HomeUncategorizedKISAH DI IPB : Menjadi Sunda dan Banondari

KISAH DI IPB : Menjadi Sunda dan Banondari

Ini Catatan Bang Rusdian Lubis di Facebook-nya.  Banyak yang menarik, terutama tentang masa-masa di IPB.  Beliau punya pengalaman luas, termasuk pernah menjadi CEO PT Freeport Indonesia dan bertugas di Asian Development Bank di Manila.  Belum lama selesai bertugas di ADB.  Seorang environmentalist, penulis yang bagus dan lincah bahasanya.  Memori-nya soal masa-masa kuliah di IPB sangat kaya.  Saya minta ijin Bang Rusdian, yang juga senior saya di Eisenhower Fellowships untuk menyebarluaskan tulisan-tulisannya.  Teman-teman alumni IPB dan yang bukan, silahkan menikmati.  Yang ingin menuliskan masa-masa di IPB juga, silahkan lho.****

***

Mahasiswa IPB perantau yang tinggal di Bogor apalagi di Dramaga atau Bapen (Babakan Pendeuj) tak bisa menghindar dari “menjadi Sunda” karena pengaruh bahasa dan kultur Sunda. Pengaruh ini tidak seberapa kuat dibanding ke alumni ITB atau Padjajaran. Tetapi bahasa dan kultur Sunda cukup membekas pada alumni IPB, tak peduli asal: Aceh, Bali, Makassar, Flores atau Papua. Banyak alumni IPB yang masih pandai bahasa Sunda lengkap dengan konsonan “f” dan “p” yang terbalik-balik. Meskipun tidak benar bahwa urang Sunda tak bisa mengucapkan huruf “f”. Eta mah pitnah !

***
Siapa Banondari? Puteri cantik anggun setia ini adalah permaisuri Dasamuka alias Rahwana. Banondari atau Mandodari (si Perut Lembut-bahasa Sinhala-Tamil) taat ibadah dan lurus hati. Dia seorang dari pancha kanya (lima wanita) yang amat dihormati dalam tradisi Hindu. Dalam kesenian Sunda, Banondari diabadikan dalam sebuah kawih (lagu) kliningan yang indah, mengharukan tetapi sekaligus erotis : Banondari atau Ceurik Rahwana.

Banondari, puteri raja raksasa Mayasura dengan bidadari Hema tak henti-henti menasehati suaminya yang sakti-mandraguna, berangasan dan gila perempuan. Tapi lepas dari kekurangan sang suami, Banondari amat mencintainya dan terus menganjurkannya untuk bertobat nasuha. Malam terakhir menjelang Rahwana perlaya ditembus panah Guwawijaya milik Rama, raja Alengka itu baru bertobat. Sedikit terlambat. Tangis penyesalan Rahwana juga diabadikan dalam kecapi-suling Ceurik Rahwana (tangis Rahwana) yang indah dan mengharukan. Kesetiaan Banondari kepada Rahwana dipuji dalam buku Ramayana karangan Walmiki.

Aku pengagum Rahwana dan pernah menelusuri jejaknya di Sri Lanka (Alengka) : ke Nuwara Eliya (taman Arga Soka), Kandhi- pusat kerajaan Alengka, Mannar, salah satu benteng pertahanan Alengka di pantai utara dan bukit –bukit di sekitar Galle di pantai selatan tempat Hanuman membuang potongan Gunung Maliawan yang ditumbuhi semak obat Lata Maosandi. Lalu apa hubungan menjadi Sunda dan Banondari ? Sabar dulu…ikutilah cerita erotis berikut ini.

***
Menjadi Sunda bisa datang dari berbagai faktor: indekos pada keluarga Sunda, punya pacar urang Sunda, praktek dan pengalaman kerja di tatar Sunda. Dalam kasusku: semua ‘intervening factors” itu berpengaruh. Tetapi menjadi Sunda yang paling intens adalah saat KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Jonggol –Sukamaju.

