HomeUncategorizedJusman S. Djamal soal Teori "3 V" Bos IMF Christine Lagarde

Jusman S. Djamal soal Teori "3 V" Bos IMF Christine Lagarde

Pak Jusman, kini komisaris utama PT Garuda Indonesia, meminta saya membaca tulisannya yang selalu penuh referensi.  Dia memasang tulisan ini di dinding status Facebooknya. Saya membagi-nya untuk pembaca sekalian.

 

Teori tiga V-nya Lagarde : Velocity, Variance and Volatility.
Kecepatan, Kesenjangan dan Ketidak Pastian

Awal bulan depan Christine Lagarde, Managing Director-nya IMF akan menjadi tamu Gubernur Indonesia, Agus Martowardoyo.  Mdm Lagarde datang ke Indonesia sebagai pembicara tamu dalam suatu konferensi. Christine Madeleine Odette Lagarde pernah menjabat Menteri Urusan Ekonomi, Keuangan dan Perindustrian Perancis, pada kepemimpinan Presiden Nicolas Sarkozy Juni 2007. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Menteri Pertanian dan Perikanan dan Menteri Perdagangan pada pemerintahan Dominique de Villepin.

Lagarde adalah perempuan pertama yang pernah menjabat menteri Urusan Ekonomi dalam kelompok ekonomi G8, dan menjadi perempuan pertama yang menjabat pemimpin IMF. Lagarde, seorang pengacara anti-trust dan perburuhan terkemuka, mencatat sejarah sebagai perempuan pertama yang menjabat direktur sebuah perusahaan konsultan hukum internasional, Baker & McKenzie.

Pada 16 November 2009, The Financial Times memilihnya sebagai menteri keuangan terbaik di kalangan negara-negara yang menggunakan mata uang Euro.  Pada 2009, Lagarde menduduki tempat ke-17 sebagai perempuan paling berkuasa di dunia menurut majalah Forbes.  Pada 28 Juni 2011, ia diangkat sebagai direktur kepala Dana Moneter Internasional berikutnya untuk masa jabatan lima tahun, mulai pada 5 Juli 2011 menggantikan Dominique Strauss-Kahn.

Pada 8 Juli 2015 di Brooking Institute, Washingon DC , Lagarde membuat pidato berjudul “Seizing Once in A Generation Oppurtunity”, yang intinya menyampaikan bahwa generasi saat ini memiliki kesempatan sejarah untuk mentransformasikan struktur ekonomi yang telah memperlihatkan tanda tanda tak mampu menyelesaikan masalah masa kini dan masa depan.

Ia mengutip sebuah pepatah Afrika yang bunyinya begini “When the music changes, so does the dance”.  Ketika irama musik telah berubah, kita perlu menari dengan langgam yang berbeda.  Kendang berbeda, tarian berubah. Tak mungkin irama musik dangdut diikuti dengan jenis tarian serimpi. Kendang musik rock tak mungkin diimbangi dengan tarian serampang dua belas atau tari piring. Irama menentukan tarian.

Apa yang dikatakan oleh Lagarde ini perlu direnungkan. Kini kita menghadapi tanda tanda perlambatan ekonomi. Kalau tidak mau menyebutnya sebagai tanda-tanda munculnya gejala krisis.  Nilai dolar AS  meningkat tajam dan harga harga kebutuhan pangan juga meningkat. Baik masyarakat pengusaha maupun masyarakat rumah tangga terkena pukulan jab, kiri dan kanan. Biaya hidup terus meningkat. Semua itu disebabkan oleh  “scarcity”, kelangkaan. Daging menghilang, dolar AS tak ada di pasar adalah feomena scarcity, kelangkaan.  Solusinya tentu bagi pelaku pasar baik pasar mata uang maupun pasar tradisional rumus sederhana,  Tarik Ulur. Tak ada barang pasokan mengalir, banyak barang pasokan diperlambat. Tak usah berputar kemana-mana cari solusi.

