[10 Tahun Tsunami] Kisah Bidan Asma: "Menolong Kelahiran Mengobati Duka"
Hari ini, satu dekade lalu, Bidan Asma kehilangan empat dari lima anak-anaknya. Kini dia menyibukkan diri mengurusi pasien diabetes dan pergi ke sekolah mengajari anak-anak soal kesehatan.
“Ini anak saya yang terkecil. Istiqomah. Wajahnya ada nuansa India. Senang berdandan. Kalau naik mobil, duduk di samping saya, dia suka menyetel lagu-lagu India. Wajahnya mirip saya ya.” Bidan Asma menunjuk foto dalam bingkai ukuran besar, sekitar 80 sentimeter persegi, yang dipasang di salah satu dinding rumahnya, di kawasan Blang Oi, Banda Aceh. Ada lima foto berukuran sama di dinding itu. Foto kelima anak-anaknya. Siska Majaz (berusia 20 tahun Desember 2004), Davina Majaz (17 tahun), Ihsan Majaz (14 tahun), Sadiq Majaz (12 tahun) dan Istiqomah Majaz (5,5 tahun). Majaz, adalah singkatan dari nama Asma dan Marjuki, suami Bidan Asma. Marjuki pernah menjadi pimpinan dinas kesehatan kota Banda Aceh.
Hanya Ihsan yang selamat dari bencana tsunami yang menyapu rumah dan klinik Bidan Asma, 10 tahun lalu. Klinik Bersalin Permata Hati milik Bidan Asma terletak di kawasan Meuraksa, Ulee Lheue, kawasan yang parah disapu tsunami setinggi 15 meter, 26 Desember 2004. Saat tragedi itu terjadi, Bidan Asma dan keluarga tinggal di bagian belakang klinik. Bangunannya belum sebesar saat ini. Di tempat itu, setiap bulan Bidan Asma menangani 30-40 kelahiran bayi.
“Setiap bayi yang lahir selamat, membawa kepuasan batin. Saya bahagia. Saya ingat, Teteh, sering membantu memandikan bayi di klinik,” kata Bidan Asma. Suaranya tersendat.
Teteh, adalah panggilan sayang untuk putri tertua Bidan Asma, Siska. Mahasiswi fakultas kedokteran ini rupanya mengikuti jejak ibu dan ayahnya, ingin berkiprah di bidang kesehatan. Menjadi dokter. Takdir Allah SWT tak bisa ditolak. Bencana gempa dan tsunami membawa Siska dan tiga adiknya yang saat itu berada di rumah, pulang ke haribaanNya. Ihsan, satu-satunya anak Bidan Asma yang selamat, sedang sekolah di pesantren, di Jakarta.
Kepergian Siska dan tiga adiknya tidak hanya terasa bagai kehilangah buah hati. “Si Teteh dan anak kedua saya, Davina, sudah seperti teman. Mereka membantu saya mengurus adik-adiknya. Lima anak saya tidak pernah merepotkan. Mereka membuat hati saya sejuk. Bahkan yang paling kecil pun, sudah bisa mencuci kaus kaki dan celana dalam sendiri. Mereka anak-anak baik. Allah SWT memanggil mereka terlalu cepat,” tutur Bidan Asma.
Klinik Permata Hati yang terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda, kini tengah dibangun menjadi lebih besar. Bidan Asma, suami, orang tua dan keluarga tinggal di rumah besar di belakang klinik itu. Ketika saya dan teman dari forum jurnalis perempuan di Aceh berkunjung ke sana, November lalu, rumah itu nampak sepi. Dari ruang tamu yang besar, sayup-sayup terdengar canda anak kecil dari ruang makan. Lama Bidan Asma tak sanggup menatap foto anak-anaknya yang telah pergi. Memasuki tahun ke sepuluh, Agustus lalu, dia menguatkan hati mencetak foto-foto itu, membingkainya, dan memasangnya di dinding rumah.
“Melihat wajah mereka, yang kini tiada, kadang belum percaya.Tapi ayah saya selalu meminta saya membaca doa, ayat Al Qur an yang artinya, akan tiba suatu masa ketika orang tua tidak bisa menolong anaknya. Anak tidak bisa menolong orang tuanya. Suami tidak bisa menolong istrinya,” kata Bidan Asma.
Masa itu pernah datang dalam hidup Bidan Asma. Dia selamat karena saat tsunami terjadi, masih ada di Medan. Sabtu, 25 Desember 2004, hari Natal, Bidan Asma tiba di Medan, sesudah mengantar orang tuanya berobat ke Penang, Malaysia. Suaminya ke Jakarta. Minggu pagi 26 Desember 2004, ia berencana melanjutkan terbang ke Banda Aceh. Pulang. Minggu pagi dia dan tamu hotel merasakan gempa. Sempat berlarian ke luar. Tapi tidak dapat informasi apapun soal tsunami.
Bidan Asma ke bandara, lalu terbang dengan pesawat Garuda Indonesia. Pesawat sudah terbang satu jam, tapi tak kunjung mendarat. Pilot mengumumkan harus kembali ke Medan, karena sesuatu hal. Di pesawat penumpang bisik-bisik soal berita ada tsunami di Banda Aceh. “Saya berpikir, rumah saya kan dekat daerah pantai, apa kena juga?”
Komunikasi terputus. Bidan Asma gagal menghubungi anak-anaknya. Terakhir kali berhubungan dengan anak tertuanya, Sabtu saat tiba di Medan. “Saya bilang ke Teteh, tolong jemput di bandara, bawa mobil yang besar. Soalnya Umi bawa banyak barang belanjaan. Oleh-oleh,” tutur Bidan Asma. Putrinya menjawab,”Siap Bos.” Itu panggilan sayang dan akrab dari anak-anak untuk ibunya. Bidan Asma sudah membayangkan berbaju kembar dengan putrinya. “Kami janjian. Makanya saya beli baju, bahkan baju dalam kembar. Sesuai pesan Teteh dan Davina,” kata
dia.
Jadi, ketika akhirnya mendarat di banda Aceh, Senin sore, 27 Desember, dia heran karena yang menjemput adalah kakak kandungnya. “Saya sempat tidak mau naik mobil abang saya. Kan sudah janjian sama Teteh mau dijemput pakai mobil X-Trail. Kog mereka tidak datang?”. Bidan Asma ingat dia menjerit, nyaris pingsan saat diberitahu, keempat anaknya belum ditemukan. Klinik dan rumahnya tersapu tsunami. Butuh enam bulan untuk membersihkan lunpur setinggi dua meter yang mengurung klinik dan rumahnya.
Berdoa, mengikuti pelatihan dari lembaga swadaya masyarakat asing dan arisan dengan tetangga yang senasib, menjadi agenda harian Bidan Asma setelah pemulihan. Juni 2005, dia kembali membuka kliniknya. Mengobati pasien, membantu kelahiran. Menyembuhkan duka kehilangan anak-anak tercinta. Ihsan, putranya, kini belajar perhotelan di Swis.
“Yang menguatkan saya adalah keyakinan bahwa Allah SWT punya rencana terbaik untuk kami. Saya mengakui, seringkali saya merasa belum percaya. Belum menerima kehilangan. Saya minta maaf kepada Allah. Saya berkomunikasi dengan Allah melalui doa-doa. Bimbingan orang tua dan tengku,” katanya
Kini, Klinik Permata Hati berkembang. Selain sebagai rumah sakit bersalin, Bidan Asma membuka layanan untuk pasien diabetes. “Makin banyak pasien diabetes yang meninggal dunia. Jadi saya terpanggil membuka klinik, juga memberikan penyuluhan hidup sehat.” Dia bekerja sama dengan dokter yang ahli. Empat tahun lalu, dia juga memulai layanan unit kesehatan sekolah di lingkungan sekolah dasar di kota Banda Aceh.
“Pasca tsunami, banyak anak-anak yang kondisi kesehatannya memprihatinkan. Jadi, saya mencoba kontak ke kenalan di Korea Selatan, untuk membuka layanan UKS,” kata Bidan Asma. Kerjasama layanan UKS berjalan lancar, dimulai tiga tahun lalu. Setahun pertama Bidan Asma dan tim melayani 10 SD, mengajari anak-anak cara hidup sehat. Rajin mandi, cuci tangan dan gosok gigi. Memberi asupan vitamin. Obat cacing. Yang menjadi sasaran layanan murid kelas 1 sampai kelas 3 SD. Tahun kedua bertambah 10 sekolah. Kini ada 30 sekolah yang menjadi mitra layanan. Pihak Korea Selatan merasa kerjasama perlu dilanjutkan sampai tiga tahun ke depan. Wilayah layanan mencakup Aceh Besar.
Kini, 10 tahun pasca tsunami. Aceh telah berubah. Banyak perbaikan infrastruktur. Bagus. “Tapi ada warga yang masih terpuruk. Ini perlu perhatian khusus,” ujar Bidan Asma. Bicara kegiatan sehari-hari dia nampak semangat. Ribuan bayi sudah lahir atas bantuannya, sejak ia menjadi bidan tahun 1984. Banyak yang diberi nama seperti namanya,
Asma. “Tujuh tahun lalu saya membantu kelahiran bayi kembar tiga. Ayahnya korban tsunami. Mereka menamai bayi yang tertua, dengan nama saya. Anak-anak itu kini sudah besar. Semoga terus sehat,” kata Bidan Asma sambil tersenyum. ###
No Comment