Juliah Sukamdani dan Memori Meliput Orang Terkaya Indonesia
Kabar meninggalnya Ibu Juliah Sukamdani saya terima dari Arief Budi Susilo, chief executive officer Koran Solopos, Rabu, 2 Desember 2020. Arief adalah jurnalis senior di grup media Bisnis Indonesia, yang didirikan oleh pasangan pengusaha Sukamdani Sahid Gitosardjono dan Kanjeng Raden Ayu Hajjah Juliah Sukamdani. Publik lebih mengenal pasangan ini sebagai sosok konglomerat yang membangun dan membesarkan Sahid Group, yang bergerak di bisnis perhotelan.
Padahal, pasangan ini memulai dengan bisnis percetakan, pada tahun 1950-an. Mulai dari nol, dengan modal simpanan berdua. Duit Rp 3.800 dibelikan dua mesin cetak bikinan dalam negeri, yang digerakkan tangan. Mereka menjalankan usaha dari rumahnya di kawasan Jalan Sudirman, yang kini kita kenal sebagai Hotel Grand Sahid Jaya.
Bisnis berkembang, selain bermitra mendirikan koran Bisnis Indonesia (dengan pengusaha Ciputra dan Eric Samola yang juga investor Majalah Tempo, ikut juga pengusaha Subronto Laras yang dikenal sebagai top eksekutif otomotif). Dari sini, Sahid Group beranak-pinak ke industri perhotelan, pariwisata, pendidikan, pertanian, konstruksi, tekstil dan perkebunan.
Sukamdani telah mendahului istrinya, meninggal pada 21 Desember 2017. Juliah meninggal dunia di usia 86 tahun. Posisi terakhirnya di grup adalah Wakil Presiden Komisaris PT Hotel Sahid Jaya International Tbk. Pasangan Juliah dan Sukamdani merintis usaha sejak menikah tahun 1953. Mereka dikaruniai lima putra dan putri, S.B. Wiryanti Sukamdani, Exacty B. Sukamdani, Nugroho B. Sukamdani, Hariyadi B. Sukamdani dan Sri Bimastuti Handayani Sukamdani. Putra-putri pasangan ini aktif dalam organisasi pengusaha, seperti Kadin, Apindo dan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI).
Saat bekerja di mingguan ekonomi dan bisnis Warta Ekonomi (akhir 1989-akhir 1996), saya pernah wawancara khusus dengan Juliah. Saya mengingatnya sebagai sosok perempuan Jawa, keibuan, selalu berpenampilan rapi. Ramah. Tegas. Rambutnya disanggul dengan sedikit sasakan. Sanggulnya juga khas, mirip gaya Jepang. Juliah saya wawancarai untuk edisi khusus “pasangan konglomerat”. Pada edisi ini, kami mewawancarai konglomerat, alias orang super kaya pemilik puluhan bahkan ratusan perusahaan. Beberapa kami pilih untuk ditampilkan karena peran signifikan sang istri dalam membangun dan menjalankan konglomerasinya. Kemitraan setara.
Selain pasangan Juliah-Sukamdani Sahid, saya mewawancarai pasangan Itjih-Sjamsul Nursalim dari Grup Gadjah Tunggal, Hartati dan Murdaya Poo pemilik kelompok Berca sampai Herlina – Prajogo Pangestu dari Grup Barito Pacific dan Tjandra Asri.
Saat itu Warta Ekonomi secara rutin setiap tahun menerbitkan edisi khusus: 200 Pembayar Pajak Terbesar, 100 Eksekutif Bergaji Tertinggi (di mana Tanri Abeng yang saat itu menjadi CEO Bakrie Group ada di posisi puncak dengan sebutan “Manajer Rp 1 Miliar”, yang menunjukkan gajinya), 250 Orang Terkaya di Indonesia, 50 Orang Terkaya ASEAN.
Saya pernah menjadi penanggungjawab maupun anggota tim berbagai edisi khusus itu. Data dasar dari penyusunan peringkat itu, adalah gabungan antara riset, baik yang dilakukan sendiri oleh tim riset Warta Ekonomi (saat itu dipimpin Mas Eddy Kuscahyanto), riset yang dilakukan oleh lembaga lain, seperti Pusat Data Bisnis Indonesia yang didirikan Christianto Wibisono, meneliti laporan keuangan perusahaan yang sudah go public dan tentu saja wawancara dengan eksekutif di perusahaan terkait, serta wawancara pendiri yang notabene adalah pemilik. Jelas lebih sulit ketimbang sekarang yang semua bisa dilakukan via daring termasuk akses data laporan keuangan. Tidak jarang kami harus mencari data ke perpustakaan publik, seperti di CSIS.
