Ketika Membakar Lahan Dianggap Kearifan Lokal
Selain penegakan hukum dan mengubah paradigm dalam menjerat pelaku pembakaran hutan, perlu revisi atas rumusan pasal di UU No 32/2009
Awal Agustus saya pergi ke provinsi Xinjiang, Tiongkok. Provinsi yang berstatus otonomi khusus ini menjadi jantung dari program Presiden Xie Jinping membangun sabuk ekonomi Jalan Sutra. Salah satu tempat yang saya kunjungi adalah Heavenly Lake, atau Danau Surgawi, sebuah danau yang terletak di kawasan pegunungan Tian Shan, 2,5 jam perjalanan ke arah Timur Urumqi, ibukota Xinjiang. Jalan tol mulus, disambung dengan jalan aspal berkelok-kelok naik ke area tujuan wisata itu.
Udara di Xinjiang sangat panas, sekitar 40-42 derajat celcius. Di sepanjang jalan menuju Danau Surgawi ini saya menikmati rerumputan dan tanaman hijau. Sepertinya tumbuh liar. Tapi dugaan saya salah. Rumput, ilalang, dan tanaman perdu sengaja ditanam, dan disirami. Sampai di atas bukit di area wisata, keran penyiram air otomatis dipasang menyirami rerumputan. Rajin amat! Ini yang terlintas di benak saya. Danau ini ada di kawasan hutan konservasi geologi.
Rahim, pemandu perjalanan kami mengatakan bahwa pemerintah Tiongkok dari pusat sampai daerah giat menghijaukan lahan terbuka. Kami? Iya, saya dan beberapa teman jurnalis dari Indonesia dan Malaysia diundang berkunjung ke Xinjiang. Ketika di Beijing, saya melihat sejumlah orang demo protes polusi udara di depan kementrian lingkungan hidup Tiongkok. Pemandangan seperti ini kian rutin, dan dibiarkan. Baru tahu juga kalau ternyata ada demo yang diperbolehkan di Tiongkok, yang dikendalikan satu partai, Partai Rakyat Tiongkok.
Tiongkok didera kebakaran hutan hebat, pada 2013. Media memberitakan api berkobar berhari-hari di Provinsi Yunnan, di barat daya Tiongkok. Lebih dari 2.800 orang dikerahkan untuk memadamkan api yang muncul akibar kemarau dan angina kencang. Si jago merah melahap 200 hektar hutan di kabupaten Lufeng, daerah otonomi Chuxiong Yi.
Peristiwa kebakaran dan protes rutin masyarakat di Negeri Tirai Bambu itu memacu pemerintah lebih memperhatikan lingkungan. Tiongkok dengan 1,3 miliar penduduk dikecam sebagai penghasil emisi karbon dioksida terbesar di dunia.
Saya teringat melihat soal siram-menyiram rumput ini, ketika hari-hari ini membaca berita menyesakkan dada soal kebakaran hutan dan lahan pertanian di Riau, Jambi dan Sulawesi Selatan. Pemerintah sudah memberlakukan darurat asap di Riau.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan bahwa tahun 2015 ini, kebakaran terjadi di sejumlah tempat. Di Riau, areal yang terbakar sejauh ini sekitar 2.025,42 hektar. Di Provinsi Kalimantan Barat lahan yang terbakar seluas 900,20 hektar. Di Kalimantan Tengah lahan membara seluas 655,78 hektar. Di Jawa Tengah lahan terbakar 247,73 hektar. Di Jawa Barat 231,85 hektar. Provinsi Kalimantan Selatan lahan yang terbakar seluas 185,70 hektar. Kebakaran lahan juga dialami Provinsi Sumatera Utara seluas 146 hektar, di Sumatera Selatan 101,57 hektar dan Jambi seluas 92,50 hektar. Ada 944 titik panas di kawasan Sumatera, dan 222 titik di Pulau Kalimantan.
Dari cuaca sampai penegakan hukum
Cuaca, El Nino (gejala alam yang ditandai dengan meningkatnya permukaan laut), diklaim sebagai penyebab meluasnya kebakaran lahan pertanian dan hutan. Juli-Oktober 2015, Indonesia dilanda El Nino moderat, yang menyebabkan mudah terjadi kekeringan dan kebakaran hutan. Menteri Lingkungan Hidup di kawasan negara ASEAN sudah bertemu pada Juli 2015 untuk membahas potensi bencana asap kebakaran hutan lintas negara. Sayangnya, pertemuan itu tidak menghasilkan solusi bagaimana mencegah kebakaran hutan.
Penyebab lain adalah upaya perusahaan pemilik hak pengusahaan hutan membuka lahan secara murah, dengan menyuruh membakar lahan hutan. Akibatnya? Puluhan penerbangan kena dampak. Tapi ini lebih ke bisnis. Yang paling menyedihkan dan mengkhawatirkan adalah dampaknya bagi kesehatan penduduk di kawasan terdampak asap. Di Kalimantan, misal, 100 ribuan orang menderita sakit pernafasan gara-gara asap.
