HomeInspirasiSosok Natsir, Tokoh Modernitas Islam, di Mata Nurcholish Madjid

Sosok Natsir, Tokoh Modernitas Islam, di Mata Nurcholish Madjid

Mohammad Natsir sering disebut sebagai “pembawa hati nurani umat”.  Dianggap sebagai sosok pemikir dan pejuang yang menyelamatkan negeri ini dari perpecahan. Natsir pernah memimpin Jong Islamiten Bond (JIB) Bandung (1928-1932). Natsir pernah aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan di Persatuan Islam (PERSIS), serta anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tahun 1945-1946.

Natsir pernah menjabat sebagai menteri penerangan tiga periode pada era kabinet Sjahrir dan Hatta (1946-1949). Dia menjabat Ketua DPP Masyumi (1949-1958).  Pada saat Indonesia menjadi negara Serikat (RIS), sebagai produk Konferensi Meja Bundar (KMB), Natsir menolak tawaran Bung Hatta menjadi Perdana Menteri negara bagian RI di Yogya.

Abibullah Djaini memaparkan bahwa Natsir tetap melakukan lobi menghubungi negara bagian lainnya agar membubarkan diri dan bersatu kembali dengan negara kesatuan RI di bawah pimpinan Sukarno-Hatta.

Usaha ini ternyata tidak mengecewakan.  Dalam sidang Parlemen RIS, tanggal 3 April 1950, Natsir menyampaikan mosi yang memungkinkan RI bersatu kembali setelah terpecah-belah menjadi 17 negara bagian.  Mosi ini sangat populer dan dikenal dengan nama “Mosi Integral Natsir”.

Atas jasanya ini, Bung Karno mengangkat Natsir sebagai Perdana Menteri.  Jadi, Natsir adalah PM pertama RI.  Jenjang tertinggi dalam karir politik Natsir. Saat itu Natsir berusia 42 tahun.

Natsir lahir di Alahan Panjang, 17 Juli 1908.  Dia meninggal dunia pada  tanggal 7 Februari 1993.

Buku  “Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir”, adalah kumpulan tulisan dan hasil seminar yang dilakukan Youth Islamic Study Club Al-Azhar pada bulan Juli 1994 di Jakarta.  Buku ini diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, dan disunting Abibullah Djaini.

Salah satu yang menulis artikel di buku itu adalah Nurcholish Madjid, cendekiawan muslim yang sempat dikenal dengan sebutan “Natsir Muda”.

Saya memuat utuh tulisan Cak Nur untuk dibaca di blog ini. Selamat menikmati.

Buku Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir

Natsir, Seorang Tokoh Yang Universalis

Oleh : DR Nurcholish Madjid

Tulisan ini hanya renungan atau kesan pribadi saya karena saya tidak bisa mengklaim telah melakukan penelitian mendalam.  Tapi kesan pribadi mengenai Agama dan Kebijakan ini sudah saya geluti sejak saya menyadari persoalan yang kita hadapi sejak masa aktif sampai masa sekarang.

Kesan pertama, Pak Natsir adalah seorang manusia, dan sebagai manusia beliau humanis.  Pengertian humanis di sini adalah bahwa Pak Natsir menampilkan diri dalam nilai kemanusiaaan dalam bentuknya yang penuh.  Dan ini tentu saja karena beliau seorang muslim.   Kalau saya sebutkan pertama adalah manusia kemudian muslim.  Sebab, sebagaimana kita ketahui bahwa kita sebelum menjadi muslim memiliki fitrah manusia. Sedang muslim hanyalah atribut formal.

Dan setiap orang, dilahirkan dalam keadaan fitrah.  Dengan demikian kemanusiaan adalah primordial.  Artinya dia sudah melekat pada diri kkita sejak sebelum kita lahir.  Kemusliman Pak Natsir inilah yang membuat kita bisa mengetahui bagaimana Pak Natsir melihat hubungan agama dengan kebijakan.

Ada suatu teori yang tidak bisa dibantah ialah bahwa keyakinan seseorang mempengaruhi perilakunya, tidak saja dalam perilaku sehari-hari melainkan juga dalam sifat yang lebih besar seperti sikap politik, sosial dan sebagainya.  Karena itu kita bisa menduga bahwa Pak Natsir sangat banyak dipengaruhi oleh keislaman beliau. Ini terbukti tidak saja dalam tingkah laku yang tercatat dalam fakta sejarah.  Melainkan juga dari warisan intelektualnya berupa tulisan-tulisan.

Ketika beliau manusia, yang kemudian menjadi integral kembali karena keislamannya, dengan menggunakan Islam sebagai sumber ilham tingkah laku, maka kita dapati seorang Natsir yang sangat responsif terhadap perkembangan zaman.  Karena itu hampir semua literatur Barat berkenaan dengan Natsir dan Masyuminya, perkataan demokrasi dan keadilan sosial tak pernah lepas.

Artinya, mereka ini adalah orang-orang demokrat yang memperjuangkan demokrasi dan keadilan sosial.  Sehingga orang menyebut Masyumi adalah orang kiri muslim. Yakni, orang yang memiliki komitmen sangat emosional terhadap cita-cita keadilan sosial.  Saya kira produk-produk Cornell banyak mendukung hal ini.  Dan suatu ketika seorang orientalis bernama W. Montgowery Watt diundang menghadiri seminar tentang biografi Nabi Muhammad di Islamabad, pertengahan tahun 1970-an, salah seorang pesertanya adalah Mohammad Natsir.

Ketika diminta kesannya tentang seminar ini di depan civitas academica sebuah universitas di AS,  Watt menyatakan kekecewaannya kepada peserta seminar, kecuali Natsir.  Karena hanya Natsir saja yang mampu mengemukakan sosok Nabi yang memiliki kemampuan memberikan responsif terhadap perkembangan zaman. Malah, Natsir disebut Watt sebagai seorang akomodasionis yang kreatif.   Suatu istilah yang bersayap.  Natsir sendiri tidak setuju istilah itu.

Tapi yang dimaksud Watt bukanlah orang yang tidak punya prinsip melainkan orang yang tahu situasi, kemudian melakukan adjustment seperlunya.  Maka Natsir disebut kreatif.  Pengertian akomodasi di sini pun  bukan akomodasi pada pemerintah melainkan responsif kepada zaman.

Lalu, melihat argumen Natsir yang dijabarkan dalam tulisannya soal demokrasi, barangkali sudah tidak asing.  Tapi di tangan Natsir, demokrasi mempunyai dimensi dan interpretasi yang luas, seperti misalnya musyawarah.  Salah satu kata kuncin wawasan politik yang dikembangkan oleh Natsir adalah syura (musyawarah) sebagai konsep demokrasi.

Syura, dalam pandangan Natsir yang belakangan diterjemahkan sedemikian rupa, sehingga banyak kecocokan dengan konsep demokrasi modern.  Dan kita bisa menyimpulkan bahwa Natsir adalah seorang demokrat modern.  Yaitu memberikan setiap orang memiliki kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat serta menghargai pendapat ini.

Sejak semula orang-orang Masyumi, di mana Natsir adalah idola mereka, sangat artikulatif terhadap masalah hak asasi manusia, dan memang sejak semula mereka sangat sensitif  soal ini.  Dengan demikian saya kira motif perlawanan Natsir terhadap Bung Karno beberapa waktu lalu adalah lantaran Bung Karno dianggap sebagai orang yang merampas hak asasi itu.

Saya melihat Natsir adalah sosok yang optimistis menghadapi zaman, tidak takut modernisasi.  Natsir sendiri tampil sebagai Bapak modernis Islam di Indonesia.  Saya sering mmgemukakan bahwa Bapak Modernitas  Islam di tanah air adalah Haji Agus Salim.  Tapi Natsir penerus yang paling konsisten.  Alasannya antara lain adalah, karena Pak Natsir berpendidikan modern.  Analisa terakhir, Natsir dan Masyumi adalah merupakan suatu kelompok, kalau dilihat secara sosiologi, adalah kelas intelektual lapis pertama terbaik di tanah air.

Beliau-beliau ini adalah kelompok orang terbaik hasil episode Belanda dalam arti yang positif.  Apalagi mereka kemudian menjadi universalis. Tanpa menjadi nasionalis yang atavisme dan nativisme. Saya tetap melihat Natsir sebagai nasionalis. Buktinya beliau maju dengan “Mosi Integral” pada tahun 1950-an dan kemudian diberi kesempatan membentuk kabinet.

Tapi, dari celah polemik dengan Bung Karno dan lainnya, berkenaan dengan Nasionalisme. Kelebihan Natsir dari yang lain adalah Natsir bebas dari Atavisme dan Nativisme.  Atavisme adalah segala sesuatu dari masa lalu, yang selalu otentik baik.  Pak Natsir tidak melihat bahwa apapun yang diwariskan masa lalu selalu baik. Dan tidak juga beranggapan bawah paham yang berasal dari negeri sendiri adalah baik.

Namun sifat universalitas Natsir inilah yang justru mungkin menjadi sumber kegagalan beliau.  Yaitu ketika beliau menjadi universalis, dengan cita-cita yang tinggi, beliau seolah mengawang di angkasa dan tidak berpijak pada realitas kultural mayoritas, terutama suku Jawa.  Dan sepak terjang seorang universalis sebagai seorang yang berkeinginan membentuk masyarakat sedemikian ideal menjadi bagai lampu pijar di tengah lautan. Tapi karena tidak berpijak pada kultur yang ada di Indonesia, maka beliau tak bisa mengalahkan Bung Karno.

Tanpa mengabaikan segala kebaikan Pemerintah sekarang, kita harus memgakui bahwa kita menemukan kesulitan yakni kita kehilangan orientasi  pada nilai-nilai universalitas.  Misalnya, kebebasan, hak asasi,  dan nilai-nilai yang mestinya sudah kita serap dengan baik, setelah sekian lama merdeka, namun tercecer. Demikian pula dengan conflict of interest yang tak ada dalam nativisme.  Di samping kurangnya kesadaran bahwa mengorbankan untuk  kepentingan keluarga di atas kepentingan nasional adalah tindakan yang tidak sesuai dengan etika demokrasi modern.

Suatu thesa yang omong kosong adalah seandainya Natsir dengan cita-citanya yang tinggi juga mapu menerapkan konteks kultural setempat dalam titik rata-rata pola kultural Indonesia dari segi politik praktis, barangkali kita bisa melihat Natsir yang sukses.

Tentang Agama dan Ideologi, Natsir melihat agama dengan total, yang menunjukkan ketulusan beliau.  Tapi di sini saya sedikit berbeda dengan beliau.  Ketika Natsir megatakan bahwa Agama adalah Ideologi.

Menurut saya, agama adalah sesuatu yang lebih tinggi dari ideologi.  Bisa menjadi sumber ideologi.  Bahkan harus menjadi sumber ideologi bagi pemeluk agama. Tapi agama sendiri tidak boleh didegradasi sebagai ideologi.  Memang ini masalah rumusan apa yang dimaksud ideologi.

Karena itu, seorang muslim harus berideologi berdasarkan Islam.  Tapi bukan Islam itu yang ideologi.  Karena di sini ada masalah interpretasi, maka dalam ruang lingkup Islam yang besar, masih ada kemungkinan timbulnya berbagai ideologi. Bahkan kadang kala bertentangan.

Pemahaman Islam seseorang, diwarnai situasi kongkrit pengalamannya dalam konteks sosial dan ekonomi.  Meskipun secara sosial mungkin dibenarkan, menurut kenyataannya.  Kita boleh bertanya, sebetulnya pemahaman kita tentang agama didikte oleh masyarakat.  Tapi menurut saya kita harus mengangkat diri kita di atas situasi.

Oleh sebab itu jangan sampai karena kita merasa beruntung, maka agama kita adalah jenis agama yang mendukung keberuntungan kita.  Sebab kenyataannya, sepanjang sejarah memang begitu. Lihat saja paham Jabariah yang didukung habis-habisan oleh rezim Bani Umayyah.  Karena Jabariah mentolerir kekuasaan rezim Umayyah.  Menjawab oposisi Hasan al Bisri, Umayyah mrnjawab, “Apapun yang kami lakukan adalah atas kehendak Tuhan”.

Jadi, Agama masih memberikan ruang munculnya ideologi.  Oleh sebab sangat memungkinkan timbulnya pertentangan.  Maka lahir ideologi Jabariah, kadariah dan sebagainya.

Dan di zaman modern, tidak sedikit orang Islam karena situasi tertentu, mengambil Islam sebagai sumber faham sosialisasime.  Sebagaimana Cokroaminoto yang pernah menulis Islam dan Sosialisme.

Bagi kita yang relevan sekarang adalah Islam sebagai agama yang mendukung enterpreneurship.  Ini tidak salah, sebatas pengetahuan kita tentang agama sesuai konteks kita.  Tapi agama kita sendiri lebih tinggi dari apa yang kita fahami.  Karena itu bukan ideologi.  Ideologi adalah ketika kita mendukung entrepreneurship, dan ketika mendukung inisiatif sebagai sesuatu yang berharga.

Suatu hal yang dikagumi dari Natsir adalah komitmennya terhadap keadilan sosial.  Masyumi menghormati hak pribadi, anti feodalisme, anti kolonialisme.  Itu sebabnnya mengapa orang mengatakan bahwa Masyumi adalah orang kiri muslim.  Orang yang memperjuangkan keadilan sosial, memperjuangkan hak pribadi dan berhadapan dengan sistem feodalisme yang bercampur atavisme dan nativisme.

Berbicara tentang kontroversi dari segi legitimasi politik.  Izinkan saya menyempatkan diri mengungkap anekdot pribadi.  Saya bisa mengklaim bahwa saya tumbuh dari keluarga yang sangat Masyumi tapi hanya dalam politik, tapi dalam agama saya sangat Nahdlatul Ulama (NU).  Ayah saya dekat dengan K.H Hasyim Asyhari, ayah tetap bertahan di Masyumi ketika paman-paman saya keluar dari NU dan menyusul keluarnya NU dari Masyumi pada tahun 1952. Ayah saya bersikap demikian karena setia kepada Hasyim Asyhari yang pernah menjadi Rois Akbar Masyumi.

Hasyim Asyhari pernah membuat statement yang menyatakan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam yang sah.  Menurut ayah saya ini fatwa, tapi menurut saya ini merupakan statement belaka.  Dan rupanya ini tetap dipegang teguh ayah saya maka ia tak mau keluar dari Masyumi. Mengenai masalah legitimasi kepemimpinan.  Paman saya kalau menggugat ayah saya selalu mengatakan, “Anda ulama tapi pemimpin Anda orang sekolahan.”  Maksudnya, Pak Natsir Cs itu orang sekolahan.  Artinya dibalik ini mereka tidak mengakui keabsahan mereka ini sebagai pemimpin Islam.

Oleh sebab itu, keluarnya NU dari Masyumi bukan karena kedudukan tapi menyangkut masalah legitimasi politik.  NU beranggapan bahwa Islam harus dipimpin oleh ulama bukan orang sekolahan.  Ayah saya menjawab, sebagaimana sering diutamakan Masyumi pada setiap saat, terutama dalam kampanye, mengutip Al Qur-an, “Kalau suatu perkara diserahkan pada bukan ahlinya, tunggu saja saat kehancurannya.” Ayah saya berpendapat masalah politik diserahkan kepada orang ahli politik, yakni Masyumi.  Soal agama diserahkan kepada ahlinya, seperti orang Tebu Ireng.

Dalam perjuangannya, tampak ada kesan bahwa Pak Natsir mewakili kelompok sosial yang tidak meliputi semua lapisan masyarakat, mewakili kelas menengah.  Secara georafis, mereka adalah orang yang tinggal di kota-kota sedang.  Ini merupakan basis Masyumi yang kemudian sangat banyak dikaitkan dengan enterpreneurship, kewirausahaan pribumi.

Sekarang kita melihat suatu kerugian luar biasa.  Ketika Orde Baru pertama kali muncul, semestinya, alangkah baiknya kalau waktu itu, program pembangunan digarap oleh seorang entrepreneurship yang jenius.  Tapi ini tidak berjalan, karena ada gap kredibilitas politik yang sampai sekarang masih kita rasakan.##

 

 

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 4 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
Penulis dan Host CNN Fareed Zakaria Melihat Dunia Pasca Pandemi COVID-19
Next post
Tujuh Mantra Sukses Media

No Comment

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *