Laga Anti Korupsi Ahok vs DPRD (Bagian 3)

Proses hak angket dan pelaporan ke KPK bisa menjadi momentum membersihkan pengelolaan ibukota dari praktik KKN.
Pada awalnya semua baik-baik saja. APBD Perubahan DKI 2014 disahkan rapat paripurna DPRD DKI pada 13 Agustus 2014 oleh anggota DPRD periode 2009-2014. Anggota DPRD yang kini berseteru dengan Gubernur Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dilantik pada 25 Agustus 2014, sesudah pengesahan APBD-P 2014.
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, 70 persen dari anggota DPRD periode sebelumnya gagal mempertahankan kursinya di DPRD periode 2014-2019.
Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD DKI Jakarta saat itu, Matnoor Tindoan, mengatakan bahwa APBD-P 2014 didominasi oleh Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) pada tujuh BUMD DKI sebesar Rp 9,308 triliun. Tidak ada informasi yang menunjukkan bahwa APBD-P 2014 juga mengalokasikan duit membeli 49 UPS seharga Rp 330 miliar.
M. Taufik, Ketua Fraksi Partai Gerindra yang juga Wakil Ketua DPRD DKI, baru menjabat di periode 2014-2019. Dia yang paling vokal berseteru dengan Ahok dan menjadi yang pertama meneken hak angket untuk menyelidiki Gubernur. Ini kisahnya.
Taufik pernah tersangkut kasus hukum. Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada tahun 2006, memvonis penjara Taufik, mantan Ketua KPU DKI Jakarta, satu tahun enam bulan karena terbukti korupsi. Taufik terbukti merugikan negara sebesar Rp 488 juta saat pengadaan barang dan alat peraga Pemilihan Umum 2004. Ini informasinya.
Dari informasi di tautan ini, kita bisa melihat proses pengesahan APBD-P 2014 berjalan lumayan lancar.
Di situ Ketua Badan Anggaran Matnoor, mengatakan APBD-P 2014 meningkat dari nilai Raperda APBD-P DKI 2014 sebesar Rp 72,9 triliun. Peningkatannya sebesar Rp 905,36 miliar atau 1,26 persen dari nilai APBD DKI 2014 senilai Rp 72 triliun. Sedangkan rendahnya penyerapan anggaran hingga pertengahan semester 2014 perlu menjadi perhatian khusus Pemprov DKI.
Matnoor Tindoan, yang saat itu menjabat Ketua Fraksi PPP, berharap Pemprov DKI dapat menggenjot kinerja Unit Layanan Pengadaan (ULP) barang dan jasa DKI, serta membantu mengakomodir penyerapan anggaran.
“Permintaan tambahan anggaran KJP perlu dievaluasi kembali, mengingat temuan BPK pada APBD 2013 dimana KJP merupakan salah satu item yang perlu mendapat perhatian utama dan perbaikkan,” ungkapnya. KJP adalah Kartu Jakarta Pintar.
Gubernur DKI Jakarta saat itu, Joko “Jokowi” Widodo, berterimakasih kepada DPRD DKI yang telah mengesahkan APBD-P 2014. Jokowi berharap, program-program unggulan Pemprov DKI dapat segera terlaksana.
“Terima kasih dan apresiasi atas ketelitian substansi materi APBD 2014 dan persetujuan dewan. Semoga Pemprov DKI bisa menyelesikan program unggulan,” kata Jokowi.
Mantan Walikota Solo itu juga mengapresiasi saran dari DPRD, sehingga menjadi bahan masukan yang berharga, agar APBD-P DKI dapat terserap secara maksimal.
“Dewan juga akan melakukan pengawasan terus menerus terkait penyerapan anggaran. Saran dari dewan akan menjadi masukan bagi eksekutif,” kata Jokowi.
Aman dan damai, bukan?
Bahkan Jokowi mengapresiasi ketelitian substansi materi. Bagaimana mungkin ada “penyelundupan” anggaran beli UPS Rp 330 miliar baru diungkap saat ini? Di situ saya masih merasa gagal paham.
Pihak yang berpikir dengan kepala dingin memandang kisruh DPRD vs Gubernur akibat problem komunikasi. Salah satunya adalah Presiden Jokowi. Dia, yang dilapori Ahok soal kisruh ini menganggap ketegangan antara Gubernur dan DPRD tidak perlu terjadi seandainya ada kesamaan pemahaman tentang prioritas anggaran.
