Jangan Pilih Pemimpin Yang Diskriminatif
Belajar dari Insiden Tolikara, masyarakat perlu konsisten menolak perda diskriminatif. Suatu saat yang mayoritas bisa ada dalam posisi minoritas, dan berpotensi jadi korban
Bentuk diskriminasi dalam politik bisa bermacam-macam. Ada yang menghambat berdirinya rumah ibadah dari agama tertentu. Tujuannya untuk menghambat ekspansi berkembangnya umat agama tersebut. Ada yang mempersulit berlangsungnya kegiatan ibadah agama tertentu dengan menetapkan syarat-syarat secara sepihak. Ada yang mewajibkan calon kepala daerah untuk mempertunjukkan kefasihannya membaca kitab suci agama di depan publik, yang berarti menghambat calon dari agama lain yang bukan dianut oleh mayoritas penduduk di daerah itu.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada 2013 mengumumkan ada 342 kebijakan diskriminatif, meningkat dari 282 pada 2912 dan 207 2011. Kebijakan diskriminatif ini dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang mengatur perempuan atas nama agama dan moralitas. Bentuknya mulai dari mengatur cara berpakaian disesuaikan dengan ajaran agama penduduk mayoritas, pemisahan perempuan dan laki-laki di ruang publik, sampai pembatasan jam keluar rumah di malam hari. Catatan Komnas Perempuan menunjukkan perda diskriminatif banyak dikeluarkan di Jawa Barat, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Nangroe Aceh Darussalam, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan dan Jawa Timur.
Kendati menuai kritik, perda diskriminatif terhadap perempuan dengan alasan agama dan moral ini celakanya makin banyak jumlahnya. Tahun 2014 Komnas Perempuan mencatat ada 365 perda yang diskriminatif. Maret tahun ini, Komnas Perempuan meminta Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk menghapus perda yang cenderung diskriminatif itu. Jokowi saat itu meminta Komnas Perempuan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri.
Soal perda diskriminatif kembali menyedot perhatian publik setelah pecah Insiden Tolikara, pada hari pertama Idul Fitri 1436 H, 17 Juli 2015. Dari sana terungkap pengakuan Bupati Tolikara, Usman Wanimbo, membenarkan adanya perda yang mengatur terkait pelarangan aliran gereja lain di Tolikara. Dikatakan, hanya Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang berhak mendirikan gereja.
“Memang ada perda yang menyatakan bahwa di sini kebetulan terbentuknya GIDI itu di sini. Sehingga, gereja ini sudah gereja besar. Sehingga masyarakat sini berpikir untuk aliran gereja lain enggak bisa bangun di sini,” kata Usman dalam pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, di Tolikara, Papua, Selasa (21/7), sebagaimana dikutip media. Menurut Bupati Usman, masyarakat juga mendesak pemerintah daerah untuk melarang aliran lain masuk. Perda itu sudah ada sejak 2013, ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Mendagri akan hapus perda diskriminatif
Bupati Usman Wanimbo berkilah bahwa perda belum diimplementasikan dalam bentuk peraturan bupati. Apakah artinya perda belum efektif berlaku? Saya membuka halaman Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 144 UU tersebut disebutkan bahwa jika rancangan sebuah perda yang sudah disetujui bersama disampaikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota, ada waktu 30 hari untuk pemda menerbitkan perda. Jika dalam waktu 30 hari pemda tidak menetapkan perda, maka perda otomatis berlaku dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam lembar negara.
Mendagri Tjahyo sudah meminta stafnya meriset keberadaan perda diskriminatif di Tolikara itu, dan mengaku tidak menemukan perda itu.
Masalahnya, perda itu ditengarai membuat pengurus GIDI setempat leluasa membuat aturan yang membatasi ibadah kelompok lain, termasuk pelaksanaan Shalat Id yang kemudian memicu insiden berdarah itu. Dalam kunjungan Mendagri Tjahyo Kumolo terungkap dugaan bahwa perda itu menjadi dasar melarang penggunaan alat pengeras suara saat beribadah salah Idul Fitri.
Tjahyo mengaku sejak menjabat mendagri sudah mengembalikan 139 perda yang isinya tidak mempertimbangkan prinsip kemajemukan dalam negara Republik Indonesia. Kemendagri juga membatalkan perda yang dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Bagaimana syarat sebuah perda agar tidak diskriminatif?
Kamis siang (23/7) saya mengontak Profesor Zudan Arif Fakrulloh, S.H., M.H, yang kini menjabat Direktur Jendral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri. Saya meminta ijin untuk mengutip presentasi dia tahun 2012 di acara Temu Ilmiah Pembangunan Hukum Berperspektif HAM dan Gender di Universitas Indonesia. Saat itu, Zudan menjabat sebagai kepala biro hukum dan perundang-undangan kemendagri.
Zudan mengingatkan kepala daerah sejatinya tidak boleh menerbitkan perda diskriminatif. Mengutip UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Zudan mengatakan dalam pasal 136 ayat (4) dan penjelasannya, jelas disebutkan: Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peratutan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apalagi bertentangan dengan konstitusi dan dasar negara. Penafsirannya, bertentangan dengan kepentingan umum adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketentraman serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.
Dalam Pasal 28 huruf a di UU No 32/2004, juga digariskan pedoman bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah. “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri, anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, dan atau kelompok politiknya yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat dan mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain.” “Jelas bahwa pembuatan perda harus hati-hati,” kata Zudan.
Apa yang dimaksudkan dengan diskriminasi?
Mari kita buka Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Disitu disebutkan, “diskriminasi adalah pembatasan, pelecehan atau pengecualian yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan kepada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, gologan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat kepada pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan bak individual maupun kolektif dalam bidang politik ekonomi hukum sosial budaya.
Zudan juga menyampaikan data-data perda diskriminatif yang diklarifikasi oleh kemendagri kepada kepala daerah yang menetapkannya. Antara tahun 2002 sampai 2009 ada 1.878 pembatalan perda diskriminatif. Pada tahun 2010 dari 3.000 perda yang diklarifikasi, ada 407 perda yang bermasalah terkait diskriminasi. Tahun 2011 kemendagri mengevaluasi 9.000 perda, dan menemukan 239 yang bermasalah. Tahun 2012, ada 3.000 perda yang diklarifikasi, 173 diantaranya bermasalah. Tahun 2013, diklarifikasi 2.500 perda, ada 146 perda bermasalah. Lalu tahun 2014 semasa Mendagri Tjahjo, sudah dievaluasi 139 perda yang isinya diskriminatif.
Pembuatan perda menurut UU No 32/2004 diatur wajib memenuhi asas: pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggak ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, dan/atau keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Idealnya demikian.
Faktanya, menurut catatan kemendagri sebagaimana disampaikan Zudan dalam acara di UI, sejumlah daerah memproduksi perda diskriminatif sehingga harus dibatalkan. Zudan sudah menengarai potensi lahirnya perda diskriminatif akibat perbedaan persepsi di masyarakat yang dilatarbelakangi aspek kultur. Dia menyebut tiga daerah, yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Papua dan Jakarta. Ketiganya menyandang status khusus.
Gara-gara politik pencitraan
Pemilihan kepala daerah secara langsung juga mendorong kepala daerah untuk menjalankan politik pencitraan dan cenderung melahirkan atau mendukung perda yang memihak mayoritas penduduk. Ini berakibat perlakukan diskriminatif bagi kaum minoritas. Perempuan yang memiliki posisi politik dan ekonomi yang lemah juga menjadi korban.
Tekanan kelompok mayoritas dibiarkan oleh pemimpin politik, mulai dari tingkat daerah sampai ke pusat. Ini yang kita lihat dalam kasus terkait syiah, ahmadiyah, jemaah gereja GKI Yasmin yang menimbulkan perhatian internasional. Setara Institute pernah menerbitkan laporan meningkatnya intoleransi akibat pembiaran.
Lalu, pecah Insiden Tolikara. Umat agama mayoritas di Indonesia, yakni Islam, alami pembatasan dalam beribadah shalat Idul Fitri di daerah yang mayoritas beragama Kristen, bahkan dikuasai oleh kelompok gereja tertentu, dalam hal ini GIDI. Jelas, secara politis kepala daerah di sana mendukung GIDI. Ini yang menurut saya membuat pemda gagal mengantisipasi dampak dari surat dari GIDI setempat. Buat saya, ini adalah sikap pembiaran. Sama halnya dengan yang dialami oleh kelompok minoritas di daerah lain manakala berhadapan dengan hegemoni mayoritas yang didukung kepala daerah yang peduli pada citra dan popularitasnya.
Setiap kali ada peristiwa seperti ini terus—terang saya terpikir, apakah betul masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang toleran? Jangan-jangan sebenarnya kita seperti toleran karena kelompok minoritas, dalam hal agama suku/ras, memilih untuk menuruti saja kehendak mayoritas, semata agar tidak terlibat konflik. Pasrah bongkok’an. Pengecualian bagi kelompok minoritas yang secara ekonomi kuat, dan bisa bersahabat dengan penguasa, dari pusat sampai ke daerah.
Semoga kekuatiran saya salah. Karena justru saya melihat potensi lain yang bisa diandalkan adalah kepedulian masyarakat yang kian besar untuk merajut kebersamaan dalam suasana beragam. Ragam agama, budaya, suku, etnis dan segala hal yang berbeda. Lembaga pendidikan, formal maupun informal, menurut saya bisa berperan besar dalam menguatkan sikap menghargai perbedaan.
Sekarang kita semua diharapkan menarik pelajaran berharga dari Insiden Tolikara, agar tidak terulang lagi. Di Papua, maupun di daerah lain di negeri ini. Salah satu caranya adalah mencermati rekam jejak politisi dan pemimpin yang cenderung mendukung perda diskriminasi, agar tidak usah dipilih lagi. Desember 2015, Komisi Pemilihan Umum akan menggelar pilkada serentak di 269 daerah.
Saya tahu, apa yang saya harapkan mungkin tidak menjadi prioritas atau kepedulian mayoritas pemilih. Besar kemungkinan pemilih akan terbuai oleh janji-janji populis calon kepala daerah yang tentu saja sudah dibekali data riset oleh timnya, apa yang dibutuhkan oleh konstituen di daerah pemilihannya. Apakah sikap diskriminatif menjadi salah satu tolok-ukur hal yang menarik perhatian pemilih? Saya ragu. Tapi, kita harus optimistis, bukan?###
No Comment