Sebagai penanggungjawab edisi khusus, tugas berat adalah mengkoordinasikan wawancara, menyajikan data riset dalam bentuk tulisan, memilih sudut pandang yang pas untuk main story alias cerita utama laporan khusus itu, cerita pendukung dan menulis profil-profil yang masuk dalam peringkat. Prosesnya bisa 2 bulan untuk satu edisi khusus. Penanggungjawab sudah ditunjuk setiap awal tahun.
Di era itu, belum ada telepon seluler. Para konglomerat tergolong sosok yang sangat sulit ditemui. Mengirim surat atau faksimili permintaan wawancara harus berhadapan dengan sekretaris, apakah bersedia meneruskan ke sang bos atau membuangnya ke tempat sampah. Mencegat narasumber di depan kantornya atau berburu di acara pesta yang diadakan perusahaan, adalah jalan yang biasa kami lakukan saat itu. Melelahkan. Kalau gagal hari ini, kejar lagi besok, begitu seterusnya. Sampai dapat.
Saya punya trik lain untuk menembus para konglomerat yang menutup pintu rapat-rapat bagi media (zaman itu mereka tidak peduli dengan pencitraan, opini publik, saking kuatnya posisi ekonomi dan tentu saja, pengaruh politik mereka). Pos peliputan saya terutama keuangan, moneter, perbankan. Dari situ saya menjalin jejaring dengan pejabat tinggi terkait dan bank pemerintah. Hampir semua konglomerat adalah debitur bank pemerintah.
Jadi, saya akan mengecek konglomerat itu debitur bank mana? Lantas saya meminta bantuan dirut bank pemerintah yang saya kenal karena pernah saya wawancarai, untuk membantu menghubungkan dengan konglomerat yang saya ingin wawancarai. Minimal dapat nomor telpon yang langsung ke mejanya, tidak lewat operator dan sekretaris. Bahkan bisa dapat nomor telpon rumah. Maklum zaman itu belum ada ponsel. Cara ini 99,9 persen jitu.
Posisi bank pemerintah saat itu juga unik. Para bosnya lebih suka di balik layar dan sulit juga diwawancarai. Tapi mereka memantau dari pemberitaan media, siapa wartawan dan media yang sering berhasil menembus wawancara dengan menteri dan pejabat tinggi lain.
Dalam suasana di era Orde Baru yang serba tertutup, tidak ada demokrasi, media dan wartawan yang sering mendapatkan wawancara eksklusif, mendapat kesempatan lebih besar untuk wawancara dengan pejabat di bawahnya, termasuk petinggi bank pemerintah. Ibaratnya, “kalau bos saya aja mau diwawancarai, mengapa saya tidak?”. Gitu kira-kira.
Saat menggarap 50 orang terkaya ASEAN, sempat dapat jawaban wawancara tertulis dari Thaksin Sinawatra, orang terkaya di Thailand yang kemudian sempat jadi Perdana Menteri.
Sukamdani termasuk diantara sosok konglomerat yang cukup terbuka kepada media. Dia mudah dikontak untuk diwawancarai. Sebagai pengurus Kadin dan masih ada hubungan kekerabatan dengan Presiden Soeharto (Ibu Juliah masih kerabat Ibu Tien Soeharto dari trah Mangkunegoro), Pak Kamdani sosok yang “dituakan” di jajaran konglomerat. Nyaris ada di setiap acara, mulai dari peluncuran bank, perusahaan sampai rapat pengusaha. Selalu sabar menjawab pertanyaan wartawan. Mungkin karena punya media juga.
Jadi, saat saya meminta waktu untuk wawancara dengan Bu Juliah, Pak Sukamdani memberikan rekomendasi. Bu Juliah praktis belum pernah diwawancarai media. Kecuali Hartati Murdaya Poo, para istri konglomerat memilih berposisi di balik layar. Padahal peran mereka sangat besar dalam pengambilan keputusan bisnis.
Selain menerbitkan edisi khusus soal peringkat orang kaya, Warta Ekonomi saat itu memiliki terobosan pula. Pendiri WE, Erlangga Ibrahim, memiliki inisiatif membuat Warta Ekonomi Business Club. Lewat WEBC, yang mensyaratkan keanggotaan eksklusif, Erlangga mendatangkan sejumlah tokoh pembicara kelas dunia, mulai dari Peter Drucker “Bapak Manajemen Modern”, sampai John Naisbitt penulis buku Megatrends : Ten New Directions Tranforming Our Lives dan Global Paradox. WEBC jadi trend setter klub eksekutif dengan narasumber super top. membangun komunitas pembaca.
Saya belajar banyak dari Erlangga Ibrahim yang juga dikenal sebelumnya sebagai aktivis mahasiswa ITB, untuk berpikir ke depan. Antisipasi. Sebagai majalah mingguan, kami diharapkan tidak ketinggalan dari koran. Jadi, saya ingat betul setiap kali rapat redaksi mingguan, Erlangga yang menjabat Pemimpin Umum (pemimpin redaksi WE almarhum Djafar Husein Assegaff), akan marah besar kalau ada yang usul berdasarkan berita koran hari itu. “Minggu depan tema itu sudah basi, digarap koran. Kita kan majalah. Mana informasi eksklusifnya? Tip berita?,” ujar Erlangga. Ucapannya selalu pedas, dan bikin degdegan setiap rapat. Wartawan harus siap. Penciuman berita harus tajam. Sebenarnya, tahun 1990-an itu dia sudah menginisiasi apa yang kini trendy disebut “Data Journalism” dalam artian berbasis riset. Erlangga pembaca buku yang rajin, termasuk buku terbitan luar negeri. Makanya kenal dengan sosok-sosok penulis buku kondang, dan tertarik mengundangnya.
Dari Pak Djafar saya belajar bagaimana berjejaring. Kewajiban menembus narasumber eksklusif. Pantang pulang ke kantor sebelum dapat wawancara. Jika sedang marah, suara Pak Djafar menggelegar, terdengar sampai ke lantai tiga tempat redaksi berkantor. Pak Djafar ruangannya di lantai dua, di kantor WE di kawasan Kramat, Jakarta Pusat. Menteri Bappenas Suharno Monoarfa, saat itu manajer majalah Mobil dan Motor, satu grup dengan WE. Kantornya di seberang kantor WE.
Kemarahan Pak Djafar tidak bertahan lama. Sesudah marah, beliau lupa. Saat beliau meninggal dunia, Lembaga Pers Dr Soetomo yang dia salah satu pendirinya membuat acara, peluncuran buku Tajuk Rencana yang ditulisnya selama hidup. Pada acara yang digelar 23 Juli 2013 itu, saya diminta bicara mewakili mantan anak buahnya yang tersebar di berbagai media, mulai dari Surabaya Post, WE, Metro TV, dan lain-lain. Menurut panitia, pihak keluarga yang merekomendasikan nama saya.
Saya membuat tulisan : “Tajuk-Tajuk Bawa Kenangan, bisa dibaca di blog ini juga.
Pak Djafar sempat bertugas menjadi Duta Besar RI di Vietnam.
Warta Ekonomi berhenti menerbitkan edisi khusus orang-orang terkaya itu tahun 2000-an, pasca Reformasi 1998. CEO Warta Ekonomi, Muhammad Ihsan mengatakan, ketika kepemilikan WE beralih dari Fadel Muhammad dan Erlangga Ibrahim ke keluarga Alisjahbana, mereka memilih fokus ke area Information Communication and Technology (ICT). Termasuk edisi khususnya. Ihsan lama bergabung di WE, sejak reporter. Dia masuk sesudah saya.
Kini, daftar orang terkaya diterbitkan Forbes, majalah terbitan AS yang memiliki edisi lokal, Forbes Asia.
Setiap tahun Forbes menerbitkan daftar 50 orang terkaya Indonesia. Jika di era 1990an sampai Reformasi 1998, bertahun-tahun pendiri Indofood dan lain-lain di kelompok Salim, Sudomo Salim alias Liem Sioe Liong selalu di puncak, menjadi orang terkaya. Belakangan yang berjaya adalah keluarga Djarum Group, Michael dan Budi Hartono. Termasuk tahun 2020.
Posisi atas sebenarnya masih didominasi nama-nama keluarga pengusaha sejak era Orde Baru. Keluarga Widjaja dari konglomerat Sinar Mas ada di peringkat ke-2. Prajogo Pangestu di posisi ketiga. Anthony Salim, CEO Indofood, putra Om Liem, demikian kami dulu menyebutnya, di peringkat ke-4. Prakash Lohia penerus grup Indorama yang besar di produk petrokimia di posisi ke-5, disusul keluarga Gudang Garam, Susilo Wonowidjojo di urutan ke-6. Chairul Tanjung pemilik Trans Media masuk ke daftar elit ini sesudah era Reformasi 1998.
Mengapa mereka bertahan? Padahal banyak konglomerat yang sempat limbung saat krisis ekonomi 1996-1997? Saya ceritakan dalam tulisan berikutnya ya. Saya sedang mengulang membaca buku berjudul, “Erzats Capitalism, Kapitalisme Semu”, yang ditulis berdasarkan riset Yoshihara Kunio, guru besar ilmu ekonomi di Pusat Studi Asia Tenggara, Universitas Kyoto, Jepang.
No Comment