”Bagaimana mungkin ada penyelundupan anggaran beli UPS Rp 330 miliar baru diungkap saat ini? Di situ saya masih merasa gagal paham.”
Komunikasi yang baik menurut saya bisa dilakukan tanpa mengenyampingkan upaya memberantas potensi kerugian negara akibat tindak pidana korupsi, antara lain dari penggelembungan anggaran atau mark-up, termasuk mengalokasikan anggaran untuk program yang tidak perlu.
Bagaimanapun, hak dan kewajiban menyusun anggaran ada pada dua pihak, eksekutif dan legislatif. Mereka harus mau dan mampu duduk bersama membahas perbedaan yang ada dan mengacu kepada UU dan peraturan yang ada.
Komunikasi yang bermasalah, misalnya, membuat keterlambatan pembayaran gaji dan tunjangan Pegawai Negeri Sipil DKI Jakarta termasuk honorer. Padahal, menurut UU, jika RAPBD belum disepakati sesuai jadwal, kepala daerah dapat membelanjakan anggaran rutin yang jumlahnya sesuai dengan APBD sebelumnya. Itu diatur dalam Permendagri No 13/2006. Aturan ini memungkinkan pemerintah daerah tetap bisa menjalankan fungsinya karena tetap digaji, begitu pula dengan kelangsungan pelayanan publik termasuk pendidikan.
Lebih rumit
Gubernur Ahok saat ikuti rapat paripurna dengan DPRD DKI Jakarta. Foto oleh @basukibtp/Instagram
Sekarang, masalahnya sudah menjadi lebih rumit. Ahok sudah melaporkan DPRD ke KPK. Kita dukung, sebagai momentum bebersih di lingkungan politik ibukota. DPRD menjalankan hak angket, menyelidiki bagaimana persisnya APBD 2015 yang dikirim ke Kemendagri, apakah benar mengandung bujet “siluman” Rp 12,1 triliun sebagaimana disampaikan Ahok?
Sebagai warga yang memiliki aset properti di Jakarta, saya berkepentingan untuk tahu secara tuntas.
Di ranah media sosial, nuansanya sudah seperti saat kampanye pilpres. Pihak yang meminta Ahok lebih transparan dan mengkritisi dianggap anti-korupsi, anti-Cina, diskriminatif. Ya, Ahok dianggap sebagai salah satu tokoh yang diunggulkan untuk Pilpres 2019. Karena itu, simpati dan fanatisme untuk menjaga dan membela Ahok jelas nuansanya di kalangan masyarakat media sosial.
Padahal, bicara anti-korupsi semua harus diuji. Sejarah menunjukkan sosok yang digadang-gadang dan berkampanye anti-korupsi ternyata melemahkan lembaga anti-korupsi dan iklim pemberantasan korupsi. Dari dulu.
Kawan saya, Elisa Sutanudjaja, yang mencoba mengulik lebih dalam, mencari duduk perkara soal anggaran yang jadi silang sengketa, merasakan nuansa itu. Sama dengan Ahok, Elisa adalah warga negara Indonesia keturunan juga.
Sejarawan J.J. Rizal yang mengkritisi Ahok sampai harus menjelaskan bahwa dia, di komunitas Bambu, menerbitkan sejumlah buku terkait Cina. Di linimasa akun Twitter-nya @JJRizal menulis, “ngeritik ahok = anti-Cina, anti-Kristen, anti-pluralisme, terima bayaran DPRD… kerennn #SaveAhok ini”.
Apakah hak angket akan berujung pemakzulan Ahok dari kursi gubernur? Menurut saya tidak.
Selain prosesnya cukup panjang, Ahok sebenarnya masih didukung oleh sebagian pemimpin parpol utama termasuk Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Jokowi tentu tidak akan membiarkan Ahok dimakzulkan. Sebagai presiden, Jokowi punya kartu dan posisi untuk bernegosiasi soal ini dengan parpol yang ada. Jadi, Ahok tidak sendiri.
Kedua proses yang dilakukan pihak kepala eksekutif dan legislatif secara simultan, menurut saya, selain baik sebagai upaya bebersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, juga baik untuk pembelajaran bagaimana menjalankan fungsi masing-masing sebagaimana diatur dalam UU.
Sebab, seperti lirik lagu Iwan Fals, “Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan”. Bongkar!
No Comment