HomeUncategorizedPRESIDEN POPULIS?

PRESIDEN POPULIS?

#100HariJokowiJK Hari2

“Everybody Does Better, When Everybody Does Better”

Dukungan Rakyat dalam Kirab Untuk Presiden Jokowi dan Buku Bill Moyers
Dukungan Rakyat dalam Kirab Untuk Presiden Jokowi dan Buku Bill Moyers

Sehari setelah pelantikan Joko Widodo sebagai Presiden RI 2014-2019, halaman depan media massa dihiasi gambar ribuan orang mengarak Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dari Bundaran Hotel Indonesia menuju Istana Merdeka, menggunakan kereta kencana. Gambaran yang menakjubkan. Historis. Di sejumlah televisi, media sosial pakar dan komentator bicara soal betapa besar dukungan rakyat untuk Jokowi. Jokowi Presiden Rakyat. Jokowi Presiden Populis. Semacam itu.

Apa sih populisme? Kamus Merriam-Webster mendefinisikan “populism” sebagai, “anggota partai politik yang mengklaim dirinya merepresentasikan orang biasa – rakyat.” Populisme pertama kali muncul di daerah Texas, Amerika Serikat, sekitar tahun 1877. Tepatnya di Lampasas, Texas tengah. Para petani di sana duduk mengitari meja. Mendiskusikan kekuasaan bank dan monopoli perusahaan kereta api atas hidup dan penghidupan mereka. Kekuasaan korporasi. Suku bunga kredit bank mencekik leher petani, 20-30 persen. Petani terancam bangkrut. “Kita harus melakukan sesuatu,” begitu diskusi para petani.

Jim Hightower, jurnalis yang menyebut dirinya “America’s #1 Populist”, menceritakan hal ini saat diwawancarai oleh Bill Moyers dalam bukunya Bill Moyers Journal, The Conversation Continue. Moyers adalah jurnalis senior yang memenangi sejumlah award atas karya jurnalistiknya di TV maupun sebagai penulis buku. Togi Pangaribuan, putra pengacara senior Luhut Pangaribuan memberikan buku ini kepada saya, sebagai oleh-oleh saat dia selesai menuntaskan program master di Harvard.  Saya mengenal Togi dalam perjalanan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke luar negeri.  Togi adalah staf Dino Patti Djalal, yang di periode pertama SBY menjadi juru bicara bidang luar negeri.

Rapat para petani di Texas itu adalah awalnya. Mereka mengorganisasikan gerakan petani untuk mendapatkan akses kredit, membangun sistem kredit petani, meminggirkan sistem yang dijalankan oleh bank saat itu. Populisme, pada awalnya bukan gerakan politik. Petani membangun sistem pasokan benih, pupuk dan mengawali sistem pemasaran untuk produk pertanian. Petani membangun gerakan budaya di sekitar upaya itu. Upaya menentang dominasi korporasi besar atas hidup mereka. Petani mengedukasi masyarakat sekitarnya. Mereka memiliki biro hubungan masyarakat. Sebuah gerakan yang intelektual juga karena pada dasarnya mereka adalah orang yang menguasai pekerjaan yang mereka lakukan.

Setelah menyebarluas, pelan-pelan gerakan petani menjadi gerakan politik. Petani mempengaruhi pemilihan kandidat untuk duduk di kursi-kursi perwakilan politik, dari New York ke California. Mereka yang pertama kali mengusulkan pemilihan senator secara langsung. Melawan subisidi negara bagi korporasi. Meminta pemerintah menyediakan pensiun untuk para pensiunan pegawai negeri maupun militer. Memutus mata rantai lobi politisi yang dilakukan korporasi.

Populisme berangkat dari semangat tidak menerima begitu saja apa yang ditetapkan pemerintah atas rakyatnya. Pemerintah dikepung lautan kepentingan. Ibarat rimba raya, lautan kepentingan di sekeliling pemerintah didominasi kepentingan korporasi dan rantai kekuasaan. Populisme, kata Jim Hightower, penulis buku Thieves in High Places; They’ve Stolen Our Country and It’s Time To Take It Back, bukan sekedar mengorganisasikan demonstrasi di jalanan berteriak-teriak. Populisme adalah mengorganisasi gerakan penuh persiapan, pemikiran mendalam, menyebarkan prinsip dan paham itu ke pihak lain dan dari situ membangun, “real people’s movement.”

