Penulis dan Host CNN Fareed Zakaria Melihat Dunia Pasca Pandemi COVID-19
Fareed Zakaria menerbitkan bukunya yang kelima, berjudul “Ten Lessons For A Post -Pandemic World”, tanggal 6 Oktober 2020. Ditulis selama pandemi, buku ini menjadikan pandemi COVID-19 sudut pandang. Membahas dari sisi masa lalu, masa kini dan masa depan. Banyak mengulas soal bagaimana AS di tengah krisis terbesar abad ini.
Dalam buku ini, Fareed mengajak pembaca untuk melihat bagaimana dunia pasca pandemi, bagaimana kita bisa memanfaatkan momentum krisis untuk membuat perubahan besar yang menuju ke situasi dunia yang lebih baik.
Menurut Fareed, COVID-19 berdampak ke ketimpangan ekonomi dan hubungan manusia dengan teknologi. Pandemi harusnya menyadarkan kita tentang pentingnya sains dalam memandu pembuatan kebijakan dan nilai-nilai kejujuran dan pemerintahan yang efektif. Fareed juga membahas soal bagaimana peran AS sebagai negara super-power di dunia yang saling bergantung satu sama lainnya.
Fareed Zakaria lahir di India. Dia melanjutkan pendidikan di Universitas Yale dan meraih gelar PhD dalam pemerintahan di Universitas Harvard. Dia menjadi editor di majalah Foreign Affairs pada usia 28 tahun. Fareed menjadi kolumnis untuk majalah Newsweek, kemudian editor dan kolumnis di Majalah Time. Saat ini Fareed menulis kolom mingguan di koran The Washington Post. Dia juga menjadi pembawa acara “Fareed Zakaria GPS” di CNN sejak 2008.
Fareed membahas soal buku ini dalam sebuah wawancara program Fresh Air, dengan Dave Davies, dari NPR. Beberapa hal pernah disampaikan Fareed dalam sebuah sesi Zoom yang saya ikuti, bareng International Media Council Forum Ekonomi Dunia (WEF), bulan Mei 2020. Menurut saya, sebelum tamat membaca buku 320 halaman, wawancara ini cukup menggambarkan pokok pandangan penulis buku laris itu. Saya terjemahkan untuk pembaca.
Soal mengapa AS buruk tangani pandemi COVID-19
Fakta bahwa AS, yang sebelumnya dianggap negara paling siap menangani pandemik, dan ternyata kenyataannya tidak demikian, adalah hal yang perlu kita pahami. AS menjadi kekuatan dominan di dunia, tidak hanya secara militer dan politik, tetapi juga secara intelektual. Kita menyetel agenda. Para ahli kita menjadi ahli dunia. Institusi-institusi kita yang hebat menjadi pihak yang melakukan pemeringkatan dan evaluasi lembaga lain di dunia. Jadi, kita terbiasa untuk bersikap, bias negara.
Jadi, kemungkinannya adalah selama ini orang cenderung menilai kehebatan AS dari sisi berapa banyak uang yang dibelanjakan. AS paling fantastis soal itu. Tengok saja lembaga riset dan kesehatan masyarakat yang hebat-hebat seperti CDC dan FDA. Lihat juga keberadaan raksasa farmasi di AS. Anda letakkan itu jadi satu, dan kita melihat AS yang hebat.
Masalahnya, mungkin kita tidak bertanya kepada diri kita, apakah kita punya akses ke pelayanan kesehatan? Apakah semua dapat mengaksesnya secara mudah? Kita sangat buruk dalam hal ini. Bagaimana pula dengan kemudahan analisa data karena kita mengumpulkan data, memusatkan sistem data yang memungkinkan pemerintah atau organisasi manapun tahu, siapa warga yang sehat? Siapa yang tidak? Siapa yang sudah mendapatkan tes? Tes apa? Siapa yang belum?. Kita juga buruk dalam hal itu. Jadi, pandemi membuat kita menyadari, bahwa selama ini semua kelemahan kita dipoles mengkilap dan semua kekuatan kita dibesar-besarkan. Itu yang terjadi. Dan kemudian, tentu ada bagian penting soal bagaimana pemerintahan Trump menangani pandemi.
Apakah sistem politik seperti otoritarian, demokrasi, berperan untuk sukses tangani COVID-19?
Sangat menarik. Kita melihat ternyata ada campuran hasil dari kedua sistem itu, baik di sisi pemerintahan yang demokratis maupun yang otoritarian. Jadi, saya tidak ingin menyimpulkan bahwa pemerintahan yang otoritarian menangani pandemi lebih baik. Mereka juga kesulitan pada awalnya. Kesalahan penanganan itu berkaitan dengan suasana kerahasiaan dan represif di sistem pemerintahan Tiongkok. Tapi, kemudian mereka berputar dan melakukan penanganan yang mengagumkan. Tak bisa dipungkiri, kita mengakui bahwa Tiongkok kemudian menangani pandemi dengan sangat baik. Saking bagusnya penanganan Tiongkok, sampai-sampai ketika mereka harus melakukan uji klinis vaksin COVID-19, mereka harus melakukannya di Pakistan dan Brasil, sebab di Tiongkok sudah tidak ada pasien COVID-19.
Nah, bagaimana dengan negara otoritarian lain? Mereka dipimpin diktator, seperti di Rusia, Iran dan Venezuela. Mereka sangat buruk menangani pandemi. Di sisi lain, kita melihat contoh negara demokrasi seperti AS dan Inggris yang buruk situasinya, Sementara negara demokrasi seperti Taiwan, Korea Selatan dan Jerman situasinya lebih baik. Faktanya, sangat menarik bagaimana respons Taiwan di awal pandemi. Begitupula bagaimana Korsel menangai pandemi ini. Mereka tidak menerapkan aturan drakonian, otoritarian. Mereka tidak melakukan penutupan wilayah secara drastis. Yang mereka lakukan adalah testing dan tracing yang sangat baik.
Soal pentingnya “trust”, kepercayaan kepada pemerintahan
Coba kita lihat. Negara AS lahir dari sebuah revolusi anti-statis dan sejak awal warganya selalu mencurigai pemerintah. AS adalah sebuah negara yang lahir dari anti-statis. Bahkan pemerintah kolonial Inggris dalam bentuknya sendiri memiliki semacam DNA sebagai bagian dari pembentukannya. Dan, Franklin Roosevelt merevolusi negara ini dengan menciptakan untuk pertama kalinya, sebuah pemerintahan federal bernuansa aktivis, yang melihat dirinya memiliki tanggungjawab kesejahteraan ekonomi bagi rakyatnya.
Apa yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan adalah, bahkan sejak pemerintahan Presiden Ronald Reagan, kita melihat serangan terhadap pemerintahan yang korup, inefisien, disfungsional, meskipun sebenarnya tidak demikian adanya. Bagi saya yang lahir di India, pemerintahan AS di tingkat pusat berfungsi cukup baik. Pasti berfungsi dengan lebih baik jika didanai cukup dan mendapatkan respek dari publiknya.
Pemerintahan AS pada tahun 50-an dan 60-an adalah pemerintah yang melakukan revolusi informasi dengan mendanai penemuan cip mikro, menciptakan internet, menciptakan GPS. Semua itu hasil program pemerintah. Yang terjadi dengan Pemerintahan Presiden Reagan adalah, orang mulai mengecam pemerintahan, dan dia (Reagan) mengatakan bahwa pemerintah bukan solusi untuk problem kita. Pemerintah adalah problem. Sembilan kata yang paling menakutkan dalam bahasa Inggris adalah : Saya dari pemerintahan dan saya di sini untuk membantu.
Semuanya berjalan, menjadi makin parah karena kemampuan dana pemerintahan yang terus menciut. Lembaga pemerintahan, kita tidak lagi mengakuinya, karena perannya makin kabur, karena jaminan sosial, layanan kesehatan dan departemen pertahanan menyedot begitu banyak. Tetapi di sisi lain, banyak fungsi pemerintahan yang, apakah itu tetap sama meskipun jumlah populasi menjadi dua kali lipat, atau pendanaan mereka dipangkas secara dramatis. Salah satu contohnya, Badan Pajak AS (IRS). Saat ini IRS hanya mampu lakukan audit dengan kapasitas separuh dari yang mereka lakukan 25 tahun lalu. Jadi, proses disfungsi organisasi yang ada adalah bagian dari upaya mendekonstruksi peran pemerintahan. Frasa ini datang dari Steve Bannon, yang mengatakan bahwa tujuan dari revolusi Trump adalah mendekonstruksi pemerintahan negara. Jika itu tujuannya, apa yang terjadi? Pada saat kita menghadapi pandemi, tidak ada yang berfungsi dengan baik.
Soal peran ekonomi pasar dan peran pemerintah yang bakal kian besar
Kita lihat dari pengalaman dalam 20-25 tahun terakhir, bahwa berlakunya pasar bebas juga menghasilkan ketimpangan sosial dan disfungsi yang hanya pemerintah lah yang bisa menanganinya. Mari kita lihat Internet dan Revolusi Informasi. Ide besarnya adalah bahwa dengan revolusi informasi, semua orang dapat mengakses internet. Dunia jadi mendatar. Lempeng, sebagaimana selalu dikatakan oleh (kolumnis) Tom Friedman, di mana semua perusahaan dapat memanfaatkan internet. Kualitas menjadi faktor di sini. Tapi ingat juga bahwa efek dari revolusi internet ini telah menciptakan lima atau enam perusahaaan yang begitu besarnya sehingga bisa mendominasi, dalam artian, bahkan Standar Oil pun tak pernah bisa melakukannya di masa kejayaan mereka.
