Jurnal Perempuan dan ILUNI FH UI SOAL PENGURANGAN JAM KERJA PEREMPUAN
Pengantar:
Saya bukan feminis. Juga bukan aktivis perempuan. Saya hanya jurnalis biasa. Ibu seorang anak yang duduk di kelas 6 SD. Istri. Saat ini saya tengah berada di Lima, Peru untuk meliput KTT Perubahan Iklim, COP 20.
Saya menulis blog mengenai topic rencana pengurangan jam kerja bagi perempuan. Saya tidak setuju. Alasannya bisa dibaca di blog ini, di www.unilubis.com.
Di bawah ini saya sampaikan hasil keterangan pers, sikap dari Jurnal Perempuan dan Ketua ILUNI-FH UI soal tema yang sama.
Sebelum impulsif membuat aturan yang justru menyudutkan posisi perempuan, saya berharap Wapres dan Menteri-menteri Jokowi memperhatikan poin-poin di bawah ini:
Selamat membaca. Dan jika Anda perempuan (laki-laki juga), bagaimana komentar Anda atas rencana pemerintah, juga sikap kami?
Salam
—
JURNAL PEREMPUAN DAN ILUNI FAKULTAS HUKUM UI
MENOLAK RENCANA WAPRES DAN MENAKER TERBITKAN ATURAN PENGURANGAN JAM KERJA BAGI PEREMPUAN
Acara ini diadakan 4 Desember lalu.
Narasumber:
- Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi (Pendiri Jurnal Perempuan)
- Melli Darsa, SH, LL.M (Ketua ILUNI FH UI)- 081514514919
- Dr. Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan dan Pelita UI)- 08176331964
Kehadiran 23% perempuan dalam Kabinet Kerja menandakan era baru, karena ini
merupakan kabinet pertama yang diisi dengan lebih banyak perempuan daripada kabinet
sebelumnya dalam sejarah Indonesia.
Akan tetapi, sangat disayangkan pada Rabu 26 November lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla
menyatakan akan mengurangi jam kerja khusus bagi perempuan dan hal ini akan segera
dikaji oleh Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri. Jurnal Perempuan, ILUNI FHUI dan PELITA
UI memandang bahwa kebijakan ini adalah kebijakan diskriminatif.
Pertama, ia diskriminatif terhadap laki-laki yaitu ayah, karena pengasuhan dan pendidikan
atas anak adalah tanggung jawab kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, dan terutama
Negara untuk memastikan jaminan itu. Kedua, diskriminasi terhadap perempuan khususnya
perempuan yang tidak menikah dan/atau memiliki anak karena perempuan dan laki-laki
memiliki potensi sama dalam mengekspresikan wilayah profesionalisme dalam pekerjaan
masing-masing yang tidak boleh diukur dengan pengurangan 2 (dua) jam bekerja hanya
untuk perempuan. Ketiga, diskriminasi Negara atas pekerja perempuan baik buruh maupun
profesional yaitu dengan mengebiri potensi dan hak untuk mengembangkan diri dan
berkarir dalam arti seluas-luasnya.
Seluruh warga Negara tentu tidak bisa membayangkan bahwa kedelapan menteri
perempuan kita “harus” pulang 2 (dua) jam lebih awal daripada menteri laki-laki. Ini adalah
praktik kemunduran atas kesetaraan dan keadilan gender. Baik perempuan maupun lakilaki,
baik ayah maupun ibu, memiliki tanggung jawab yang setara dalam kerjasama
pengasuhan dan pendidikan anak.
Negara tidak boleh melanggar hak-hak perempuan
dan anak yang telah diakui secara tegas oleh Negara dengan meratifikasi CEDAW dan CRC
(KHA-Konvensi Hak Anak), seperti cuti haid, cuti melahirkan, cuti bagi pengasuhan oleh ibu
dan ayah dan penyediaan setiap dan semua sarana yang dibutuhkan terkait dengan hakhak
tersebut, seperti tempat ibu menyusui (Ruang ASI) dan tempat penitipan anak. Selain
itu, Negara perlu membenahi transportasi yang kian parah agar baik pekerja perempuan dan
laki-laki dapat tiba di rumah dengan cepat dan nyaman.###
Rekap Beberapa Pernyataan Ketua Umum ILUNI FHUI Dalam Konperensi Pers: Menolak Wacana Pengurangan Jam Kerja Bagi Perempuan
Sebagaimana diketahui, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla telah menyampaikan wacana mengurangi jam kerja khusus bagi perempuan, yang konon akan segera dikaji oleh Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri. Terkait hal ini, ILUNI FHUI bersama dengan Jurnal Perempuan dan PELITA UI telah mengeluarkan pernyataan bersama dalam Konperensi Pers yang diadakan pada hari ini, Kamis, 4 Desember 2014, sebagaimana terlampir. Sehubungan ini, Ketua Umum, ILUNI FHUI, Melli Darsa, SH, LLM tadi mengatakan pada Konperensi Pers tersebut:
Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla harus cerdas dalam mengeluarkan ketentuan dan peraturan, dan khususnya kementerian teknis yang terkait harus menggunakan data yang tepat.
Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak boleh mengulangi kesalahan yang telah dilakukan oleh Pemerintahan sebelumnya yang hanya menghasikan UU yang berujung pada judicial review di Mahkamah Konstitusi (seperti UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas yang berakibat pada pembubaran BP Migas, atau terhadap UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara), atau kini terkait Peraturan Pemerintah tentang Pungutan OJK yang sedang diuji oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Proses pembuatan peraturan yang menimbulkan multitafsir (seperti UU Keuangan Negara) atau ketidak adilan (seperti Peraturan Pemerintah tentang Pungutan OJK) merupakan bukti sempurna dari proses pembuatan hukum yang tidak efektif dan efisien, dan hal tersebut sudah pasti menimbulkan ketidakpastian hukum dan kebingungan bagi masyarakat yang harus mematuhinya. Wajib diketahui, peraturan tidak selalu merupakan solusi dari permasalahan yang ada.
Khusus terkait wacana mengeluarkan peraturan pengurangan jam kerja kali ini, hal tersebut sepenuhnya bertentangan dengan prinsip keseteraan serta potensi yang ada perempuan yang merupakan kemunduran besar bagi beberapa konsep hukum yang selama bertahun-tahun telah secara bersusah payah diperjuangkan dan juga yang secara internasional telah diakui harus diberlakukan secara umum.
Perlu disadari bahwa walaupun mungkin beberapa perempuan dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi dan yang berada di sektor professional merasa tidak mengalami diskriminasi, kenyataannya baik di Jajaran Direksi/Dewan Komisaris BUMN maupun perusahaan Indonesia yang terbaik sekalipun representasi perempuan masihlah sangat sedikit. Khusus di bidang hukum, walaupun proporsi antara perempuan dan laki-laki pada saat masuk fakultas hukum adalah kurang lebih sama, namun institusi penegak hukum masih amat didominasi oleh pria, sebagaimana ternyata dari banyaknya jabatan penting yang diduduki oleh laki-laki dalam infrastruktur hukum.
Khususnya, berdasarkan data yang dikelola oleh ILUNI FHUI, terbukti bahwa perempuan menghadapi “langit-langit kaca” (glass ceiling) yang membatasi karir mereka. Terbukti bahwa di Mahkamah Agung Republik Indonesia hanya terdapat 4 perempuan dari 41 Hakim Agung yang ada (atau hanya merupakan 9,7%); di Mahkamah Konstitusi hanya terdapat 1 perempuan dari 9 Hakim yang ada (atau hanya merupakan 11,1%), di Kementerian Hukum dan HAM di tingkat pejabat eselon 1A hanya terdapat 2 perempuan dari 16 pejabat (atau hanya merupakan 12.5%). Di Kejaksaaan walaupun dari seluruh jaksa terdapat sekitar 41.6% perempuan, namun yang berhasil menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi hanyalah 6.45%, dan yang berhasil menjadi Kepala Kejaksaan Negeri hanyalah 10.9%.
Dapat dibayangkan apabila peraturan yang dicanangkan Jusuf Kalla, akan dituangkan dalam bentuk ketentuan dan peraturan formal, angka-angka di atas pastinya akan menjadi semakin kecil karena perempuan pada akhirnya akan “dipaksa” untuk mengambil “jalur lambat” dalam meniti karir mereka.
Agar bisa mencapai kesetaraan dalam bekerja, Perempuan tidak boleh dihambat baik secara struktural maupun prosedural, baik itu dari segi peraturan maupun kebijakan. Kalaupun diperlukan suatu “trayek ibu” (mommy’s track) maka hal ini harus dilakukan melalui kesepakatan para pihak, dan bukan didasarkan pada peraturan yang bersifat obligatoir/memaksa, khususnya yang mendomestifikasi peran perempuan.
Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dalam mengkaji perlu dibuat atau tidaknya peraturan perundangan tertentu, baik di tingkat Undang-Undang maupun di bawah Undang-Undang, haruslah selalu mengingat bahwa ketentuan dan peraturan bukanlah alat politik dan pencitraan, melainkan sesuatu yang mengikat dan memiliki konsekwensi penting dan serius. Seyogyanya, Pemerintah mendengarkan pemangku kepentingan yang relevan selain juga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia yang harus dilibatkan terkait setiap kebijakan yang menyangkut perempuan
Melli Darsa, S.H., LL.M.Ketua Umum? |
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:
Melli Darsa: 081514514919 / 081310771061
No Comment