Jusman SD : Mobnas, Tinggal Copy, Mengapa Sukar Terwujud?
Apakah MoU studi kelayakan antara PT Adiprakasa Citra Lestari dan Proton Malaysia yang diteken di Kuala Lumpur, disaksikan Presiden Jokowi dan PM Najib itu mobnas atau bukan, masih jadi perdebatan. Setidaknya peristiwa ini memicu kembali wacana soal perlukah Indonesia membangun industri mobil nasional. Sebagaimana saya sampaikan dalam tulisan blog sebelum ini, saya meminta komentar Pak Jusman Syafii Djamal. Meskipun bukan ahli otomotif, Pak Jusman pernah ditugasi sebagai lead designer proyek mobnas pertama di Indonesia, yang diberi nama “Maleo”. Di bawah ini lanjutan informasi dari Pak Jusman yang berbaik hati membaginya untuk saya dan teman Facebook-nya.
Atas permintaan Mba Uni Lubis saya akan men-share apa yang saya ketahui tentang Mobil Nasional, industri Otomotif untuk di-share dalam (wall) Facebook ini.
Dalam menulis ini ingin saya buat disclaimer sebelumnya. Pertama, saya bukan ahli otomotif, saya tidak pernah bekerja di industri Otomotif . Saya berpengalaman kerja di industri pesawat terbang selama 20 tahun. Bidang keahlian saya Aerodinamika dan perancangan pesawat terbang.
Kedua, Saya pernah punya pengalaman belajar merancang bangun mobil. Tapi mobilnya tidak pernah ada di pasar dan bersaing. Jadi, belum pernah lahir industri mobil dari mobil yang saya ikut belajar membuatnya. Jadi yang saya punyai pengalaman kegagalan bukan keberhasilan.
Ketiga, karena pengalaman itu saya merasa bahwa ternyata merancang sebuah tipe mobil itu tak mungkin dapat dilaksanakan dalam enam bulan. Ada banyak tahapan yang harus dilalui. Ada teardown, yakni upaya mempreteli mobil sejenis yang dipandang bisa menjadi pesaingnya, bukan dengan maksud menyontek seperti anggapan orang, melainkan untuk menelusuri mana komponen yang standard dan mana komponen yang memiliki patent.
Yang standard artinya tidak perlu dibuat sendiri dapat dibeli di pabriknya. Apa komponen yang standar, misalnya roda atau velg, steer. Tapi pintu dashboard , engine belum tentu standar dan harus dibuat gambar teknis, spesifikasi teknisnya tersendiri. Kemudian kita memilih vendor agar dapat membangun yang sesuai dengan keinginan designer-nya. Sebab setiap jenis mobil memliki pasar dan customer-nya sendiri sendiri.
Karenanya kalau kita melihat industri mobil melakukan proses teardown, mempreteli ribuan komponen sehingga berceceran menjadi mata rantai suku cadang sebuah mobil, itu bukan untuk menyontek atau melakukan reverse engineering. Upaya itu dilakukan untuk menemukan strategi “design to Cost”. Melihat mana yang bisa dibeli secara massal’ mana yang harus dipesan secara terpisah. Sekaligus untuk menetukan tier satu atau tier dua dalam mata rantai pasokan.
Kegiatan teardown ini pada umumnya dilaksanakan berbarengan dengan kegiatan menggambar sketsa mobil oleh seorang artist stylish yang bekerja sama dengan ahli aerodinamika dan ahli lofting, pembuat gambar permukaan kulit luar mobil untuk mendapatkan mathematical equation dari kulit luar sebuah mobil. Jika ini sudah ada baru dapat dilaksanakan apa yang disebut pembuatan “Clay Model”, membuat mobil dari tanah liat dengan ukurang satu banding satu. Di sini seorang ahli patung dari Bali dengan cepat dan indah dapat melakukannya.
Dengan pengalaman yang saya cuplik diatas, sebagai seorang insinyur saya sering kagum ketika melihat banyak ahli berdebat tentang membuat mobil nasional dan mendirikan industri otomotif mobil nasional itu, seolah dengan mudah dapat dilahirkan dalam waktu satu malam. Mirip seperti kisah Badung Bondowoso membangun candi untuk meminang Roro Jongrang.
Semua mudah dan hampir berhasil, hanya sayang ada ayam berkokok di pagi hari yang membatalkan semua rencana. Kisah Bandung Bondowoso itu bukan sekedar legenda, sebab kelihatannya banyak diantara kita kalau memandang produk teknologi mirip seperti memiliki kesaktian Bandung Bondowoso. Maunya hari ini berniat’ esok hari lahir pesawat terbang canggih generasi kelima, atau mobil terbaik di dunia dan lain sebagainya Seolah merancang , merekayasa dan memproduksi mobil mirip seperti memasukkan gambar di mesin fotokopi. Pencet, keluar tiruannya.
Ada pendapat yang saya amati kurang pas dalam membahas industri mobil. Pertama, seolah aktivitas membuat satu mobil dapat dilaksanakan tanpa gambar teknis dan tanpa insinyur mesin , seniman, dukun teardown, ahli composite, ahli stamping dan lain sebagainya. Seolah mudah saja, dapat dilakukan oleh satu orang dengan bengkel sederhana. Menurut saya itu bukan aktivitas merancang mobil melainkan aktivitas bongkar pasang komponen.