Dan, coba perhatikan, karena digitalisasi ekonomi secara menyeluruh, dan ini terjadi di semua sektor, lalu coba dilihat sektor perhotelan, sektor perjalanan, dan sektor yang terkait dengan ini semua (pariwisata), makin didominasi oleh satu sampai tiga pemain, biasanya dua pemain saja. Ini tidak baik bagi konsumen, karena terjadi oligopoli yang meningkatkan harga. Konsumen tidak punya pilihan. Realitas sistem bahwa yang menang mengambil semuanya terjadi di semua industri, top 5 persen produsen, katakanlah, adalah mereka yang menghasilkan semua kekayaan dan penghasilan, dan secara terus-menerus makin besar (bisnisnya). Di sini kita melihat tidak ada kompetisi yang riil, yang pada gilirannya melebarkan jurang ketimpangan. Pada titik ini, kita menyadari bahwa pemerintah harus masuk, ikut campur. Tujuannya adalah, pertama, untuk memastikan mekanisme pasar berjalan baik. Kedua untuk menangani ketimpangan yang kalau dibiarkan akan mencapai situasi yang terjadi di Perancis sebelum Revolusi Perancis, jika kita tidak menangani secara serius.
Soal pentingnya aturan antitrust, anti monopoli
Jadi, kita masuk ke soal yang lebih teknis. Dulu, saat Roosevelt membentuk sistem antitrust, anti-monopoli di AS, dan bahkan sebelum dia, Theodore Roosevelt, keduanya melihat anti-monopoli dari sudut pandang, katakanlah, bagaimana mengukur apakah sebuah perusahaan terlalu berkuasa? Memiliki pangsa pasar terlalu besar? Mendominasi pasar? Menentukan harga pasti? Memiliki kekuatan politik yang terlalu besar? Apakah dapat mempengaruhi sistem politik? Menafikan pilihan bagi konsumen?
Apa yang terjadi pada tahun 70-an, dan 80-an, adalah sebuah revolusi konservatif menentang hal di atas, dipelopori oleh Robert Bork, akademisi di bidang hukum yang sangat kondang, yang gagal menjalani nominasi sebagai hakim agung. Dalam bukunya yang berjudul, “The Antitrust Paradox”, Bork menyampaikan, satu-satunya yang perlu kita pertimbangkan adalah apakah konsumen mendapatkan harga lebih murah. Jika itu terjadi, maka semuanya baik, karena begitulah seharusnya pasar bekerja.
Nah, kita lihat para perusahaan teknologi yang besar-besar ini, tentu saja konsumen sering mendapati situasi di mana barangnya gratis, namun, ini membuat gerah kompetisi. Karena tidak ada kompetitor. Kamu mendominasi lapangan. Kamu menyingkirkan yang lain. Kamu mendapatkan kekuasaan politik yang makin besar. Kontribusi politik kemudian memberikan dampak besar kepada politik negaramu. Itu gak bisa dibenarkan. Jadi, kita harus kembali ke pemahaman lama soal antitrust, di mana kita ingin memastikan bahwa ada tingkat permainan yang sama untuk pemain kecil, untuk pemain baru. Dan kita bergerak secara benar, dalam pandangan saya, menuju ke pandangan yang lebih kuno lagi, bahwa perusahaan seyogyanya memiliki banyak pemangku kepentingan. Memiliki karyawan. Memiliki pemasok. Memiliki komunitas yang hidup dan kerja bersama di dalamnya. Mereka semua adalah pemangku kepentingan yang tertarik dengan perusahaan, yang harus melakukan hal yang benar agar mereka semua bisa berkembang.
Soal banyak regulasi pemerintah Vs pasar bebas
Ini menarik, karena contohnya bukan hanya Denmark. Pasar mereka, menurut saya, semacam simbol. Tapi kebanyakan (negara) di bagian utara Eropa memberlakukan pola (ekonomi) yang campuran. Mayoritas menerapkan ekonomi pasar bebas, dalam artian tidak mengenakan banyak pembatasan tarif. Mereka juga tidak menerapkan banyak regulasi. Mereka memberikan kemudahan bagi perusahaan dalam merekrut dan memecat (karyawan). Ada yang namanya indeks Yayasan Heritage untuk kebebasan ekonomi. Yayasan ini adalah kelompok pemikir yang super konservatif, berbasis di Washington, D.C. Banyak negara (di Eropa Utara) yang mendapatkan peringkat lebih tinggi dalam hal kebebasan ekonominya, menurut penilaian Yayasan Heritage. Begitupula penilaian untuk AS. Jadi, mereka menganut pasar yang sangat bebas dan mengenakan pajak yang sangat tinggi. Mereka mendistribusikan uang dengan cara yang mendorong kesetaraan peluang, membekali warga dengan alat yang diperlukan untuk naik kelas secara sosial dan ekonomi. Jadi, campuran kan. Mereka kadang menyebut hal ini sebagai “flexicurity” karena sangat fleksibel, ekonomi terbuka, namun dengan banyak pengaman di dalamnya. Menurut saya ini ide yang sangat menarik, karena isunya bukan soal berapa banyak regulasi yang dibuat oleh negara. Tentu saja tidak ada yang suka dengan kebanyakan regulasi, gak ada yang mau regulasi yang kontra-produktif dan merusak diri sendiri. Masalahnya, AS memiliki banyak yang seperti itu, terutama karena tambal-sulam aturan di tingkat federal, negara bagian dan lokal. Yang sebenarnya dibutuhkan adalah aturan yang sederhana dan efektif yang memastikan negara dapat menerapkan pasar yang bebas dan terbuka.
Kuncinya adalah apa yang dilakukan negara di Eropa Utara, apa yang dilakukan Denmark adalah, mereka mengatakan, OK, kita buat mekanisme paling efisien untuk menciptakan kekayaan, tapi, yuk kenakan pajak (kepada orang-orang ini), untuk mendapatkan bagian dari uang (kekayaan) dan memastikan bahwa negara menangani ketimpangan dan negara membuka kesempatan bagi semua warganya. Jadi, yang paling mengerikan tentang AS saat ini adalah, mobilitas sosial di AS lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di Eropa Utara. Lebih rendah dibandingkan dengan di Kanada. Bahkan lebih rendah dibandingkan dengan di sejumlah negara lain di Eropa. Yang saya maksudkan di sini, bahwa Impian Amerika, ide yang menjanjikan bahwa (hidup) mu akan lebih baik dibandingkan dengan orang tuamu, gak kejadian lagi. Itu sebuah mitos. Itu hidup dan berkembang di Denmark, di Kanada, di Swedia dan di Jerman, tetapi tidak di AS.
Ketimpangan global pasca pandemi COVID-19
Jujur saja, saat menulis buku ini, area ini yang barangkali membuat saya paling pesimistis dan sedih. Tidak ada keragu-raguan di benak saya, bahwa efek dari pandemi COVID-19 akan meningkatkan ketimpangan secara substansial, di seluruh dunia. Baik itu di dalam negara, maupun diantara negara. Mari kita lihat ketimpangan global. India dan Tiongkok tumbuh lebih cepat. Hasilnya, 400 sampai 500 juta orang dientaskan dari kemiskinan dalam 20-25 tahun terakhir.
Proses itu kini tertahan, atau bahkan yang terjadi adalah kebalikannya, karena penutupan wilayah (lockdown) dan lumpuhnya (situasi akibat pandemi), resesi besar yang terjadi di seluruh dunia, hal ini berdampak terutama kepada rakyat di kelompok paling bawah, dibandingkan dampaknya ke kelas atas. Orang yang berada di kelas atas berpendidikan. Mereka bisa bekerja secara digital. Mereka punya akses ke pusat-pusat kota. Mereka baik-baik saja. Rakyat kelas terbawah lah yang paling sengsara. Jadi, kita akan melihat meningkatnya kemiskinan secara masif di negara seperti di India, mungkin lebih sedikit juga di Tiongkok, karena mereka (RRT) berhasil mengembalikan aktivitasnya setelah diserang COVID-19. Banyak dari negara-negara, tidak bisa melakukan apa yang bisa dilakukan AS, yaitu mencetak uang. Mereka tidak bisa mencetak uang dalam mata uangnya dan menerbitkan surat utang. Jadi, mereka mengalami kerugian ganda.
Lantas, tengok yang terjadi di AS. Ada grafis paling menakutkan yang saya lihat – ini terjadi sesudah saya menulis buku ini, namun menggambarkan poin yang saya tulis dalam buku dengan pas banget. Jadi, kalau kamu lihat dalam empat kejadian resesi dan melihat 25 persen mereka yang berpenghasilan tertinggi dan 25 persen penghasilan terbawah, saat terjadi resesi berapa persen yang kehilangan pekerjaan? Ternyata dalam tiga resesi terakhir, top 25 persen dan 25 persen paling bawah kehilangan pekerjaan dalam tingkat yang sama. Dalam resesi saat pandemi COVID-19, top 25 persen kondisinya stabil. Tidak banyak yang kehilangan pekerjaan. Bagaimana dengan 25 persen terbawah? Grafisnya seperti kawah yang dalam. Bagaikan terjun bebas.
Bisa dibayangkan ya? Maksud saya, semua bankir, pengacara, orang yang bekerja di media, sebagian besar baik-baik saja. Tapi, coba pikirkan pegawai restoran, penyaji. Pikirkan mereka yang bekerja di hotel, di kapal pesiar, di taman hiburan. Semua orang-orang ini, yang gajinya rendah, hidupnya hancur. Terjadi proses percepatan ketimpangan yang kronis. Ini yang menurut saya adalah dampak paling mengkhawatirkan dari pandemi.
Peran pemerintah dalam menangani kelompok miskin terdampak COVID-19
Saya pikir hal terpenting yang bisa dilakukan pemerintah federal adalah stabilisasi kehidupan mereka dengan bantuan langsung, dnegan belanja infrastruktur yang masif sehingga rakyat di kelompok ini, maksud saya yang kurang berpendidikan, dapat meneruskan hidupnya (saat pandemi). Pada akhirnya kita cuma bisa melakukan hal ini untuk periode transisi tertentu. Saya paham bahwa ada concern soal defisit (yang membengkak), pula inflasi dan lain-lain. Tapi kalau kita tidak melakukannya untuk tahun depan, dan tahun berikutnya, kita tidak akan memiliki sebuah masyarakat (yang bertahan). Kita tidak akan punya ekonomi yang berfungsi, dan hal lainnya yang bermakna. Khawatir soal inflasi adalah sebuah kemewahan jika 30-40 persen dari penduduk di sebuah negara gak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bagaimana relasi AS dengan dunia? Pengaruhnya?
AS masih menjadi negara super power di dunia, jelas. AS sangat berkuasa dalam konteks ekonominya, dalam soal militer, bahkan dalam hal posisi politik dan budaya. Jika kamu pikirkan soal media sosial misalnya, AS dominan, apakah itu Instagram, Facebook dan semuanya. Tapi, apa yang berbeda tentang dunia, adalah dua hal. Kesatu, untuk pertama kalinya, dalam waktu yang cukup lama, AS memiliki pesaing yang riel, yaitu Tiongkok. Jika kamu tengok dunia saat ini, yang nampak adalah AS nomor 1, Tiongkok nomor 2. Namun, Tiongkok lebih besar dari empat ekonomi terbesar berikutnya yang dijadikan satu.
Artinya, jika kita lihat Jepang, Jerman, Inggris dan Prancis, dijadikan satu, Tiongkok masih lebih besar. Tiongkok adalah pembelanja alat militer nomor dua terbesar di dunia dan, ini lebih besar dari empat negara besar di atas, jadi satu. Jadi kita melihat munculnya dua kekuatan dunia. Kedua, kekuatan di dunia jadi lebih membaur karena setiap pihak lebih aktif. Ini saya jelaskan dalam buku terakhir, yang saya sebut sebagai meningkatnya kekuatan lain (di dunia), atau the rise of the rest.
Barat telah mendominasi dunia untuk waktu 200-300 tahun dan sekarang bagian lain dunia muncul. Kita lihat di negara seperti Brasil, Turki dan India. Mereka semua menunjukkan kondisi yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi di negara ini membuat mereka lebih percaya diri. Memberikan kebanggaan budaya. Hasilnya, tak ada negara yang bisa memerintah mereka seperti yang sebelumnya terjadi. Kekuatan dan kekuasaan (dunia) menjadi lebih membaur dan tersebar. Jadi, kita hidup di dunia yang sangat berbeda dengan kondisi pada tahun 1945 atau 1990. AS masih memiliki kekuatan yang sangat besar, namun kita melihat dunia yang sepenuhnya baru.
Bagaimana rivalitas Trump dan Xi Jinping?
Saya sangat khawatir. Saya sampaikan bahwa ketimpangan adalah hal yang paling saya khawatirkan sebagai dampak dari pandemi COVID-19. Hal berikutnya setelah itu, saya khawatir tentang kemungkinan perang dingin antara AS dan Tiongkok. Mereka tidak menanganinya dengan baik. Kita mulai ya. Xi Jinping lebih represif, bersikap lebih nasionalistik dibandingkan dengan pendahulunya. Dia menguatkan hegemoni Partai Komunis, dalam cara yang, berdampak baik bagi sistem ekonomi dan politiknya. Kita melihat, bagaimana kembalinya retorika era Mao dan sejumlah kiasan budaya. Kebijakan luar negeri Xi Jinping agresif, apakah itu terhadap India, Vietnam, Filipina dan tentu saja, AS.
Lantas, ada Trump, yang melihat hubungan dengan Tiongkok, sebagaimana dia melihat apapun, yang semuanya dipandang dari sikap narsistik, untuk melihat apakah itu bermanfaat bagi dia atau tidak. Jadi, dia mulai saat kampanye (2008), menggunakan Tiongkok untuk mendapatkan suara dari kelas pekerja AS yang merasa pabrik dan lapangan kerja mereka diambil Tiongkok. Saat dia menghuni Gedung Putih, Trump memutuskan dia ingin kesepakatan dagang yang lebih besar dengan Tiongkok. Dia ingin Tiongkok membeli lebih banyak produk AS, terutama di negara bagian yang dia incar untuk dimenangi dalam pemilihan presiden 2020. Dia menghujani Tiongkok dengan pujian, memuji Xi Jinping. Saat pandemi COVID-19, dia hampir saja secara memalukan memuji kinerja Tiongkok. Lalu, dia menyadari bahwa dia jadi sasaran kritik atas penanganan pandemi di AS. Di sini Trump mulai menyerang Tiongkok. Kita bisa melihat bahwa di bawah Trump tidak ada yang namanya kebijakan luar negeri AS berkaitan dengan Tiongkok. Yang ada adalah kebijakan Trump, yang basisnya adalah sikap narsistik dia, dan hasrat untuk menang dan kaalah serta mencetak poin.
Jadi, Trump meluncurkan serangan kepada Tiongkok, Xi Jinping menyerang AS. Yang sering dilupakan pihak AS, bahwa ada pihak yang dapat keuntungan dari situasi ini. Jika kamu terus mengobarkan histeria anti-Tiongkok di AS, hal itu akan menjadi amunisi bagi kelompok nasionalis dan garis keras di Tiongkok. Ujungnya terjadi kompetisi spiral. Yang paling saya khawatirkan adalah, dua negara ini adalah masyarakat yang paling dinamis di dunia. Mereka akan masuk ke kejar-kejaran persenjataan, di bidang senjata nuklir, di luar angkasa dan di ranah siber. Ini bakal jadi akhir dari sebuah sistem ekonomi dan perdagangan dunia yang terbuka. Dunia akan mengarahkan kiblatnya kepada teknologi Tiongkok atau teknologi AS, yang sangat berbeda dibandingkan dengan dunia yang kita huni dalam tiga dekade terakhir.
Soal Tiongkok secara agresif mengambil peran yang ditinggalkan AS
Well, Trump sebenarnya punya pandangan tentang dunia. Menurut saya, kita selalu berpikir Trump sebagai oportunistik dan dia, sebagaimana yang kita tahu, sekedar mengadopsi apapun kebijakan yang dipandang bakal membantu dia. Itu hampir semuanya benar, namun dia juga punya satu pandangan dunia yang konsisten. Saat dia menjadi developer real-estate tahun 1985-an, dia memuat sebuah iklan di New York Times. Anda tahu kan, Trump itu pelit, jadi dia mestinya penting banget, untuk pasang iklan yang sangat mahal yang dipasang di NYT sehalaman penuh. Pada dasarnya iklan itu adalah sebuah serangan terhadap sekutu tradisional AS. Itu serangan kepada Jepang, yang menurut Trump akan menguasai dunia secara ekonomi, dan kita tertipu dengan membiarkan Tiongkok masuk ke sistem perdagangan dunia. Itu serangan ke NATO. Itu serangan ke sekutu di Eropa. Itu tema konsisten pandangan Trump tentang dunia, bahwa kita (AS) dikoyak-koyak oleh dunia.
Secara keseluruhan sikap Trump adalah kebalikan dari pandangan yang dipegang oleh semua presiden sejak Franklin Roosevelt, yang mempercayai bahwa jika kita menciptakan dunia yang lebih stabil, jika kita tetap berhubungan, jika kita membangun arsitekur dunia yang terbuka dan berdasarkan prinsip liberalisme internasional, kita akan mendapatkan benefit luar biasa, karena AS, tentu saja, adalah negara terkaya di dunia. Kita ingin stabilitas. Kita ingin perdamaian. Kita ingin ketertiban. Semua presiden AS memahami hal itu, sampai kemudian Trump berkuasa. Jadi, kita melihat bahwa kebijakan luar negeri Trump adalah serial penarikan posisi, dan mundur (dari berbagai kesepakatan internasional). Secara terbuka Trump mengakui dia gak suka NATO. Dia menarik AS dari banyak perjanjian dunia, paling banyak yang dilakukan seorang Presiden AS. Itulah postur dari kebijakan luar negeri AS kini, yang tentu saja, menggerus tata internasional yang liberal yang kita bangun selama ini dan lebih dramatis lagi, menggerusnya lebih besar daripada yang dilakukan Tiongkok.
Soal kebingungan pemimpin dunia melihat sikap AS dalam berinteraksi dengan dunia
Saya pikir mereka (pemimpin dunia) mencoba mencari jawaban itu juga. Menurut saya, tentu menyenangkan untuk mengatakan, oh mereka berpikir yang terjadi adalah penyimpangan total dan kita akan kembali ke situasi normal, tapi mereka gak berpikir begitu. Mereka mencari jawaban atas sejumlah hal. Pertama, mereka ingin tahun, apakah ini bagian dari AS yang baru yang kurang tertarik memainkan peran di dunia? Soalnya Trump kan mewakili pemilihnya. Trump tidak menang suara terbanyak secara popular. Hillary Clinton meraih suara tiga juta lebih banyak dari mereka, tapi Trump tetap dapat suara banyak. Pesan soal nasionalisme, populisme dan proteksinisme mengena pada sebagian orang. Jadi, mereka (pemimpin dunia) juga berpikir, khawatir, apakah ini adalah semacam gelombang masa depan? Apakah ini Amerika yang baru? Banyak diantara mereka juga khawatir tentang apa artinya bagi mereka dalam konteks lepas? Apakah mereka harus mencari jalan sendiri-sendiri di dunia? Apakah mereka harus berpikir tentang dunia yang makin tidak terbuka, di mana mereka tidak lagi bisa bergantung kepada AS. Kita tahu bahwa sebagian bergeser secara besar.
Jadi, hal-hal diatas bukan sebuah pikiran percuma. Mereka sebenarnya sangat serius memikirkan bagaimana agar mereka bisa lebih mandiri. Kemudian memproduksi ramalannya sendiri. Ada negara-negara di Eropa yang juga bertanya-tanya, di luar Trump, apakah terjadi pergeseran besar soal perhatian AS terhadap Asia, dan menjauh dari Eropa? Apakah ini sebuah pergeseran yang sifatnya permanen? . Pastinya, mereka menganggap Trump bersikap agresif, vulgar, tidak peduli dan tidak bersemangat terhadap sekutu tradisional AS. Bahkan lebih dari itu.
Soal jika Joe Biden jadi presiden, apakah sulit jalin relasi dengan sekutu tradisional?
Tidak. Saya pikir berkaitan dengan sekutu tradisional, akan lebih mudah untuk normalisasi hubungan, sebagian karena Trump kan memang aneh dan menyimpang. Tapi, tetap akan terjadi navigasi ke dunia yang berbeda dari sebelumnya. Saya pikir, ide bahwa (Joe) Biden akan begitu saja bisa memperbaiki situasi kembali normal sepenuhnya, gak benar juga. Ini dunia yang baru. Dunia yang jauh lebih sulit dan rumit. Negara-negara jauh lebih aktif. Asia menjadi kian dominan. Lalu, ada isu sentral soal Tiongkok. Tantangan terbesar bagi Biden bukan soal menjalin hubungam dengan sekutu AS, melainkan bagaimana mengarahkan kebijakan terkait Tiongkok yang lebih bijaksana dan berdasarkan akal sehat, karena pada dasarnya ini isu kebijakan luar negeri yang rumit. Tapiiii, jangan lupa. Trump gak ke mana-mana, bahkan jika dia kalah. Mike Pompeo tidak ke mana-mana. Mereka ini akan terus mengkritisi, menyerang semua yang dilakukan Biden, khususnya yang berkaitan dengan Tiongkok.
Jadi, mari kita ingat-ingat, jika Donald Tump kalah, kita masih berada dalam lingkungan politik yang terpolarisasi dan mudah terbakar. Mengarahkan hubungan AS-Tiongkok melalui lingkungan itu bakal sangat sulit.
Soal krisis pandemi sebagai momen perubahan
Well, dalam cara yang aneh, pada saat kita memiliki kesempatan untuk membuat perbedaan, dan kesempatan membuat perubahan yang nyata, seringkali datang dalam masa yang suram, seringkali datang saat segalanya nampak benar-benar buruk. Dan itu karena di saat seperti itulah, kita bisa membuat orang benar-benar berubah. Kamu bisa membuat perusahaan berubah. Kamu bisa memaksa masyarakat berubah. Pikirkan saat Roosevelt dan “New Deal”. Dia (Roosevelt) bisa mengubah AS secara drastis karena saat itu situasi sangat berat. Kehidupan rakyat memburuk. Warga harus menerima banyak perubahan. Sekarang, pikirkan situasi yang kita alami saat ini. Banyak orang, masih saja, belum menyadari bahwa kita masih ada di situasi depresi paling parah sejak Depresi Besar. Hidup kita jungkir-balik. Kita menghabiskan waktu, hidup dalam kesendirian.Perusahaan harus mengubah cara bekerja. Kota-kota harus mengubah cara mereka mengurus dirinya selama pandemi.
Jadi, ini sebuah peluang, jika kita mau mengambilnya, untuk benar-benar maju ke depan, membuat sejumlah perubahan besar, yang kita tahu, kita inginkan. Kita harus melakukan sesuatu soal ketimpangan yang menjadi hal paling dramatis di kalangan masyarakat di negara Barat. Kita harus menyediakan infrastruktur yang penting. Kita harus memiliki sistem kesehatan yang lebih baik, yang dapat diakses rakyat miskin. Jika kita memanfaatkan situasi saat ini untuk bergerak ke arah itu, kita akan melihat kembali ke belakang, 10-20 tahun yang akan datang, bahwa ini adalah momen titik-balik. Kita akhirnya bisa melakukan perubahan itu. Ini bukan jaminan ya. Maksud saya, apa yang saya tulis, pada akhirnya terserah kepada masing-masing kita. Kita bisa lupa bahwa manusia punya pilihan. Kita tidak dikutuk untuk menjalani jalur yang orang pikir harus kita lalui, juga tidak ada jaminan bahwa kita akan memilih jalan yang benar. Tapi kita harus mencobanya, karena ini adalah momen di mana kamu bisa membuat perubahan.
Saya setuju ungkapan lama soal kebijakan pemerintahan. Krisis, jangan jadi mubazir. Ambil manfaatnya dan buat perubahan. Dan ini krisis yang sangat besar.
Soal tudingan Trump akan kecurangan suara di sistem lewat pos, dan pasca pilpres
Saya menuliskannya, karena saya khawatir soal itu. Dan saya pikir, saya layak khawatir karena satu hal yang kita tahu soal Presiden Trump adalah bahwa dia tidak akan berhenti begitu saja dan dia akan lakukan hal yang sangat meracuni kultur demokrasi di negara (AS) dalam konteks meragukan legitimasi suara, mempertanyakan, menyuruh orang untuk turun ke jalan (protes), mencoba membawa masalah ke pengadilan. Makanya, saya berharap agar pemilih Demokrat, dan saya harap juga pemilih Republik juga berpikir soal tanggungjawab nasional dan bagaimana melawan hal tersebut. Saya juga berpikir cara yang paling mudah, paling penting, paling kuat bagi kita menghindari situasi itu adalah mengalahkan Trump secara telak.
Kalau kita lihat jajak pendapat – saya paham jika semuanya akan teringat situasi saat (pilpres) 2016. Begini, Biden memimpin 2,5 kali dibandingkan dengan Hillary Clinton saat itu. Biden unggul di hampir semua swing states. Jika kamu mencoba melihat kembali – dan ingat, banyak negara bagian menghitung suara lewat pos terlebih dulu. Jadi, bahkan jika pemilih menggunakan hak suara lewat pos, tak perlu waktu lama untuk mengetahui kecenderungan hasil pilpres. Jika media melakukan tugasnya untuk mengingatkan pemilih bahwa ini bukan hari pemilihan, ini minggu pemilihan, menurut saya kita akan sampai pada situasi yang berbeda.
Saya bukan orang yang sangat partisan. Tapi dalam pemilu kali ini, saya sangat memikirkan bagaimana Donald Trump melukai institusi demokrasi negara ini dalam proses untuk mencoba dipilih kembali. Jadi menyampaikan bahayanya jika Trump terpilih lagi memimpin selama empat tahun ke depan menurut saya adalah (sikap) lebih dari sekedar soal partisan. Sangat penting bagi kita untuk tidak mejalani proses demokrasi dimana kekuatan negara digunakan untuk menafikan demokrasi. Saya menulis sebuah esai, 25 tahun lalu, berjudul, “The Rise Of A Liberal Democracy”, di mana saya mengingatkan soal ini, tentang para pemimpin yang dipilih secara demokratis atau pemimpin populer yang menggunakan kekuasaannya untuk merusak demokrasi. Dan saya harus mengaku, yang saya pikirkan adalah, Kazakhstan, Belarus dan Filipina. Saya tidak berpikir soal negara konstitusi tertua di dunia, yaitu AS. Tapi, itulah yang dilakukan Donald Trump. Dia menempatkan kita dalam liga yang sama dengan Belarus.
No Comment