Kepada Bill Moyers, Hightower mengutip pesan ayahnya, yang menginspirasi dia menjadi seorang “populism agitator” yang sangat disegani di AS. “Everybody Does Better, When Everybody Does Better.” Prinsip membangun sistem yang menguntungkan si Kaya dengan berharap adanya efek menetes ke bawah (tricke down effect) dalam ekonomi yang sudah berjalan puluhan tahun, berharap rakyat menikmati malan malam dengan lauk beragam karena efek itu –yang dalam kenyataannya tidak terjadi, lebih baik membuat kebijakan yang memastikan kemakmuran menyebar secara merata. Untuk semua.

Buku Bill Moyers Journal diterbitkan tahun 2011, saat AS tengah bergulat untuk bangkit dari krisis ekonomi yang mendera mereka di tahun 2008 dan menularkan penyakit ekonomi negara Paman Sam ke seluruh dunia. Krisis ini melatari berlangsungnya pertemuan tingkat kepala negara anggota G20 di Washington DC, AS. Krisis finansial ini juga yang menjadi alasan bagi Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk melakukan bail-out Bank Century. Keputusan kontroversial yang sampai hari ini masih berbuntut panjang secara hukum.

Saya meliput acara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat G20 Summit. Saya juga beruntung pernah bertemu langsung dengan Bill Moyers, awal Mei 2011 saat mengikuti program Eisenhower Fellowships (EF). Menghadiri kuliah umum Moyers di Philadelphia University adalah agenda saya hari pertama memulai program EF di Philadelphia.

Krisis finansial 2008 memicu debat menentang prinsip, “too big to fail” yang menjustifikasi pemerintah Negara Paman Sam menolong korporasi yang bangkut. Kata Jim Hightower, kalau mereka too big to fail, maka seharusnya pemerintah juga menganggap mereka too big to care.

Bill Moyers juga mewawancarai Neil Irvin Painters, profesor sejarah di Universitas Princenton, yang pernah menjabat sebagai presiden asosiasi sejarahwan AS. Neil Painters menulis buku yang sangat perpengaruh, Standing at Armageddon: A Grassroots History of The Progressive Era.

Di awal wawancara Moyers menyajikan bagaimana media arus utama di sana menyajikan berita bernuansa populis. Saat kampanye merebut tiket memenangi konvensi Partai Demokrat untuk Pemilu Presiden 2008, Senator Hillary Clinton mampir ke sebuah restoran cepat saji di Ohio dan berpose dengan pegawai restoran dengan maksud menunjukkan solidaritas kepada kelompok pekerja. Lawan Hillary Clinton di partainya, Barack Obama, sengaja berkunjung ke pabrik Titanium, bertemu dengan pekerja pabrik dan bahkan ikut menggunakan topi pekerja. Kamera merekam. Kedua kandidat paham betapa penting meraih suara kaum pekerja yang secara historis adalah pendukung Partai Demokrat, tapi belakangan menganggap partai ini sama saja dengan Partai Republik, memihak kaum kaya, bankir investasi dan korporasi.

Hillary Clinton dan Barack Obama tengah berupaya meyakinkan pemilik suara bahwa mereka memihak pekerja, memihak rakyat. Memihak populisme?

“Before Votes, Democrats Deliver Populist Appeals,” demikian kepala berita koran berpengaruh, New York Times. Media lain senada. Ini mengundang kritik dari The Columbia Journalism Review (CJR), semacam media watchdog . CJR menulis, “sebelum kebablasan, media (besar), seharusnya berhenti menggunakan kata ‘populist’ untuk menjelaskan program ekonomi Demokrat dan upaya mereka ke pemilik suara….reporter dan penulis judul berita tidak perlu menjadi ‘historian-on-deadline’ untuk mengetahui bahwa kata ‘populist’ belum diterima secara luas, dari sudut pandang definisi, dan kerapkali diasosiasikan negatif.”

Bagi sebagian orang, populisme di kanan (konservatif) itu asosiasinya bagi, sedangkan asosiasi di kiri (mengarah ke liberal), itu diasosiasikan negatif. Berbahaya.

