POLITISI DI LAYAR KACA
Cuplikan siaran Metro TV ini
Anda tak perlu hadir di Senayan untuk mengikuti pertarungan kekuasaan antara Koalisi Merah Putih melawan Koalisi Indonesia Hebat, di awal masa sidang parlemen yang berlangsung pada Oktober 2014 ini. Cukup duduk manis di depan televisi, hujan interupsi, aksi meninggalkan ruang sidang, hingga gaya bicara Ceu Popong Djunjunan yang kental dengan logat Sunda-nya bisa kita simak dengan lekat. Ceu Popong berusia 76 tahun dan untuk ke-5 kalinya terpilih jadi wakil rakyat. Sebagai anggota DPR tertua, bersama anggota DPR termuda, Ceu Popong memimpin sidang paripurna pertama DPR untuk memilih perangkat pemimpin lembaga perwakilan rakyat itu.
Banyaknya kamera yang dikerahkan untuk meliput secara langsung rapat penting di parlemen, hingga sudut pengambilan gambar membuat kita yang menonton televisi bisa melihat ‘’drama’’ yang terjadi di ruang sidang paripurna, bahkan lebih jelas ketimbang yang hadir langsung. Soalnya kamera bisa melakukan zoom in, close up. Mereka yang suka dengan transparansi dan ingin mengakses rapat-rapat di lembaga pewakilan rakyat (dan institusi publik lain) harus berterima kasih kepada teknologi penyiaran, plus stasiun televisi yang menyiarkan peristiwa politik itu secara langsung.
Kini terserah pada Anda untuk mengambil kesimpulan: apakah setelah melihat tontonan itu Anda makin jatuh hati pada koalisi yang Anda dukung, atau Anda malah meninggalkannya.
Bagi para politikus di DPR, melalui tayangan televisi mereka bisa menyampaikan pesan kepada para konstituen bahwa mereka bekerja, memperjuangkan aspirasi masyarakat. Mohon maaf kalau Anda kemudian merasa jengkel melihat politikus yang bersikap heroik, mencari perhatian kepada majikannya di partai politik (dan dia pikir ke publik juga), menjadi genit ketika di depan kamera. Bahkan saya punya pengalaman bertemu dengan politikus yang berupaya agar senantiasa masuk televisi, dengan berbagai macam cara……………..errr…soal ini akan dibahas di tulisan lain.
Ini memang era siaran langsung. Televisi menjadi alat ampuh untuk menyampaikan pesan, memasarkan dirinya, hingga –bila perlu—memberitakan perilaku buruk lawan politik. Bagaimana sang politikus berbicara memukau dan efektif selama kamera menyorot dirinya, menjadi keahlian yang dipelajari berulang-ulang, dengan penuh ketekunan.
Politisi di Indonesia kini sudah sadar akan hal itu. Kursus bagaimana berbicara efektif di televisi, bagaimana berkomunikasi dengan wartawan, bagaimana menghadapi ‘’door stop’’ wartawan televisi, kini banyak dilakukan di berbagai perusahaan besar. Saya beberapa kali diundang pihak yang ingin mengetahui bagaimana cara kerja media, dan bagaimana trik menjadi ‘media darling’. Yang pasti bukan dengan mempertontonkan sikap kasar saat sedang berdebat dalam acara yang disiarkan televisi maupun radio 😉
Saya mendapatkan informasi, sewaktu mempersiapkan debat calon presiden, baik Pak Joko Widodo maupun Pak Prabowo Subianto juga berlatih berdebat di depan kamera. Pak Fauzi Bowo, yang kini menjadi Duta Besar Indonesia di Jerman, juga berlatih untuk berbicara di depan layar dengan efektif dan menarik. Presenter kondang televisi swasta bahkan jurnalis senior ikut menjadi pelatihnya.
Bila kita menengok ke belakang, tonggak sejarah politik masuk ke dunia televisi mungkin dimulai pada era presiden Amerika Serikat ke-32, Franklin Delano Roosevelt. Peristiwa itu terjadi pada 30 April 1930. Ia berbicara dalam rangka pembukaan Pekan Raya New York, pada 30 April 1939. Sekitar delapan tahun kemudian, pada 5 Oktober 1947, Presiden Harry Truman tampil di televisi dalam sebuah siaran yang disiarkan secara nasional, dari Gedung Putih.
Harry walmart sell prosolution pills Truman mencetak dua rekor sekaligus. Inilah untuk pertama kalinya seorang presiden bicara di televisi untuk siaran nasional. Rekor keduanya adalah, ia tampil di televisi berwarna.
Namun, presiden Amerika yang betul-betul memanfaatkan televisi adalah John F. Kennedy. Memperingati wafatnya presiden Amerika Serikat ke-35 itu, tahun lalu koran kondang dari Amerika, US News and World Report membuat tulisan berseri tentang sosok Sang Presiden.
Ia disebut sebagai ‘’presiden pertama yang betul-betul orang televisi’’. Bahasa aslinya: John F. Kennedy was the first true TV president. Dua pendahulunya, Dwight D. Eisenhower dan Harry Truman memang memanfaatkan televisi. Tetapi mereka dinilai kurang memahami bagaimana media baru ini bekerja, dan bisa mempengaruhi warga Amerika. Kepiawaian John Kennedy mengilhami dua presiden Amerika berikutnya, Ronald Reagan dan Bill Clinton.
Kennedy mempersiapkan diri dengan baik untuk tampil di depan televisi. Ia ganteng, gaya bicaranya jelas, efektif, dan kelihatan muda. Kennedy memanfaatkan dengan baik kecantikan istrinya, Jacqueline, untuk mendampinginya tampil di televisi.
Berkat televisi pula, John F. Kennedy bisa menjadi presiden Amerika. Sebagai senator yang muda, wakil dari negara bagian Massachusets, Kennedy kalah berpengalaman dibanding Richard Nixon yang delapan tahun menjadi wakil presiden, di bawah Presiden Dwight D. Eisenhower. Kennedy juga seorang Katholik, biasanya Presiden Amerika beragama Kristen.
Namun Kennedy beruntung. Ia mempersiapkan diri dengan baik untuk berdebat, yang ditayangkan melalui Stasiun CBS, di Chicago. Bersama timnya ia menginap di sebuah hotel, untuk berlatih tanya jawab. Kennedy mendapat keuntungan lain. Presiden Eisenhower dalam sebuah jumpa pers yang panjang, mendapat pertanyaan usil dari seorang wartawan: apa yang ia kenang akan kontribusi yang telah dilakukan wakilnya, Richard Nixon.
Dalam situasi capek setelah jumpa pers yang panjang, Eisenhower menjawab, ’’Sekalipun Anda memberi saya waktu satu pekan, jawaban saya cuma satu: tidak ada yang bisa saya ingat.’’ Kalimat ‘’Bahkan Presiden pun tidak ingat apa yang telah ia lakukan, itulah yang akan diingat para pemilih’’ diulang-ulang, dalam kampanye di televisi oleh John Kennedy dan timnya.
Debat antara Kennedy yang segar, ganteng, dan muda, melawan Nixon yang tua, capek, dan sedang flu, dengan mudah dimenangkan oleh si senator yang muda.
Bila Anda ingin membaca lebih rinci mengenai hal ini, silakan simak di sini.
Kini, era politik masuk televisi sudah hal lumrah. Yang saya maksudkan adalah era politik yang memanfaatkan televisi. Bukan konglomerat pemilik televisi yang ikut berpolitik. Hal ini akan saya kupas di lain waktu. Di Indonesia, era politik yang bertumpu pada televisi menemukan ruangnya sejak negara kita menerapkan pemilihan langsung untuk pemilihan presiden, gubernur, dan bupati.
Suara Pak Rudi yang seorang profesor nilainya sama dengan Pak Karim yang hanya lulusan SMP. Istilah populernya, one man one vote. Jika Indonesia seterusnya menerapkan pemilihan kepala daerah melalui DPR provinsi atau kabupaten, tentu peran televisi sebagai alat kampanye berubah drastis. Peran lembaga survei juga kian terbatas, misalnya melakukan survei popularitas calon yang disodorkan.
Masyarakat hanya menjadi penonton manakala kelompok yang bertikai menyodorkan calon yang diragukan kapabilitas dan integritasnya sebagai pemimpin lembaga tertinggi dan tinggi negara. Pagi ini saya membaca soal calon yang disodorkan dua kubu yang bertikai untuk kekuasaan di lembaga tertinggi negara. Dia? Dia?
Apa pendapat Anda soal calon-calon itu dan bagaimana peran televisi dalam demokrasi yang kita harapkan?
No Comment