Nilai dolar AS  tinggi karena ibarat komoditi mata uang ini telah mendominasi pasar.  Mata uang negeri Paman Sam ini dicari semua pelaku bisnis.  Dolar AS  bukan milik Amerika semata.   Dia berputar di seluruh dunia. Permintaan lebih tinggi dari penawaran atau pasokan. Hukum Say, supply and demand berlaku harga naik. Para ekonom menyebutnya sebagai kebijakan the Fed atau Bank Sentral Amerika untuk memanggil pulang dolar masuk kandang dengan “Tantrum Policy” dan Kenaikan suku bunga. Tujuannya satu agar para investor lebih memilih perputaran uang dollar di bumi Amerika karena jauh menguntungkan dibanding berinvestasi di negara lain.

Sejak tiga puluh tahun terakhir dikenal istilah American Dolar, European Dolar dan Asian Dolar. Yakni mata uang dolar yang beredar dan berputar di bumi Amerika, di Eropa dan di Asia. Dolar kini seolah menjadi “single currency”, semua mata uang merujuk kesana. Ada hegemoni disini. Dalam istilah hegemony nya Gramscy, seorang ahli sosial dan aktivis politik dari Italia, ada pemahaman tentang “ruang pengaruh” yang ditentukan oleh “formasi kekuatan”. Jika formasi kekuatan Yuan di Asia kuat maka ruang pengaruh nilai mata uang dolar AS  sedikit banyak ditentukan oleh naik turunnya nilai Yuan terhadap dolar AS. Begitu juga jika formasi kekuatan mata uang Euro kuat maka ruang pengaruh nilai mata uang Euro sedikit banyak ditentukan oleh Eropa.

China yang sedang dalam tahap mengkonsolidasikan diri sebagai “factory of the world”, dimana semua pusat industri manufaktur berada dan menjadi pusat “offshore” dan “oustsource” dalam mata rantai pasokan (supply chain) dunia, kini ingin merubah bentuk menjadi surga dunia dengan banyak gedung dan kota kota serta ladang property yang terus membesar.  Negara itu membutuhkan dolar dalam jumlah yang jauh lebih besar dari sebelumnya, dan terus mencoba menahan laju perputaran dolar di negaranya dengan mendepresiasikan Yuan nya. Kini seolah muncul dua arus pusaran air, yang menyebabkan ada gaya tarik menarik dolar.

Ada tiga sungai besar Amerika, Eropa dan Asia yang menjadi tempat mengalirnya dolar. Hulu sungai yakni Amerika kini sedang menghadapi fenomena ekonomi domestik yang tidak sederhana,  yaitu defisit yang kian membengkak, lapangan kerja yang terus merosot dan banyak pabrik pindah ke China. Akibatnya kini ada dorongan yang kuat untuk memanggil kembali dolar kekandangnya di Amerika. Sejak tembok Berlin rubuh dan Eropa Timur bersatu dengan Eropa Barat seolah ada sungai besar perputaran uang dolar di Eropa yang disandingkan dengan satu kekuatan mata uang Uni Eropa atau Euro. Sementara di Asia, ada sungai besar yang tumbuh berkembang akibat kebutuhan investasi untuk pembangunan infrastruktur secara besar besaran. Sejak tahun 1978 hingga tahun 2014, China adalah sungai paling besar tempat dolar mengalir yang disandingkan dengan kekuatan mata uang Yuan karena dominasi pertumbuhan ekonomi China.

Kini semua peta berubah. Amerika sempoyongan, Eropa kalang kabut karena Krisi Yunani dan krisis pengungsi Syria. Sementara China pusing tujuh keliling karena semua barang yang mereka produksi tak punya tempat menampungnya. Pasar Amerika dan Eropa makin menyempit. Kini format baru kekuatan ekonomi dunia ini sebetulnya dinanti para investor,  kemana keseimbangan baru akan terbentuk.  Landscape ekonomi seperti bagaimana yang akan terbangun?  Ini yang tidak mau dijelaskan oleh para ekonom. Grand Strategi ekonomi yang ingin disampaikan belum kena benang merahnya.