Tahun 1975-1976, menjelang penyelesaian studi, kami dikirim ke wilayah sekitar Bogor : Leuwiliang, Dramaga, Jonggol dsb. Itulah program KKN pertama IPB yang dikordinir oleh alm Prof. Fadholi Hernanto dari Biro Pengabdian Masyarakat. Aku kebagian di desa Sukamaju-Jonggol bersama Agus (Fatemeta) yang tinggi jangkung dan HP anak FKH yang sangar dan jago karate. Sengaja kupakai inisial HP karena aku masih ngeri dengan tonjokan tzudan-tsuki nya yang pernah membuat bibirku jontor di tempat latihan karate FKH Taman Kencana. Yulheri Abbas jadi saksinya.

Kami bertiga diinapkan di lantai atas rumah Lurah Halim yang,merangkap kantor kelurahan. Pak Lurah berbadan tegap, besar kekar, agak gemuk. Jabatan tangannya keras, sekeras bunyi tawa dan suaranya. Kumis dan berewok di wajahnya agak jarang seperti kumis harimau. Bermata sipit tajam menyelidik dan berkulit kuning – mungkin ada keturunan China . Wajahnya mirip Zhang Fei, salah satu tokoh dalam kisah Tiga Negara (Sam Kok).

Pak Lurah punya isteri tiga. Isteri pertama, Bu Lurah, cantik, bahenol berkulit kuning langsat sering kami dengar suaranya mengaji Qur’an. Kabarnya semua isteri Pak Lurah cantik dan bahenol nerkom. Satu tinggal di kota kecamatan dan satu di desa Sirnagalih.

Atas saran HP, program utama KKN Sukamaju adalah vaksinasi ayam. Penyakit tetelo atau New Caste disease atau berak kapur memang sedang merajalela di Jonggol. Penyakit itu amat ganas, ibaratnya: pagi tersengat- siang sekarat-sore wafat; sore tertular- malam menggelepar- pagi modar. Karena sulit menyuntiki ayam di siang hari, vaksinasi dilakukan sore hari sehabis maghrib sampai tengah malam. Jonggol masih hijau rimbun, becek dan penuh tanaman buah-buahan. Durian Soekarno yang montok manis asal Jonggol; mudah mudahan plasma nutfahnya dilestarikan!

Sebelum program dimulai, Pak Lurah mengumpulkan para kapala dusun di kantor kelurahan dan memberi pengarahan tentang program vaksinasi ayam ini. Katanya dengan logat Sunda campur Betawi ora : “ Paksinasi hayam ini fenting…fenting ! Supaya ayam-ayam lu pada kagak modar. Ingat pan dulu kita kena panyakit boek (cacar), jelema pada paeh atawa bopengan…kaya lu tuh! Salah satu kadus yang kebetulan bopengan cuma nginyem (senyum malu) ditertawai hadirin. “Sekarang pan kagak ada lagi panyakit cacar, itu karnah paksinasi..” lanjut Pak Lurah. Program Paksinasi Hayam kemudian bulat-bulat disetujui.Tidak ada korupsi dan manipulasi vaksin seperti vaksin flu burung.

Sejak itu, hampir tiap malam kami menenteng thermos es lilin berisi vaksin menyisir desa-desa sekitar Sukamaju tak peduli hujan dan atau lumpur. Lengkap atribut jas biru dan lambang IPB yang mirip penggebuk kasur-istilah Pak Andi Hakim- kami blusukan menyuntiki ayam ngantuk. Ada yang ngantuk mau tidur atau yang teklak tekluk ngantuk mau masuk kubur. Seringkali ayam-ayam itu berontak, mencotok dan mencakar. Masuk akal juga, siapa mau ngantuk-ngantuk disuntik?

Agus dan aku sebenarnya kurang setuju tentang pilihan program suntik ayam ini. Sebab tiap malam harus jalan kaki menelusuri sawah, ladang, kebun buah dan jalanan berlumpur blusukan ke kandang ayam. Tapi kami tak berani membantah HP yang gondrong-sangar dan pernah menghantam pecah preparat tengkorak sapi di Lab Anatomi. Seperti Jaka Tingkir menggeprak kepala kerbau jantan yang mengamuk didepan Sunan Trenggana di Demak.