Kedua, seolah membuat mobil tidak perlu ada aktivitas uji fungsi. Misal aktivitas uji tumbukan untuk mengetahui kekuatan struktur mobil dan lain sebagainya.
Ketiga, membuat satu mobil, tidak identik dengan membangun industri mobil. Membangun pabrik tak sama dengan membangun industri. Dalam industri ada mata rantai pasokan dan mata rantai nilai tambah. Membuat ratusan mobil tidak sama dengan membuat ribuan atau jutaan mobil.
Karenanya jika kita memandang membuat mobil nasional seolah mudah dan gampang dan kelihatannya bisa mengikuti paradigma “flying geese” nya industri. Jepang mengikuti jejak A Serikatmerika, Korea Selatan ikuti jejak Jepang dan China ikuti jejak Jepang atau Korsel. Malaysia meniru dari Jepang. Bersikap rasanya blue print mobil nasional sudah lahir esok hari.
Mungkin saya keliru tapi disitulah yang saya takutkan terjadi disini. Kita seolah menyepelekan kekuatan industri otomotif. Kita menganggap enteng mata rantai proses menciptakan design mobil sendiri, merancang bangun dan memproduksi mobil. Malaysia memerlukan waktu hampir 20 tahun membangun kekuatan industri otomotip Proton-nya sejak tahun 1995. Secara konsisten pemerintah Malaysia mengawal Proton dengan sepenuh hati, dari era Mahathir hingga Tun Najib Razak sebagai Perdana Menteri. Konsisten, bertahap, berjenjang dan berkelanjutan.
Tapi itu bukan maksud saya untuk menulis catatan ini. Tulisan ini saya buat karena teman saya Mba Uni Z Lubis seolah minta saya membuat cerita tentang otomotipfmeski dia tau saya bukan ahlinya.
Pertama :
Mobil itu pada umumnya terdiri atas 20,000 hingga 30,000 parts. Tidak ada sebuah negara atau sebuah industri otomotif membuat 20,000 parts itu sendirian. Pasti ada mata rantai pemasok atau Supply Chain. Karenanya jika nanti ada sebuah mobil BMW yang dibuat di Jerman pintunya datang dari pabrik A dinegara A, engine nya datang dari pabrik B di negara B, itu bukan berarti BMW enggak becus atau tidak mampu. Mobil adalah produk industri padat kapital dan padat teknologi. Diperlukan Value Chain, mata rantai nilai tambah secara berjenjang dan bertahap. Tiap industri membangun mata rantai itu. Muncul istilah mata rantai pasokan Tier 1 atau Level 1, dan Tier 2 atau Level 2 dan seterunya. Di bawah ini saya sajikan diagram (Reference : The Motor Industry of Japan 2013, Japan Automobile Manufacturers Association) yang menggambarkan apa yang saya maksudkan.,
Kedua :
Dalam gambar dibawah ini saya perlihatkan diagram alir tentang jenis industri raw material yang berkaitan dengan mata rantai pasokan.
Ketiga :
Pada masa kini industri otomotif sudah berkembang jauh. Ada industri otomotif yang memproduksi mobil dengan jumlah terbatas, misalnya Roll Royce, Lexus, BMW, Porsche, Meredeze Benz. Mereka adalah mobil kelas atas yang dibuat dengan seni dan keahlian. Disebut Craft Production. Taylor Made Industry ini juga disebut Value Based Approach. Ada industri mobil yang berorientasi “economic of scale”, Volume Based Approach. Industri ini terbagi dua, kesatu yang berbasis pada tatacara produksi model “Fordist Mass Production” disebut penganut mazhab Fordism, meniru apa yang dilakukan oleh Henry Ford dan General Motor di kota Detroit. Yang satu lagi disebut penganut mazhab Toyotism, meniru tatacara produksi mobil ala Toyota, Jepang. Perbedaan ketiga approach ini dapat dibaca dari gambar dibawah ini :
Keempat :
Semua industri mobil raksasa sudah membangun mata rantai Global Value Chain yang menggurita. Mereka bersaing sekaligus saling bekerjasama. Di bawah ini ada tiga gambar ((Reference : The Motor Industry of Japan 2013, Japan Automobile Manufacturers Association) yang menceritakan bagaimana Jepang bekerja sama dengan Amerika, Jepang dengan Eropa dan Jepang dengan China.
Peta kekuatan industri mobil seperti diatas ini yang menyebabkan saya heran mengapa untuk membuat Mobnas kita harus bekerjasama dengan Malaysia. Lemah bersatu dan beraliansi dengan lemah apa bisa kuat ? Padahal kita tahu Malaysia sebetulnya bekerjasama dengan Jepang. Mengapa kita tak langsung bekerjasama dengan yang kuat Jepang, Eropa atau Amerika ?? Apa Mungkin saya keliru, dan zaman berubah ? Mungkin ada perspektif berbeda.
Memang tidak mudah menulis tentang industri mobil. Akan tetapi saya berharap empat gambaran diatas Mudah mudahan ini dapat memberikan perspektif. Akhir kata seperti restoran Padang, jika teman teman fb ingin di-share lebih banyak, nanti dilanjutkan tapi jika bosan dan kurang pas sampai disini. Mohon dimaafkan. Salam.
No Comment