Presiden Jokowi terus menerus menyampaikan pesannya yakni :”Saya ingin fokus membangun ekonomi desa”. Desa harus menjadi kekuatan ekonomi masa depan. Didesa ada kekuatan ekonomi pertanian. Di desa nelayan ada kekuatan ekonomi Maritim”.  Bagaimana bentuknya  ?? Kita masih berdebat sendiri.

Yang tampak dipermukaan adalah program infrastruktur yang dimunculkan dalam skala raksasa. Seolah sebuah rayuan Kkbijakan agar investor terpanggil ke Indonesia. Sebuah keinginan agar dolar tetap tinggal dan berputar disini.

Memang kini di setiap negara  berbagai kebijakan insentif fiskal dan moneter sedang dijalankan untuk membuat “capital inflow jauh lebih besar dari capital outflow”. Makin besar capital inflow membuat banyak pengambil kebijakan ekonomi di satu negara tidak tenang tidur. Sebab dalam situasi ekonomi global seperti sekarang ini , capital bisa masuk dan keluar dengan secara tiba tiba. Rentan dan Rawan. Volatile. Yang jelas dolar telah meninggalkan Russia. Russia tak sanggup membangun kekuatan untuk membujuk dolar tetap berputar di negara tersebut sehingga disana dollar amat langka dan arus “outflow” dollar dari Rusia ini yang menyebabkan negara Russia itu ibarat lubang menganga, menyedot semua nilai mata uang lain merosot kebawah. Eropa dan negara Amerika Latin terkena imbasnya.

Apa yang  terjadi dalam perubahan keseimbangan kekuatan ekonomi dunia ini oleh Lagarde diidentifikasi dengan tiga variabel,  atau tiga V, yakni Variance, Velocity dan Volatility.  Ketidak pastian, keraguan, fluktuasi atau Volatility ditentukan oleh Velocity dan Velocity ditentukan oleh Variance. Ketika di SMA kita belajar fisika ada istilah beda ketinggian. Gap , jurang. Perbedaan ketinggian menyebabkan air mengalir dari tempat yang tinggi ketempat yang rendah. Air dari gunung mengalir ke lembah, sungai dan ngarai. Perbedaan atau Variance melahirkan Velocity atau sebaliknya. Velocity memunculkan Variance. Lagarde memberi contoh. Ia bilang sejak lima belas tahun terakhir secara sistematik “emerging market’, tumbuh dan berkembang. Banyak negara berkembang tumbuh ekonominya dan sistemnya makin menyatu membentuk ekonomi global. Hasilnya adalah pertumbuhan dan ekspansi perdagangan dan “capital flows”, perpindahan arus barang dan manusia yang semakin besar volumenya dan arus modal yang juga semakin cepat perputarannya dan sekaligus volumenya. Eksppansi dan pertumbuhan ekonomi dibanyak negara ini bisa bagus bisa juga melahrikan masalah. Good news and bad news.

Berita buruknya adalah pertumbuhan ekonomi ini tidak diikuti oleh pemerataan. Timbul ketimpangan.  Piketty ahli ekonomi Perancis dalam buku terbarunya berjudul Capital in the Twenty First Century menyebutnya dengan fenomena Inequality atau kesenjangan ekonomi di setiap bangsa dan negara yang semakin terlihat nyata. Lagarde menyebutnya dengan istilah yang lebih halus Variance. Negara atau daerah yang ekonominya tumbuh cepat maju terus dengan kecepatan ekspress sementara negara atau daerah yang miskin tertinggal di belakang dan hampir hampir terlupakan. Ada wilayah Fragile Economy ada wilayah Non Fragile Economy. Kesinilah sebetulnya pandangan semua kebijakan harus difokuskan. Dimensi yang paling penting dan utama setiap kebijakan ekonomi harus difokuskan pada upaya mengecilkan gap atau variance kaya miskin ini.

Velocity of capital flows akibat pertumbuhan economy di satu wilayah melahirkan Variance dan pada gilirannya menimbulkan Volatility. Rentan, yang dapat memunculkan Ketidakseimbangan dan ketidakpastian.

Karenanya kehawatiran pada merosot nilai mata uang rupiah yang terjadi saat ini hendaknya diikuti oleh kebijakan moneter yang yang lebih terstruktur dan masif untuk mengatasi problem utama ekonomi Indonesia yakni kekeringan modal kerja dan kekeringan likuiditas di masyarakat.

Dalam hal ini instrumen suku bunga dan instrumen kecepatan uang beredar perlu dijadikan ujung tombak. Mungkin itu yang dapat saya share ketika membaca tulisannya Lagarde dalam pidatonya di Brooking Institute.

Ditengah ekonomi sulit, biasanya rumus kembali ke khittah perlu terus didengungkan. Kembali ke akar persoalan. Ilmu ekonomi pada intinya adalah Pengelolaan Scarcity. Mengatasi kelangkaan. Sebab setiap kelangkaan melahirkan ketidakseimbangan permintaan dan pasokan.

Supply demand tidak terjaga. Daging langka harga naik. Beras langka harga naik. Cabe langka harga naik, dolar langka harga naik. Daging yang banyak beredar melahirkan banyak restoran padang dan rumah makan tegal serta restoran. Volume meningkat, Velocity naik.  Melahirkan Variance, Gap perbedaan antara supply and demand.  Jika tidak  dikelola dengan baik setiap Variance dan Velocity memunculkan Volatitily, Kerentanan dan Ketidakpastian. Begitu kata Lagarde.

Apa benar begitu ? Sayang saya tak punya kesempatan bertemu.Tapi mungkin saja saya keliru membaca sebab saya bukan ahli ekonomi. Lebih kurangnya mohon dimaafkan. Salam

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Catatan Jusman S. Djamal: Bisnis Airline dan Bisnis Tukang Cukur
Next post
Jurus Tax Holiday Untuk Tarik Investasi

8 Comments

  1. […] Pagi ini saya membaca tulisan Jusman Syafii Djamal, mantan menteri perhubungan yang kini menjabat direktur utama PT Garuda Indonesia.  Dia menulis mengenai sosok dan pemikiran Christine Lagarde, direktur pengelola Dana Moneter Internasional (IMF).  MInggu depan, Christine Lagarde akan berkunjung ke Indonesia.  Tulisan itu membahas  3 V, yaitu Velocity, Variance dan Volatility. […]

  2. […] Pagi ini saya membaca tulisan Jusman Syafii Djamal, mantan menteri perhubungan yang kini menjabat direktur utama PT Garuda Indonesia.  Dia menulis mengenai sosok dan pemikiran Christine Lagarde, direktur pengelola Dana Moneter Internasional (IMF).  MInggu depan, Christine Lagarde akan berkunjung ke Indonesia.  Tulisan itu membahas  3 V, yaitu Velocity, Variance dan Volatility. […]

  3. Ami
    September 1, 2015 at 9:37 pm — Reply

    Bisa minta link facebooknya pak Jusman S Djamal?

  4. Ami
    September 1, 2015 at 9:37 pm — Reply

    Bisa minta link facebooknya pak Jusman S Djamal?

  5. bhery
    September 18, 2015 at 5:22 am — Reply

    Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai ekonomi pertanian . Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai ekonomi pertanian yang bisa anda kunjungi di
    klik disini

  6. bhery
    September 18, 2015 at 5:22 am — Reply

    Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai ekonomi pertanian . Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai ekonomi pertanian yang bisa anda kunjungi di
    klik disini

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *