ILUNI Fak Hukum UI: Evaluasi 100 Hari Pertama Pemerintahan Jokowi-JK
Siaran Pers
EVALUASI 100 HARI PERTAMA PEMERINTAHAN JOKOWI-JK DI BIDANG HUKUM
Jabatan Hukum Digadaikan – Pemberantasan Mafia Hukum dan KKN Belum Diprioritaskan
25 Januari 2015
Tanggal 20 Januari 2015 merupakan tepat 100 hari pertama pemerintahan Jokowi-JK. Tidak seperti pemerintahan SBY-Boediono yang telah menetapkan Program Kerja 100 hari pertama, Jokowi-JK memang tidak menetapkan program khusus. Jokowi-JK hanya telah menyampaikan 5 program hukum yang disebut “Agenda Keadilan”, yakni:
- Pemberantasan Korupsi,
- Penegakan dan Perlindungan HAM,
- Penegakan Hukum Lingkungan dan Reformasi Agraria,
- Reformasi Lembaga Penegak Hukum, dan
- Reformasi Legislasi.
Adapun 2 prioritas kerja utama yang dikedepankan oleh Jokowi pada 5 Juni 2014 adalah penerbitan Perpres tentang Percepatan Ijin Usaha, dan Perpres Antikorupsi.
Menurut Melli Darsa, Ketua Umum ILUNI FHUI, dalam 100 hari pertama pemerintahannya “Presiden Joko Widodo nampak telah menggadaikan jabatan-jabatan strategis di bidang hukum dalam rangka transaksi politik dan balas budi, sedangkan pemberantasan mafia hukum serta korupsi, kolusi dan nepotisme sama sekali belum diprioritaskan.” Dalam 100 hari pertamanya, Pemerintahan Jokowi-JK dianggap telah menggadaikan agenda hukum semata-mata demi kepentingan politik, dan sama sekali belum memprioritaskan pemberantasan korupsi dan mafia hukum sebagaimana yang telah dijanjikannya. Belum ada suatu program pembangunan hukum nasional yang jelas serta nyata -apalagi implementasinya – yang mengutamakan kepentingan keadilan rakyat, pembenahan penegakan hukum dan reformasi institusi Kepolisian dan Kejaksaan, serta pemberantasan korupsi.
Melli Darsa menyatakan: “Ada sekurangnya dua indikator utama yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja Pemerintahan Jokowi-JK di bidang hukum. Pertama adalah program kebijakan hukum nasional yang disusun. Ke dua, pelaksanaan hak prerogatif presiden terkait penunjukan/pencalonan calon-calon pejabat negara cabang eksekutif di bidang hukum[1], termasuk efektivitas Lembaga Kepresidenan dalam memonitor kinerja pejabat yang telah ditunjuk.”
Melli Darsa menyatakan,”Begitu banyak pekerjaan rumah Jokowi dalam pembangunan hukum nasional yang “diwariskan” Pemerintahan SBY, tapi Pemerintahan Jokowi-JK tidak punya Grand Design atau Blue Print tentang Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Belum lagi terkait KUHP-KUHAP yang sudah sangat usang dan telah menggantung puluhan tahun nasib pembahasannya. Faktanya, Perpres Antikorupsi yang dijanjikan Jokowi pun belum ditindaklanjuti, apalagi direalisasikan.”
Terkait penggunaan hak prerogatif Presiden untuk mengangkat Menkopolhukam, Menteri Hukum & HAM, Jaksa Agung, dan dalam mencalonkan Budi Gunawan sebagai Kapolri, Melli Darsa berpendapat: ”Tidak satu pun dari empat pihak tersebut memiliki kompetensi dan kontribusi memadai dilihat dari “track record”nya dan potensi mereka sebagai “motor” reformasi kelembagaan dan peraturan hukum.” Masih banyak orang lain yang lebih layak (fit) dan pantas (proper) untuk diangkat. Semua penunjukan kental ditentukan oleh elit parpol. Dalam hal Budi Gunawan, yang bersangkutan sudah jelas punya rapor merah namun tetap dipaksakan sebagai calon tunggal Kapolri. Tidak heran apabila semua itu menuai penolakan yang kuat dari publik serta KPK dan PPATK.“ Proses yang berlangsung[2] semakin memberi kesan bahwa pemilihan pejabat-pejabat hukum merupakan “imbalan” atas dukungan politik yang diterima Jokowi saat pencalonannya sebagai Presiden.
Melli Darsa juga mengungkapkan “Presiden Jokowi sama sekali tidak konsisten dengan janji-janjinya karena pada saat memilih Jaksa Agung dan Kapolri, ia bertindak seolah-olah partisipasi dan masukan KPK dan PPATK tidak relevan yang menimbulkan kecurigaan bahwa proses pencalonan memang sarat KKN dan politik balas budi.”
Menurut, Sekretaris Umum ILUNI FHUI, Mohamad Kadri “Rakyat hanya dibuat bingung pada saat calon Kapolri yang telah dinyatakan “Tersangka” oleh KPK, tetap juga dilakukan Fit & Proper Test oleh Komisi III DPR RI. Dalam proses tersebut, tidak pernah ada pembahasan soal bagaimana proses penegakan hukum antikorupsi dan keadilan bagi masyarakat jika Calon Kapolri setelah dilantik berstatus sebagai Tersangka.” Jokowi masih terkesan belum mampu mensiasati distraksi politik dari parlemen yang berisi kubu KMP dan KIH yang kepentingannya, sejauh ini, justru bertentangan dengan kehendak rakyat.
Indikator tambahan adalah gaya kepemimpinan Presiden sebagai Pimpinan suatu “Negara Hukum” dan sebagai atasan langsung lembaga kejaksaan dan kepolisian, kementerian Hukum dan HAM. Dikaitkan dengan gaya kepemimpinan Presiden Jokowi sebagai Eksekutif Utama Negara Hukum RI, Presiden Jokowi dianggap terus menunjukkan apati, ketidaksukaan atau ketidaktahuannya pada Hukum (apathy, dislike and ignorance for the law) yang sudah nampak sejak saat menjadi Capres. Wakil Ketua ILUNI FHUI, Julius Ibrani mengatakan “Setelah menjadi Presiden pun, ternyata sikap dan pandangannya menggarisbawahi beliau kurang peduli pada “due process of law”, misalnya melalui statement agar kapal illegal ditenggelamkan tanpa suatu proses hukum. Demikian juga saat hadir dalam pertemuan G-20, tidak pernah sekalipun ia berbicara akan memperjuangkan peningkatan kepastian hukum dalam berusaha yang dapat diartikan ia kurang memahami eratnya keterkaitan sukses ekonomi suatu negara dengan adanya suatu sistem hukum/keadilan yang berfungsi baik, berintegritas dan dapat diandalkan. Ia hanya peduli tentang proses perijinan yang cepat. “Harusnya kalau memang tidak menguasai hukum, maka dibantu oleh pihak-pihak yang benar-benar bisa menjalankan tugas-tugas yang ada di bidang hukum,” tegas Julius.
Wakil Ketua, Julius Ibrani, beranggapan Menteri Hukum dan HAM nampak lebih memfokuskan diri pada masalah politik atau terkait partai politik bukannya menyusun program legislasi nasional yang sampai saat ini belum selesai, begitu juga dengan Jaksa Agung dengan PR utama reformasi internal kejaksaan. “Jaksa Agung yang telah ditunjuk nampak hanya menjadi bumper untuk meng-katrol popularitas Jokowi lewat eksekusi hukuman mati agar terlihat tegas dengan kedaulatan hukum, di lain sisi, sibuk menyalahkan Putusan Mahkamah Konstitusi soal Peninjauan Kembali. “
Selama kegaduhan akibat penangkapan Bambang Widjojanto oleh Bareskrim, tidak nampak nyata kontribusi/masukan Menkopolhukam, Menkumham atau Jaksa Agung kepada Presiden. Yang terdengar hanyalah hingar bingar beberapa komentar tidak kondusif dari Menkopolhukam yang nampak antipati pada pendukung KPK, dan bolak baliknya Menkumham ke kediaman Megawati pada saat yang bersamaan. Apapun yang sesungguhnya terjadi di belakang layar, yang tampak dipermukaan merongrong wibawa dan kredibilitas Presiden sebagai pemimpin Negara Hukum yang baik. “Kesemuanya ini membuktikan betapa pentingnya Presiden dibantu oleh Menteri dan pejabat negara teknis yang tepat untuk bidang-bidang pemerintahan yang ada, khususnya di bidang hukum”, tegas Melli Darsa.
ILUNI FHUI menyayangkan blunder-nya Jokowi mengajukan Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri, yang telah menciptakan kondisi pengulangan sejarah “cicak vs. buaya”. Selain itu, semua yang terjadi sekedar menunda permasalahan sejauh mana Budi Gunawan, pada akhirnya akan tetap menjadi Kapolri, padahal semua itu sudah mendapatkan tentangan luas dari masyarakat. Menurut Melli Darsa, “Semua yang terjadi beberapa hari terakhir harusnya dapat dihindari oleh Presiden Jokowi dengan segala kekuasaan yang ada padanya, dan Presiden Jokowi harus memahami bahwa ia telah melukai rakyat yang memilihnya karena nampak beliau lebih mengutamakan loyalitasnya pada partai dari pada kepada rakyat yang telah menaruh harapan besar padanya dan memilihnya,” tegas Melli Darsa.
Menyikapi “penyergapan” oleh 30an personil Bareskrim Polri dengan senjata laras panjang, terhadap Bambang Widjojanto, Wakil Ketua KPK, banyak yang sangat aneh terjadi. Pertama, belum ada pemanggilan terhadap Bambang Widjojanto, juga surat-surat formilnya. Lalu keterangan pers yang berbeda-beda antara Plt. Kapolri Badrodin Haiti, dengan Ronnie Sompie dan Budi Waseso, yang menperlihatkan tidak adanya koordinasi di internal Polri, padahal melibatkan pejabat tinggi KPK. Selain diduga kuat adanya pelanggaran prosedur penangkapan, juga sarat dengan pelanggaran HAM akibat “Arbitrary Arrest” terhadap Bambang Widjojanto. Padahal Indonesia sudah memiliki UU No. 39 Tahun 1999, Kovenan Hak Sipil dan Politik dan disahkan lewat UU No. 12 Tahun 2005. Di Interna Polri pun sudah ada PerKap No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi HAM yang melarang penangkapan sewenang-wenang. Belum lagi menyoal Perlindungan Profesi Advokat, dan Kualifikasi delik yang dituduhkan. Yang lebih miris lagi, Presiden Jokowi justru tidak mengambil sikap tegas, misalnya dengan menghentikan pencalonan Budi Gunawan, memerintahkan SP3 atas pemeriksaan Bambang Widjojanto yang sarat dengan pelanggaran prosedur formil.
Dalam nada yang sama, menurut Mohamad Kadri, “Ini bertentangan dengan Nawa Cita Jokowi-JK yang menegaskan akan memilih Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih, kompeten, antikorupsi, dan komit pada penegakan hukum.”
Oleh sebab itu, ILUNI FHUI melalui Ketua Umumnya, Melli Darsa, meminta agar Presiden Jokowi:
- tidak melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh penggantian Pejabat Negara di bidang hukum yang telah ditunjuk atau telah dicalonkan, dengan pihak-pihak lain yang lebih bersih, profesional, kompeten, dan anti-korupsi;
- segera melepaskan diri dari belenggu politik yang mendistorsi hak-haknya dalam mengangkat Pejabat Negara di bidang hukum yang berorientasi pada pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme dan mafia peradilan ke depannya;
- mau mendengar lebih banyak masukan dari para ahli hukum yang memang punya kompetensi yang tinggi serta dipastikan hanya berpihak pada keadilan dan kepastian hukum serta pemberantasan korupsi dan mafia hukum, agar dengan demikian Presiden dapat secara efektif menjalankan fungsinya sebagai Ekskutif Utama Negara Hukum Republik Indonesia;
- menyusun Program Pembangunan Hukum Nasional, dan Legislasi Nasional yang memasukkan agenda sistem penegakan hukum dan HAM melalui KUHP-KUHAP dan pemberantasan korupsi;
- membuka ruang partisipasi publik secara luas serta melibatkan KPK dan PPATK sebagai lembaga yang dipercaya rakyat dalam pengambilan kebijakan-kebijakannya untuk menghindari potensi pelanggaran hukum dan korupsi.
Demikian disampaikan oleh ILUNI FHUI di Jakarta pada Konferensi Pers tanggal 25 Januari 2015.
[1] Pejabat negara bidang hukum cabang eksekutif termasuk Menko Polhukam, Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepala POLRI, Ketua Badan Pertanahan Nasional dan Ketua Badan Pembinaan Hukum Nasional. Selain itu, Presiden punya hak mencalonkan pejabat negara cabang legislatif seperti Hakim Konstitusi, Hakim Agung dan pimpinan lembaga-lembaga “independen” seperti KPK dan Komisi Yudisial.
[2] Dianggap dalam proses tersebut, partisipasi/masukan dari KPK dan PPATK adalah minim
No Comment