Penegakan hukum juga selalu jadi sorotan. “Penegak hukum banyak yang hanya mengandalkan bukti materiil. Kesulitan yang dihadapi adalah ketika menjawab konter dari pembela perusahaan pembakar hutan, soal dampak kerusakan terhadap lingkungan dan kualitas tanah,” kata kakak kelas saya di Institut Pertanian Bogor. Dia berpengalaman mengikuti proses menyeret pembakar hutan ke meja hijau. Masalahnya, Indonesia belum memiliki pengadilan khusus untuk menangani perkara kejahatan lingkungan.
Ambil contoh, ketika pihak kementerian kehutanan (kini kementerian lingkungan hidup dan kehutanan) merumuskan dan menghitung denda tinggi bagi pembakar hutan. Salah satu alasan adalah dampak kerusakan lapisan tanah (top soil) sebagai akibat dari kebakaran. “Pengadilan akan bertanya, bagaimana membuktikan bahwa lapisan tanah itu masih bagus, subur, atau sudah rusak sebelum kebakaran terjadi?” Ini yang membuat banyak dakwaan pidana hanya mentok di hukuman penjara bulanan dan denda ringan di bawah Rp 10 miliar. Yang kena pun bukan pemilik perusahaan.
Maka, ketika Mahkamah Agung bulan lalu memutuskan menolak banding atas perkara menyangkut PT Kalista Alam, dan menjatuhkan vonis denda Rp 366 miliar untuk biaya memulihkan 1.000 lahan gambut yang dibakar sendiri oleh perusahaan itu, banyak yang menyambut gembira. Putusan MA ini dapat menjadi yurisprudensi untuk menjerat pelaku pembakaran lahan maupun hutan.
Hari ini, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri mengumumkan tiga perusahaan sebagai tersangka pembakar hutan di kawasan Sumatera. Salah satunya adalah anak perusahaan Kelompok Sinar Mas yang dikenal sebagai konglomerat papan atas Indonesia dan memiliki skala bisnis raksasa dalam bidang perkebunan sawit.
Selasa pagi (15/9) saya mengontak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, soal kapan pemerintah akan mengumumkan pelaku pembakar hutan?
Bu Menteri menjawab dengan mengatakan akan mengumumkan 2-3 perusahaan yang bakal mendapatkan sanksi dan diumumkan pekan ini. Pihaknya mengumpulkan pemberkasan lapangan untuk menyeret pelaku ke meja hijau. Sebanyak 13 perusahaan ditengarai melanggar hukum pidana terkait pembakaran hutan dan perusakan lingkungan. Duapuluh empat perusahaan tengah ditelisik untuk kasus yang sama.
Hanya beberapa jam kemudian, polisi menetapkan tersangka. Ini perkembangan yang melahirkan harapan, bahwa penegakan hukum dalam pembakaran hutan dan pengrusakan lingkungan akan lebih tegas di era Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Catatannya adalah, Jokowi dan kabinet, tidak disandera dengan utang budi terhadap korporasi besar, terutama saat kampanye pemilihan presiden, sehingga bisa bertindak tegas tanpa pandang bulu. Termasuk jika harus menindak birokrasi, aparat TNI maupun Polri yang menjadi beking kejahatan lingkungan.
Perlu revisi UU
Jaksa Agung HM Prasetyo saat ditanya soal pentingnya penegakan hukum yang konsisten dan persisten dalam kasus kejahatan kehutanan memastikan akan mengubah perspektif penanganan perkara pembakaran hutan. Penyelidikan dan penyidikan tak cukup menyasar kepada pelaku pembakaran, tetapi juga pihak yang memberikan perintah pembakaran. Perusahaan yang bertanggung jawab atas kebakaran lahan juga harus dijatuhi hukuman berat. ”Siapa yang mengupah mereka harus ditindak tegas dan dicari,” ujar Prasetyo.
Ada yang juga harus menjadi perhatian, yaitu ambiguitas dalam perumusan Undang-Undang. UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, dalam Pasal 69 mengatur larangan, yang artinya tindak pidana. Dalam ayat (1) huruf h, dicantumka, “larangan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.” Ayat 2 dalam pasal itu menyebutkan bahwa “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.”
Kearifan lokal? Maksudnya apa????
Jawabannya saya temukan di bagian penjelasan UU di atas. Yang dimaksud dengan kearifan lokal adalah, “melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanamkan jenis varietas lokal yang dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.”
Menurut saya, rumusan kalimat di atas sangat rawan digunakan sebagai alasan pembakaran lahan hutan. Bayangkan jika implementasi kearifan lokal itu dilakukan di saat rawan kebakaran seperti bulan-bulan ini?
Saya membaca sejumlah analisa bahwa pelaku pembakaran hutan sebenarnya petani kecil yang hidup di sekitar hutan. Mungkin saja ada. Tapi moral hazard lebih besar ada di otak pengusaha yang ingin cara cepat dan murah, yang berujung kepada bencana lingkungan hidup.
Mengharapkan pemerintah menyirami ilalang dan rerumputan di perbukitan, seperti yang dilakukan di Xinjiang mungkin berlebihan untuk saat ini. Apalagi kondisi kekeringan membuat air sulit. Penegakan hukum minimal bisa menjadi cara membuat pelaku jera. Juga merevisi aturan hukum yang membuka peluang moral hazard pemilik modal. Saya berharap ini yang serius dilakukan pemerintah Jokowi.
Sampai di sini saya terdengar optimistis banget ya? ###
No Comment