Ketika negara berkembang menjadi “consumer republic”, kata Painter, kaum populis meneriakkan pentingnya menjadi “producer republic”. Setiap politisi yang mengusung ide “pro rakyat”, meneriakkan pesan yang mengutamakan kepentingan akar rumput dibandingkan dengan kepentingan korporasi dan bank, berhadapan dengan stempel “pemimpin populis’. Masalahnya, di era sekarang, bagaimana memisahkan antara kepentingan warga negara (citizen) dengan kepentingan rakyat (people)?  Sebagai warga negara, kita harus membayar untuk membangun jalan tol, jembatan, sekolah. Ini kepentingan warga negara. Kepentingan rakyat sebagai konsumen bisa berbeda. Konsumen berkepentingan agar harga bahan pokok terjangkau dan korporasi tidak memonopoli sektor produksi penting.

Saya membaca kembali buku ini seraya menikmati analisa dan judul-judul berita yang disajikan media. A New Hope. Tak kurang dari majalah terkemuka dunia, TIME, menggunakan judul itu untuk menyambut Presiden Jokowi. Presiden ke tujuh untuk Republik Indonesia. Pakar politik Salim Said yang diundang Kompas TV untuk mengomentari jalannya pelantikan presiden dan kirab budaya yang digelar 20 Oktober lalu mengatakan, “pemandangan ribuan rakyat mengarak Jokowi ke istana ini luar biasa. Historis. Tapi jangan lupa bahwa dukungan luar biasa dari rakyat yang tergambar dari arak-arakan ini, sesungguhnya belenggu bagi kemerdekaan Jokowi. Presiden dengan dukungan sebesar ini, tak punya pilihan lain selain bekerja untuk kepentingan rakyat.”

Memori janji-janji kampanye yang ditayangkan media selama Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 kembali dalam ingatan saya.  Momen-momen politisi.  Pergi ke warung.  Berbincang dengan petani.  Memeluk anak miskin yang terlentang di ranjang rumah sakit.  Nongkrong bareng nelayan. Name it.
Presiden Jokowi adalah Presiden Pilihan Rakyat. Persisnya 53 persen rakyat pemilih. Jokowi adalah presiden populis? Kita menunggu pengumuman susunan kabinet dan gebrakannya di 100 hari pertama.

Selamat Bekerja, Presiden.##

Di bawah ini saya sajikan pidato lengkap Presiden Jokowi di Sidang Paripurna MPR RI sesaat setelah dilantik. Naskah pidato diterbitkan portal berita viva.co.id.  Cukup populis?

PIDATO
“DI BAWAH KEHENDAK RAKYAT DAN KONSTITUSI”

JAKARTA, 20 OKTOBER 2014

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Salam Damai Sejahtera untuk kita semua,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya

Yang saya hormati, para Pimpinan dan seluruh anggota MPR,
Yang saya hormati, Wakil Presiden Republik Indonesia,
Yang saya hormati, Bapak Prof Dr. BJ Habibie, Presiden Republik Indonesia ke 3, Ibu Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia ke-5, Bapak Try Sutrisno, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-6, Bapak Hamzah Haz, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-9,
Yang saya hormati, Bapak Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia ke-6, Bapak Prof Dr Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia ke-11,
Yang saya hormati, para pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara,
Yang saya hormati dan saya muliakan, kepala negara dan pemerintahan serta utusan khusus dari negara-negara sahabat,
Para tamu, undangan yang saya hormati,
Saudara-saudara sebangsa, setanah air,
Hadirin yang saya muliakan,

Baru saja kami mengucapkan sumpah, sumpah itu memiliki makna spritual yang dalam, yang menegaskan komitmen untuk bekerja keras mencapai kehendak kita bersama sebagai bangsa yang besar.

Kini saatnya, kita menyatukan hati dan tangan. Kini saatnya, bersama-sama melanjutkan ujian sejarah berikutnya yang maha berat, yakni mencapai dan mewujudkan Indonesia yang berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Saya yakin tugas sejarah yang berat itu akan bisa kita pikul bersama dengan persatuan, gotong royong dan kerja keras. Persatuan dan gotong royong adalah syarat bagi kita untuk menjadi bangsa besar. Kita tidak akan pernah besar jika terjebak dalam keterbelahan dan keterpecahan. Dan, kita tidak pernah betul-betul merdeka tanpa kerja keras.

Pemerintahan yang saya pimpin akan bekerja untuk memastikan setiap rakyat di seluruh pelosok tanah air, merasakan kehadiran pelayanan pemerintahan. Saya juga mengajak seluruh lembaga Negara untuk bekerja dengan semangat yang sama dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Saya yakin, Negara ini akan semakin kuat dan berwibawa jika semua lembaga negara bekerja memanggul mandat yang telah diberikan oleh Konstitusi.

Kepada para nelayan, buruh, petani, pedagang bakso, pedagang asongan, sopir, akademisi, guru, TNI, POLRI, pengusaha dan kalangan profesional, saya menyerukan untuk bekerja keras, bahu membahu, bergotong rotong. Inilah, momen sejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama untuk bekerja…bekerja… dan bekerja

Hadirin yang Mulia,
Kita juga ingin hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, dengan martabat, dengan harga diri. Kita ingin menjadi bangsa yang bisa menyusun peradabannya sendiri. Bangsa besar yang kreatif yang bisa ikut menyumbangkan keluhuran bagi peradaban global.

Kita harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk.

Kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga Jalesveva Jayamahe, di Laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu, bisa kembali membahana.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,

Kerja besar membangun bangsa tidak mungkin dilakukan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden ataupun jajaran Pemerintahan yang saya pimpin, tetapi membutuhkan topangan kekuatan kolektif yang merupakan kesatuan seluruh bangsa.

Lima tahun ke depan menjadi momentum pertaruhan kita sebagai bangsa merdeka. Oleh sebab itu, kerja, kerja, dan kerja adalah yang utama. Saya yakin, dengan kerja keras dan gotong royong, kita akan akan mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Saudara-saudara sebangsa dan setanah air,

Atas nama rakyat dan pemerintah Indonesia, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Yang Mulia kepala negara dan pemerintahan serta utusan khusus dari negara-negara sahabat.

Saya ingin menegaskan, di bawah pemerintahan saya, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, sebagai negara kepulauan, dan sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, akan terus menjalankan politik luar negeri bebas-aktif, yang diabdikan untuk kepentingan nasional, dan ikut serta dalam menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Pada kesempatan yang bersejarah ini, perkenankan saya, atas nama pribadi, atas nama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan atas nama bangsa Indonesia menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Bapak Prof. Dr. Boediono yang telah memimpin penyelenggaraan pemerintahan selama lima tahun terakhir.

Hadirian yang saya muliakan,

Mengakhiri pidato ini, saya mengajak saudara-saudara sebangsa dan setanah air untuk mengingat satu hal yang pernah disampaikan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Bung Karno, bahwa untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai, kita harus memiliki jiwa cakrawarti samudera; jiwa pelaut yang berani mengarungi gelombang dan hempasan ombak yang menggulung.

Sebagai nahkoda yang dipercaya oleh rakyat, saya mengajak semua warga bangsa untuk naik ke atas kapal Republik Indonesia dan berlayar bersama menuju Indonesia Raya. Kita akan kembangkan layar yang kuat. Kita akan hadapi semua badai dan gelombang samudera dengan kekuatan kita sendiri. Saya akan berdiri di bawah kehendak rakyat dan Konstitusi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa merestui upaya kita bersama.

Merdeka !!!, Merdeka !!! Merdeka !!!
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Semoga Tuhan memberkati,
Om Shanti Shanti Shanti Om,
Namo Buddhaya

Joko Widodo

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
MELIHAT PELANTIKAN JOKOWI DARI SUDUT PASAR
Next post
KABINET JOKOWI, TANDA MERAH DAN KUNING ITU

2 Comments

  1. October 24, 2014 at 9:55 am — Reply

    Kesimpulannya, populis bukan berarti populis dalam artian yang sebenarnya. Ilusikah?

  2. October 24, 2014 at 9:55 am — Reply

    Kesimpulannya, populis bukan berarti populis dalam artian yang sebenarnya. Ilusikah?

Leave a Reply to Oknum Advokat Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *