merasa cukup. Ini menurun ke anaknya. Sejak kecil sebenarnya D tidak sulit makannya, kecuali makan sayur-sayuran. Ada lauk tempe atau tahu goreng dan sambal, makannya sudah lahap betul. Saking asyiknya, sambal yang menempel di “muntu”, yang digunakan untuk menggerus cabe di cobek, di”tutul-tutul’kan ke nasi putih. Syedaaap…-). Keringat pun mengucur di keningnya sambil terus makan. Senang melihatnya. Dia bisa membuat sambal sendiri sejak tahun lalu. Kini usianya 10 tahun, meski badannya sih bongsor;-)
Kegemaran D akan makanan pedas menurun dari orang tua. Saya juga suka pedas ketimbang manis. Keluarga dari orang tua saya juga doyan makanan pedas, termasuk Mama yang aslinya dari Yogya. Kalau makan keripik Ma’icih yang terkenal karena level kepedasannya, D akan memilih level 10. Yang paling pedas. Makan Ramen Sanpachi, akan memilih level 3, pedasnya nyelekit di lidah. Sabtu kemarin saya membelikan D semangkuk Ramen untuk berbuka puasa. Sengaja saya pilihkan level 2 saja, supaya perutnya tidak sakit, karena kosong seharian puasa. Komentar si D, “ini rasanya kurang pas ya.” Dia lantas menuangkan abon cabe ke piringnya. Walah.
Ramen Pedas…
Konsumsi cabe di rumah kami tergolong tinggi untuk ukuran keluarga kecil. Setiap minggu saya membeli setengah kilogram cabe rawit dan setengah kilogram cabe merah keriting. Kami juga menanam beberapa pohon cabe di halaman belakang rumah. Karena konsumsi yang banyak itu, panen pohon cabe tidak mencukupi. Paling cukup untuk makan gorengan. Selama bulan puasa ini saya menyediakan ragam makanan pedas siap saji dan sambal Bu Rudy yang terkenal itu. Ada abon cabe, Jamur Cabe dan Serundeng Pedas. Pendek kata, kebutuhan si D akan makanan pedas tersedia.
Meski sering kuatir dengan kegemaran si D makan makanan pedas, terutama kalau dia mengkonsumsinya dalam keadaan perut kosong, saya paham bahwa makan cabe banyak manfaatnya bagi kesehatan. Mulai dari mencegah obesitas, mencegah kanker, sampai menambah daya tahan tubuh. Soal manfaat makan makanan pedas silahkan nikmati artikel di Kompas ini http://health.kompas.com/read/2013/05/10/15195780/6.Manfaat.Sehat.dari.Makanan.Pedas
Karena itu, saya lebih terganggu dengan naiknhya harga cabe ketimbang kenaikan harga daging sapi atau daging ayam. Harga cabe sangat bergantung pada musim sih, dan Indonesia sesekali masih impor cabe dari Cina. Pekan lalu harga cabe rawit sempat menyentuh Rp 100.000 per kilogram, setara dengan harga daging sapi. Kemarin saat ke pasar harganya sudah turun menjadi Rp 80.000 per kilogram. Semoga cabe tidak sering mahal, karena akan mengganggu selera makan kami yang #lovecabe. #end
No Comment