Begitulah, setiap habis operasi menyuntiki ayam sampai menjelang subuh kami kecapekan menggelepar di atas lantai tanpa sempat mandi. Sayup-sayup dari tubuh kami meruap bau tujuh rupa…lima rupa diantaranya adalah bau tahi ayam dari segala jenis.

Sambil sarapan, HP memberi kuliah tentang jenis-jenis tahi ayam. Agus dan aku baru tahu bahwa ada ilmu tahiayamologi di FKH dan Fapet. Menurut HP tahi ayam bisa dibagi dalam tiga kategori; seperti steak Black Angus : encer lunak (rare), agak lunak padat (medium-rare) dan padat (well done). Semua kategori ini mempunyai sifat fisik-kimiawi dan pathologi, warna, bau dan jenis pathogen berbeda. Jenis tahi menentukan jenis penyakit, kata HP- kalau ayam berak encer putih itu berarti kena berak kapur alias sakit tetelo.

Sebagai penutup kuliah, HP bilang: ”Lu harus hindari kontak dengan jenis encer hitam-kehijauan (Jawa : telek lencung) karena baunya yang sadis. HP tertawa atau lebih tepat menyeringai; melawak pun dia tampak sangar. Setelah tiga kali kuliah dan praktikum lapangan kami menguasai ilmu tahiayamologi. Lalu apa hubungan program suntik ayam, tahi ayam, menjadi Sunda dan kawih Banondari ? Sabaaaar…ikutilah cerita erotis berikut ini.
***
Malam minggu di atas langit Sukamaju bulan kuning merebak seperti martabak sebelum dilipat dan dipotong-potong segi empat. Kami berjalan tertatih-tatih melewati galangan sawah yang licin ke arah sebuah dusun. Pagi hari tadi hujan tapi malam itu terang bulan. Pak Guru dan Pak Lurah malam itu menemani kami berjalan melewati sawah yang habis dipanen.
Kami bergurau dan tertawa-tawa, kecuali HP yang diam dan sangar. Ratusan kunang-kunang beterbangan. Bunyi jangkrik dan serangga malam nyaring di kuping. Sekali-sekali terdengar suara pungguk terceguk-ceguk pilu merindukan bulan. Karena cintanya tak kesampaian, burung sial ini bertepuk sebelah sayap.

Dari atas pohon jengkol terdengar burung hantu. Suaranya merdu: uhuu, uhuuu. Mungkin dia mengintai tikus yang pacaran di sawah. Bau jerami yang habis dipotong amat harum di hidung, manis dan segar. Diterangi cahaya bulan, desa Sukamaju amat indah dan syahdu.

Menyeberang sungai bening dan meloncati bebatuan, kami menuju rumah kepala dusun. Ini saran Pak Lurah : daripada kami blusukan (mohon dicatat, sebelum Jokowi, kami sudah blusukan) di kandang- kandang ayam, lebih baik masyarakat membawa ayam ke rumah kepala dusun. Tapi entah kenapa, malam itu para penduduk desa tidak kelihatan batang hidungnya.

Pak Kadus tergopoh-gopoh menyambut kami dan bilang maaf sebab malam itu ada yang hajatan atau keramaian. HP ngotot agar kami mendatangi kandang ayam atau di manapun tempat ayam bertengger tidur termasuk di pohon atau rumpun bambu. Agus dan aku saling pandang, kami sudah siap melawan. Suatu kali kami pernah menangkapi ayam di semak bambu duri. Badanku berdarah-darah tertusuk ranting tajam dan gatal bukan main karena miang. “ Gak mau, langkahi dulu mayatku” kata Agus. HP mendelik ke Agus, rupanya tertarik dengan tawaran itu.

Tiba-tiba Pak Lurah bilang: ”Udah laaah, kite nonton kliningan ajah yuk, pan ini malam minggu…sekali kali dah, woles woles aje kenape ”. HP mengalah dengan hati berat lalu kami berjalan menuju yang punya hajat. Adat Sukamaju, di akhir panen banyak orang punya hajat sunatan atau kawin lagi dengan atau tanpa ijin isteri pertama atau kedua atau ketiga.
Halaman rumah itu cukup luas dan bersih diterangi lampu petromaks. Di ujung halaman, ada panggung sedehana dihiasi gaba-gaba dari kertas aneka warna: “Selamat Datang Para Tetamu”. Seperangkat gamelan atau waditra dua-tiga kulanter /saron, gong, gendang, rebab dan kecrek. Para nayaga mulai menyetem alat musiknya. Rebab digesek, gendang ditaboki dan gong dibersihkan pakai lap usang. Belum tampak ada pesinden di panggung.

Tuan rumah yang punya hajat sunatan tergopoh-gopoh menyambut; bangga karena dihadiri Pak Lurah dan mahasiswa. Gigi depannya ompong seperti gawang sepakbola saat jeda. Kami diantar duduk ke kursi plastik kehormatan. Ada beberapa buah toples makanan kecil di meja. Hampir saja tanganku meraih, tapi Pak Guru membisiki : ”Itu tidak untuk dimakan…cuma pajangan. Bujug busyet.

Pak Lurah mengangsurkan angpau: ” leu ti urang kabeh (ini dari kami semua). Amplop diterima oleh seorang anak bersarung baru dan sesekali meringis menahan sakit. Kemarin dia merelakan sedikit kulit di bagian terpenting tubuh laki-laki disayat dan dibuang. Kulihat Pak Lurah sangat menguasai medan, matanya jelalatan menyapu ruangan.
***

Setelah sambutan singkat dari shohibul bait, kliningan dimainkan. Gending pembuka atau talu-talu. Nayaga menabuh gamelan dengan irama lambat mendekati hikmat. Bunyi kecrek ritmis mengiringi gendang sebagi pemimpin irama. Bunyi musik primal dan ugahari seperti detik jantung bayi. Tak bisa disangkal, Tatar Sunda menyimpan sisa-sisa kebudayaan purba, misalnya Tarawangsa di Sumedang Larang.

Kliningan adalah karawitan sekar-gending salendro dengan juru kawih atau sinden. Seni ini melibatkan pamogoran atau penari pria seperti pada Ketuk Tilu, Doger dan Tayub. Saat itu kliningan masih amat populer di Jonggol dan sekitarnya. Kliningan gaya Jonggol berasal dari daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang dan Bekasi),dikenal sebagai Kliningan Bajidoran dan dipengaruhi Topeng Banjet Betawi.

Pola tari Bajidoran mengikuti pola Ketuk Tilu Sunda misalnya dalam gerak: bukaan, pencugan, nibakeun dan mincid yang kemudian digubah menjadi tari Jaipongan oleh Gugum Gumbira. Beberapa gerak dasar Pencak Silat seperti Tepak Tilu, Tepak Paleredan dan Padungdung berpengaruh pada kliningan.

Awal tahun 1980 an, kliningan mulai kalah oleh jaipongan yang lebih modern dan sensual. Mungkin sekarang kliningan malah sudah tenggelam oleh dangdut koplo dan organ tunggal. Kadang-kadang beberapa lagu kliningan masih terdengar pada pagelaran alm. Wayang Golek Asep Sunarya dari Giri Harja.

Tak lama muncul tiga orang pesinden menaiki panggung. Dua pesinden kanan kiri masih remaja berdandan menor, sanggul berhias bunga plastik. Muka dibedaki tebal dan alis dipulas hitam. Tetapi yang menarik mataku adalah pesinden yang di tengah. Umurnya sekitar 30 tahun bersanggul besar, berhias bunga melati dan mawar. Badannya sintal, pinggul dan dada padat dibalut kain kebaya coklat ketat. Belahan kebaya menunjukkan kulit putih kuning langsat. Terjepit oleh korset, sepasang buah mengkudunya seakan mau meloncat.

Pesinden ini benar-benar cantik dan eksotik. Setelah menata selendang merah tua, dia menggangguk ke arah penonton dengan senyum tipis. Ditingkahi musik kliningan yang lambat dan ritmis, suasana menjadi erotis dan mendekati magis. Agus menelan ludah, beberapa kali jakunnya naik turun. Mulut HP ternganga, rupanya dia sudah lupa pada program paksinasi hayam. Mau modar mau paeh biarin aje deh. Pak Guru berbisik di telingaku: ”Pesinden itu bernama Enas dari desa Sirnagalih”. Lalu matanya mengedip ngedip. Aku tak paham maksudnya.
***
Irama musik makin gencar. Seakan membangun suasana bunyi gendang, kecrek dan kulanter makin keras. Tetapi sebentar kemudian melambat lagi. Enas membuka bibirnya yang merah basah dan mengalunlah lagu : Banondari. Kawih ini amat panjang dan bait-baitnya diulang-ulang :
Eeee Banondari anu geulis bojo si kakang sorangan, hiap kadieu geura sakeudeung, Aduh alah ieung, da leuleuweungan….

Nu geulis kawanti nu endah kabina bina
Geura-geura enung jung nangtung
Asa lalanjang gek diuk asa ti guling
Leumpang asa ngalongkewang, geulis

Nyangigir asa gigireun,
Nangkarak asa luhureun,
Nangkuban asa handapeun
Aduh alah ieung…asa handapeun…

Aku sengaja tak terjemahkan supaya kalian panasaran. Suara Enas agak serak. Matanya redup setengah mengantuk, mungkin karena sering manggung malam. Warna suaranya amat kaya, jazzy dan sexy, mirip Iga Mawarni.

Pak Lurah seperti tersihir, pelan-pelan berdiri dan ngibing ke arah Enas. Tangannya menyodorkan segumpal uang. Enas tidak menanggapi, memberi isyarat ke gadis sebelahnya untuk menerima uang itu. Bibirnya mengalunkan lagu Banondari lagi tetapi ditambahi improvisasi :

Aduh alah ieung, da leuleuweungan..
Pak Luraaaah anu gaduh desa Sukamaju
Nu kasep kawanti nu bageur kabina bina
Pak Luraaah, bapakna si Etty…
Anu kasep anu bageur
Pak Lurah meringis, mukanya rada jengah tapi lalu mengulurkan tangannya lagi. Kali ini Enas tersenyum tipis lalu memegang ringan telapak tangan Pak Lurah dan menggoyang-goyangkan seirama gamelan. Pak Lurah coba meremas tetapi Enas dengan sigap menarik tangannya.

Sementara itu, para penonton seperti kesetanan bererot maju ke depan sambil ngibing; lalu menyodorkan uang dan sepotong kertas berisi namanya ke asisten pesinden. Para pesinden remaja menerima uang dan kertas yang lalu dibacakan ke Enas.

Dengan manis dia menyambut tangan pemberi uang satu-persatu, sedikit acuh tak acuh seperti Dirjen menerima salam calon PNS pada saat Lebaran. Enas anggun, berwibawa, erotis magis – seorang pesinden kawakan, Tanpa henti, bibirnya melantunkan lagu Banondari sambil menyebut nama pemberi uang sebagai improvisasi, seperti jazz :

Aduh alah ieung…
Kang Aseeep Saepuddin anu kasep anu bageur.
Sok kapiemut kapieling beurang peuting…
Kang Aseeep anu sayang….

Mempeung urang tepung lawung
Kang Odjaaaaat Sudjatnika
Kang Sirooood Rasoma
Urang sosonoan heula,
Kang Aseep deui..
Kang Aseeep deui…

Menilik frekuensi nama yang disebut, kita bisa tahu siapa pengagum fanatik Enas. Tanpa perlu pembuktian statistika; nya eta Kang Asep tea. Malam itu dan mungkin malam sebelum dan selanjutnya; Kang Asep rela meninggalkan anak-isteri dan menghabiskan uang hasil panen padi untuk bisa memegang tangan Enas. Kang Asep anu kasep… anu gelo, kabina-bina …alah aduh ieung.

Sampai tengah malam, Enas masih menyanyi, tak tampak lelah dan tetap tanpa emosi. Beberapa lagu yang top saat itu: Mahoni, Tarotot Heong, Keser, dan Agus Heulang Jentul. Beberapa kali Enas tersenyum tipis malah agak sinis ke arah ke Pak Lurah yang tampak belingsatan seperti monyet mencium terasi. Aku heran : what’s going on ieu teh, aya naon ?

Tiba-tiba Pak Lurah memberikan sejumlah uang ke Pak Guru. Lalu, Pak Guru- yang wagu tur saru – ternyata bukan panutan kalau di luar kelas, menulis di sebuah kertas, maju ke depan dan mengangsurkan ke tangan Enas. Pesinden bahenol nerkom ini menembang Banondari lagi:

Ieung, akang HP (nama asli disebut Enas)
Hiap kadieu geura sakeudeung
Akang Aguuus anu kasep anu bageur
Cek kadieu…cek kadieu
Mengpeung urang tepung lawung
Urang sosonoan heula
Akang Iyaaaaaan (that’s me guys !); anu kasep, anu bageur… anu sayang

(Catatan : pada bait terakhir ini si Enas ngalirik ka sayah)

Pak Guru menarik kami dari kursi plastik kehormatan ke depan panggung. Para penonton menyisih atas isyarat Pak Lurah dan bertepuk tangan. Kami disuruh ngibing! Masih pakai jas biru dan lambang penggebuk kasur IPB kami ngibing mengikuti lagu Banondari yang erotik. Mula-mula malu-malu, tetapi Enas memberi semangat. Senyumnya merekah memamerkan gigi putih rata di antara bibir merah basah.

Irama kliningan makin semangat dan atmosfir di situ makin hangat. Local warming. Agus anak Minang gedongan lahir di Kebayoran, mencoba bergaya ajojing tetapi out-of-step dengan irama kliningan. Dia menari seperti ayam yang dipegang kakinya mau disuntik, menggelepar mengepakkan sayap.

Aku meniru gaya Pak Guru ngibing seperti monyet kebakaran ekor. Sekali-sekali aku bergaya tepak tilu dan padungdung, silat kembangan yang kupelajari dari Mang Onong di Babakan Sempur. Herannya, HP yang sangar dan kaku itu bisa ngibing dengan luwes. Belakangan aku tahu, dia anak Cirebon yang dibesarkan dalam kultur tarling Cirebon di pantai utara Jawa.

Menjelang tengah malam, semua pamogoran berhenti menari. Enas tahu isyarat ini. Seperti dewi turun dari langit,dia turun dari panggung dengan anggun dan tersenyum tipis misterius mengajak Pak Lurah ngibing. Penonton terpaku melihat ibingan Enas, gaya tarinya ringkas, tidak meliuk-liuk seperti penari jaipong koplo. Gerak mata, lengan, dada dan pinggul amat sexy sekali. Sesekali, ketika merendah penonton bisa melihat sepasang buah mengkudunya mau meloncat tetapi …..tidak jadi. Semua aman terkendali.

Tarian Enas erotis tetapi tidak vulgar. Gerak lengan dan liukan tubuhnya yang sintal padat itu mirip gerak Bedaya di keraton Solo. Sebaliknya, Pak Lurah menari dengan gagah. Geraknya keras dan cepat mengikuti suara gendang dan kecrek yang meriah. Aku kenali beberapa jurus silat tepak tilu, tepak paleredan dan silat Beksi –gaya kungfu Betawi yang agak mirip Wing Chun gaya Macan Selatan. Gerak tangannya luwes tapi bertenaga. Pak Lurah jelas jago silat !

Untuk meramaikan suasana, beberapa kali Pak Lurah yang bangor ini mencoba meraba bagian dada atau pinggul Enas. Tetapi dengan sebat Enas bergeser atau menangkis. Ujung selendang merahnya yang berhiaskan benang perak berkelebat mengarah ke muka dan mata. Pak Lurah lalu mundur teratur. Bujug buneng, inilah ilmu silat kebutan Dewi Koan Im. Penonton bersorakan dan berkakakan melihat tingkah pemimpin yang mereka cintai ini. Menjadi pamingpin sekali-sekali harus ngabodor. Tidak harus selalu pasang muka perang, apalagi marah-marah terus.

Wajah HP berubah-ubah. Aku kira dia jatuh cinta pada ibingan pertama kepada Enas pesinden cantik ini dan cemburu ke Pak Lurah. Agus cuma ngajentul bengong seperti penghuni asrama Cilendek kalau lagi mellow. Di antara keindahan tarian, hatiku bertanya-tanya, kenapa Enas tampak sinis, gemas, marah tetapi juga seolah-olah rindu kepada Pak Lurah? Pertanyaanku akan terjawab nanti. Jangan berhenti, read on !

***
Lingsir malam acara kliningan bubar. Kami pulang, menyeberang sungai berbatu dan sawah-sawah habis panen. Bunyi katak di sawah dan serangga ramai. Malam masih gelap, tetapi bulan mulai memucat dan lingsir ke barat. Bintang-bintang di langit mulai menghilang. Tak lama lagi, di ufuk timur akan semburat cahaya fajar dan matahari akan menggantikan rembulan.

Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.(AQ 6: 96)

(dan ) tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.( AQ 36:40).

Kami berjalan bererot di sepanjang galangan sawah. Paling depan, Pak Guru lalu aku, HP dan Agus. Kami bertanya kenapa Pak Lurah tidak ikut pulang? Pak Guru bilang: ”Pak Lurah menginap di Sirnagalih, di rumah Enas…. isteri ke tiganya. Mereka punya anak gadis kecil: Si Etty”. Lanjut Pak Guru dengan semangat bertutur ala penggosip selebriti : “Enas jarang ditengok karena profesinya sebagai pesinden, lagipula Bu Lurah merasa tersaing karena Enas lebih muda dan lebih cantik ….dan seterusnya”.

Aku terdiam karena sejak awal sudah curiga. Terdengar suara ceguk-ceguk bernada pilu di belakangku. Aku kira bunyi pungguk merindukan bulan tetapi bunyi itu keluar dari mulut HP. Cintanya ke si Enas putus di tengah sawah, tak kesampaian.

Menjelang fajar kami sampai di rumah Pak Lurah ketika ufuk timur langit mulai semburat merah. Dari masjid kecil ditepi jalan azan subuh telah berkumandang tetapi shalawat dan puji-pujian masih bergumam. Pagi itu, Sukamaju damai dan syahdu. Di halaman kelurahan, ayam-ayam jantan mulai berkokok dan ayam-ayam betina ribut menggiring anak-anaknya.

Seekor ayam jantan mencotok-cotok sesuatu di tanah, mungkin seekor kumbang tanah yang kepagian. Si jantan memanggil seekor betina jomblo lalu berputar-putar dan menungganginya. Ekor si jantan meliuk kebawah dan ekor si betina menengadah. Sanggama berjalan secara cepat dan effisien, tak lebih dari satu menit. Ayam jantan punya sifat baik : selalu bangun pagi dan memberi makan betina-betinanya. Poligami di partai keadilan unggas tak pernah dipersoalkan.
Diloteng, Agus langsung ngejoprak kelelahan tidur tanpa salat subuh. HP cepat-cepat salat, lalu mengenakan celana karate dan kaus oblong turun kebawah berjalan kearah balong ikan dikelilingi pohon turi. Hampir tiap pagi dia latihan sanchin kata -pernafasan karate ajaran Chojun Miyagi. Pagi itu teriakan “kiaaai” nya tidak bersemangat atau bergairah tetapi bernada sakit-pilu-marah seperti jerit binatang liar terluka parah.

Aku juga pakai sarung dan kaus oblong beranjak ke sumur untuk mengambil wudhu. Ada kamar mandi di belakang tetapi baknya harus diisi. Karena malas aku lebih suka aku mandi gebyur pakai timba disumur. Menuju kearah sumur, tiba-tiba mataku membelalak dan kakiku seakan terpantek pasak melesak ketanah !

Di antara semburat langit kemerahan, kulihat Bu Lurah mandi bertelanjang dada, cuma mengikatkan kain tipis dibawah pusarnya. Usia wanita cantik ini sekitar 35 tahun tetapi anak tiga tidak memudarkan kecantikannya. Mata Bu Lurah meram karena sebagian rambut, muka dan dada tertutup busa sabun. Masih tetap meram, dia mengguyur muka dan dadanya.

Busa busa sabun luruh membasuh muka- pipi- leher -lekukan di leher- dada- lekukan payudara lalu mengalir melalui dua gunung yang kemerahan ditimpa cahaya fajar kearah lembah perutnya Dadaku berdampung-dampung dan jantungku seakan meloncat kemulut. Tiba-tiba mataku membelalak ke arah perutnya yang lunak lembut itu. Ah, Banondari, bu Lurah Banondari….Mandodari si Perut Lembut aduuuh alaaah ieung! Nyanggigir asa gigireun, nangkarak asa luhureun, nangkuban asa handapeun…Banondariiiiii.

Bu Lurah membuka mata, bibir merah basahnya sesaat mau menjerit. Warna merah merona pada kedua pipinya yang montok lembut seperti durian Jonggol. Aku ketakutan setengah mati, dikira mengintip orang mandi. Pikiranku resah. Tapi tiba-tiba Bu Lurah tersenyum tipis manis renyah seperti martabak tipker Bandung. Lalu pelan pelaaaaan sekali dia melibatkan handuk kerambut lalu pelaaaaan menarik kain tipis untuk menutupi perut dan dadanya.

Kemudian dengan acuh tak acuh dia lewat disampingku sambil menggoyangkan kepala dan membuat beberapa butir air menciprat kewajahku. Matanya melirik dan tersenyum geli melihat perubahan anatomis yang menyundul sarung dibawah perutku. Aku pemuda sehat berumur 22 tahun. Malam tadi dia tidur sendiri. Pak Lurah Halim alias Dasamuka tidur sama Enas, isteri ketiganya.

Segera kubatalkan niat mengambil air wudhu karena waktu subuh juga sudah lewat (alasan!). Aku jalan kearah balong ikan dan kulakukan sanchin kata mengikuti ajaran Chosun Miyagi. Sanchin (tiga pertempuran) adalah olah napas karateka untuk menyatukan badan-pikiran-jiwa (mind-body-spirit) atau bumi-manusia–langit.
Tapi tak ada gunanya, karena badan, pikiran, jiwaku sudah tak mau disatukan. Masing-masing berloncatan keempat penjuru kiblat. HP terheran-heran melihat aku melakukan sanchin pakai sarung. Pagi itu, kalau teriakan kiaaai HP terdengar pilu-sakit- marah seperti binatang liar terluka parah, teriakan kiaaaiku lebih mirip lengkingan gajah tunggal diamuk birahi.

How useful was this post?

Click on a star to rate it!

Average rating 4.1 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Previous post
MELIPUT BENCANA: BELAJAR DARI KESALAHAN SAAT "BREAKING NEWS"
Next post
KISAH DI IPB : PAK ANDI, STATISTIKA DAN SARJANA 4 TAHUN

2 Comments

  1. Muhar
    September 1, 2015 at 6:43 pm — Reply

    Saya mendeteksi ada nama Kang Sirod Rasoma di dieu… hahaha…

  2. Muhar
    September 1, 2015 at 6:43 pm — Reply

    Saya mendeteksi ada nama Kang Sirod Rasoma di dieu… hahaha…

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *