KISAH DI IPB : PAK ANDI, STATISTIKA DAN SARJANA 4 TAHUN
Ini Catatan Bang Rusdian Lubis di Facebook-nya. Banyak yang menarik, terutama tentang masa-masa di IPB. Beliau punya pengalaman luas, termasuk pernah menjadi Executive Vice President/Deputy CEO PT Freeport Indonesia dan bertugas di Asian Development Bank di Manila. Belum lama selesai bertugas di ADB. Seorang environmentalist, penulis yang bagus dan lincah bahasanya. Memori-nya soal masa-masa kuliah di IPB sangat kaya. Saya minta ijin Bang Rusdian, yang juga senior saya di Eisenhower Fellowships untuk menyebarluaskan tulisan-tulisannya. Teman-teman alumni IPB dan yang bukan, silahkan menikmati. Yang ingin menuliskan masa-masa di IPB juga, silahkan lho.****
Cericit burung gereja terdengar nyaring di pagi hari yang sejuk di depan lab biologi menghadap Mahatani di kampus IPB Barangsiang awal tahun 1972. Sekelompok calon mahasiswa yang dipanggil tim seleksi IPB tanpa test UMPTN berderet disepanjang koridor. Beberapa mahasiwa senior IPB menengok dengan sinis kearah kami : angkatan pertama sarjana 4 tahun IPB. Saat itu, program sarjana 4 tahun ide Pak Andi yang meniru pendidikan Amerika dapat tantangan keras tak hanya diluar di luar tapi juga didalam IPB.
Belakangan kami tahu, yang sinis dan ngiri adalah para mahasiswa ‘abadi’ dan para residivis yang akhirnya gabung ke angkatan 4 tahun. Ku perhatikan muka mereka rata-rata sangar. Apalagi yang berambut gondrong seperti yang jadi mode saat itu. Tapi ada juga mahasiwa senior yang cunihin dan ganjen. Mereka sok ramah dengan calon mahasiswi yang wajahnya bening, seperti Retno, Rini dan Mariana. Cewek-cewek inipun tiba-tiba jadi lincah dan ketawa-ketiwi loncat sana sini kaya petasan banting. Belum ada facebook pun mereka sudah narsis. Sickening !
Jaman itu, memang sangat jarang mahasiswi IPB yang berwajah bening kecuali yang dari Jakarta, Bandung atau kota besar lain. Mahasiswa apalagi, mereka datang dari daerah, lecek, kumal, kampungan bergerombol atau jalan wira wiri seperti laron merubung petromaks : si ganteng Janes dari Siantar- seminggu naik bus ALS (Antar Lintas Sumatera); si hitam Cyl Bau Engo dari Mboawae- Flores tiga minggu dipanggang matahari di geladak kapal Santa Maria; si kurus Masdulhaq dari Lampung berbau asam formiat pengental karet; si serius Erik dari Ambon, si gila Jabir datang membawa badik dari Pare-Pare dan aku, yang dibanding mereka, rada kinclong ……dari Gombong !
Satu persatu kami dipanggil oleh Tim Seleksi yang diketuai Pak Andi dan beranggotakan antara lain Pak Pallawarukka bangsawan Bugis Bone yang cakep dan Pak Barizi dari Kalimantan yang amat sangat pintar. Ketika memanggil calon, suara Pak Andi bergumam atau lebih tepatnya mirip suara orang berkumur dari ambang pintu. Hari itu acara TimSeleksi memeriksa ijazah dan rapor SMA dengan segala kelengkapannya.
Semua berkas itu kusimpan didalam slempitan map kertas Manila lusuh. Aku dekap map itu seharian di bus mulai dari Pasar Genjing- Salemba- lapangan Banteng-Cililitan- Cibinong -Bogor sembari berdiri berdesakan dengan tukang buah dan pekerja pabrik semen Cibinong. Bau kemejaku sudah tujuh rupa.
Suara Pak Andi menggumam : “ Khhussdian Lubiss dakhii…..Solok, eh Sssolooooo…haah ? (beliau tak bisa ucapkan “r: tetapi “kh”). Aku dengar Pak Palla cekikikan dan beberapa asisten cekakakan dari ruangan Tim Seleksi. Lubis dari Solo ? Kali ini Pak Andi mendekatiku untuk meyakinkan bahwa seorang bermarga Lubis lahir di Surakarta Hadiningrat dan lulus dari SMA Gombong adalah bukan kesalahan historis atau geografis.
Pak Andi yang tinggi besar dan angker berjalan mendekati dan menggeram : “ Kauuuu ?’ Nyaliku terbang keempat penjuru kilblat melihat tongkrongan beliau :” Iiiiya pak…. “ “ Masukkk…”sekilas kulihat Pak Andi tersenyum geli ditahan. Senyum khas beliau. Asli, aku tak ingat jelas wawancara itu, tapi kira-kira begini.
“ Kau lahikh di Solo, lulus dari…. Gombong hem benakh ? Mana surat kelahikhan dan rapokh ? Haduh, aku tak punya surat kelahiran sebab aku lahir dirumah Kratonan Solo dibidani Bu Senti dan dibantu Eyang dan disaksikan dua pembantu wanita. Cuma ada surat kenal lahir yang juga tidak kubawa. Dengan susah payah kuterangkan dibawah sumpah bahwa : (a) aku pernah lahir dan (b) lahir di Solo. Untung beliau kemudian tak ambil pusing. Mungkin karena aku sudah lahir. Lain soal kalau orang belum lahir tapi sudah melamar ke IPB.
Beliau lanjutkan :” Rapokh SMA…?”. Kutunjukkan rapor SMA Negeri Gombong dengan bangga. Nilai-nilaiku bagus, matematika, kimia, fisika, biologi dan bahasa Inggris selalu 8 atau 9. Selama kelas satu dan dua aku selalu juara kelas. Tiba tiba Pak Andi tanya pakai bahasa Inggris :” But… why did your grades get worse ….di kelas tiga ? Dengan bahasa Inggris aksen Gombong ajaran Pak Suparjadi aku buat bermacam alasan untuk menutupi fakta -seperti koruptor di pengadilan Tipikor. Aslinya, nilai itu turun karena “girls (mind you, plural) problems”. The fact is I am not bad looking. Hehe.
Pak Andi mengangguk angguk, tapi tiba-tiba melotot, nilai agama dan budi pekertiku merah di kelas 1 dan nilai PKK merah dikelas 2. Ini akibat sering membantah Pak Thoha guru agama Islam dan menggoda Bu Ridati guru PKK di SMA. Kedua nilai itu hampir membuatku tak naik kelas, kalau saja ayahku yang wakil komandan batalyon infantry 406 Gombong tidak “melobby” kepala sekolah dengan senjata lengkap.
Pak Andi :” Hmmmm..” sambil menunjukkan nilai itu ke Pak Palla. Dibalik bajuku yang lepek keringat dinginku mengalir Aku takut kalau nilai dua mata ajaran itu memvonis aku tidak pantas masuk IPB atau malah tidak masuk ke surga nanti. Astagfirullah. Apa jawabku kalau ditanya nilai agama merah ? Apa aku akan bilang karena lahir dalam kultur Jawa Solo maka Islamku abangan. ? Urusan PKK ? Aku akan bilang bahwa menteri, isteri menteri dan isteri Presiden RI juga tak becus urus PKK. Pak Andi tidak bertanya lebih lanjut. Case closed.
Setelah berbincang sejenak dengan bahasa Inggris, Pak Andi dan Pak Palla mengangguk angguk. Pak Andi :” Hmm, Ok, kau sudah selesai…. keluakhnya…. lewat pintu itu…” Sebelum aku angkat pantat, Pak Palla memberiku jadwal ujian khusus IPB tiga hari mendatang di aula Peternakan Gunung Gede. Beberapa dosen muda : Bang Ansori Mat Tjik, alm. Bang Krisnamurti Hasibuan dan mahasiswa senior Mas Siswadi pada senyam-senyum mengiringi Batak Solo ini keluar pintu.
Pagi itu, aku keluar ruang dengan hati cerah seindah bunga merah Delonix regia sp di lapangan yang sekarang jadi Botani Square. Pohon besar itu sudah ditebang atas nama pembangunan dan bisnis IPB. Kubayangkan wajah ayah ibuku di Gombong yang empat tahun mendatang akan membanting tulang-kalaupun ada tulang yang bisa dibanting untuk membiayai sekolahku. Tetapi mereka bangga sebab satu langkah untuk menjadi mahasiswa sudah diambil oleh anak sulungnya. Seperti Julius Caesar menyeberang sungai Rubicon. Burung gereja masih mencericit riang diatap warung Mahatani, seekor terbang kearah atap laboratorium kimia analitik.
***
Ketika kuliah mulai, Pak Andi mengajar Matematika di TPB (Tingkat Persiapan Bersama ). Kami yang terbiasa mendapat pelajaran Aljabar dan dasar-dasar kalkulus (differensial integral) di SMA agak kaget mendapat pelajaran landasan matematika ‘ non-Euclidean’ seperti Teori Gugus (Set Theorem).
Sebenarnya. landasan matematika adalah pra-kalkulus yang mengajarkan matematika bukan sebagai alat hitung, tapi alat berpikir kuantitatif dan logika. Buku yang kami pakai waktu itu adalah buku karangan Pak Andi : Landasan Matematika yang menjadi klasik, kemudian meningkat ke Aljabar Matrik, dan Teori Statistika pada semester –semester berikutnya.
Pak Andi mengajar dibantu oleh Pak Barizi, Pak Syarkani, Bang Ansori Mat Tjik, Bang Krisnamurti Hasibuan, Bang Rauf Rambe, Mas Siswadi, Kang Memed, Mas Gunawan, dan asisten yang lebih muda : Mas Samsun, Alex Hartana dll. Jurusan Statistika dan asisten –asisten Pak Andi kemudian menjadi kelompok elitis di IPB karena terkenal pintar-pintar. Crème de la crème.
Para asisten Pak Andi mudah ditandai karena dipinggangnya tergantung kalkulator Texas Instrument (TI) dan gaya jalan petentengan kaya cowboy Texas membawa pistol Colt. Kalau tak salah, kalkulator mereka adalah model TI SR-50*. Kalkulator yang punya fungsi sebagai slide-rule untuk mencari pangkat dan akar, factorial, trigonometri, hiperbola dan fungsi logaritma berbasis 10 dan e(x); 14-character LED display and pi key. Kalkulator mahal ini membuat mereka bagaya.
Saat itu, kalkulator adalah barang luks dan tak semua orang punya. Juga sangat ‘powerful’ untuk keperluan hitung menghitung seperti pada praktikum fisika. Suatu kali Mariana yang bermata besar dan ganjen meminta tolong Bang Krisna untuk menghitungkan data hasil praktikum. Seharusnya dia menghitung pakai slide rule, instrumen yang sekarang masuk museum.
Bang Kris bermuka menyeramkan seperti security tetapi hatinya lembut seperti Hello Kitty. Dengan sebat, seperti Buffalo Bill Cody, Bang Kris mencabut Texas Instrument dari pinggang dan bum bum bum, dalam waktu 1 menit hitungan ini selesai. Kalau pakai slide rule barangkali makan waktu 30 menit. Karena Mariana sukses, aku juga dekati beliau untuk bantu hitung hasil percobaanku. Bang Kris menggeram ;” Hah, enaak aja kauuu. Hitung pakai slide rule ! “ I hate slide rule.
Saat itu, amat jarang mahasiswi menjadi asisten statistika; kecuali mereka yang lulus matematika, aljabar matrik, metoda statistika dan teori/inferensia statistika dengan memuaskan seperti Rini dan Tati. Keduanya lalu menjadi asisten statistika.
Aku ingat nilai matematikaku B, metoda statistika C, teori/inferensia statistika B- dan Aljabar Matrik D. Entah kenapa, otakku menjadi amat bebal untuk mata kuliah Aljabar Matrik, biarpun Maggy-si jenius, Bambang Sumantri –asisten Statistika dan bahkan Mas Siswadi-dosen Statistika memberikan bimbingan di luar kelas. Dosen Aljabar Matrik adalah Prof. Ansori Mat Tjik yang kami ubah namanya menjadi : Ansori Matrik. Salah satu metoda yang paling kubenci di Aljabar Matrik adalah membalik matrik dengan metoda Doolittle atau eliminasi Gauss. Buatku Doolittle menjadi Dooalot. Untunglah sekarang ada program komputer dengan untuk dekomposisi matrik; pertama kali di rancang oleh ahli matematika Alan Turing tahun 1948.
Sebaliknya, nilai Kalkulusku selalu A. Kecenderungan ini terbawa sampai aku belajar di Graduate School di Oregon State. Mata ajaran yang berkaitan dengan Kalkulus misalnya dinamika populasi yang memakai model ordinary differential equation (ODE) dan partial differential equations (PDEs) untuk model-model ekologi misalnya : location-dependent carrying capacities, migrations and dispersion of a population. Nilai kalkulus selalu bagus tetapi statistika selalu celaka.
Pernah kuamati, anak cewekku : Tarita yang ambil psikologi dan manajemen di McGill, Montreal punya nilai Statistika bagus, tetapi Kalkulus tidak terlalu bagus. Sebaliknya, anak cowokku Iliad yang ambil electrical engineering juga di McGill; Kalkulus bagus, Statistika tidak. Ada penjelasan tentang ini Prof. Amril Aman atau Prof. Khairil Anwar ?
Asisten-asisten Pak Andi, kecuali atau karena pintar mereka menjadi jumawa. Sifat ini juga kemudian menempel kepada Rini dan Tati dan membuat banyak mahasiswa jeri atau enggan mendekati mereka. Apalagi Rini indekos dibelakang kamar mayat RS PMI dan Tati dibelakang kandang sapi Gunung Gede. Acara apel malam minggu untuk kedua gadis cantik dan pintar menjadi arena uji nyali. Yang satu melewati jalan kecil dekat kamar mayat di RS PMI yang gelap, satu lagi melewati sederetan kandang sapi yang juga gelap dan penuh ranjau tahi sapi. S anak Betawi, teman seindekos di Sempur Kaler 51 yang sering apel ke Tati selalu membersihkan sepatu dan mencuci celana dari pencemaran tahi sapi tiap minggu pagi.
***
Pada kurun waktu 1972-1978, Pak Andi banyak memperkenalkan perubahan dalam sistem pendidikan, tidak hanya internal IPB tetapi kemudian menjadi program nasional. Sebelum tahun 1972, pendidikan sarjana diselenggarakan enam tahun, paling tidak di IPB, FKUI, ITB dan UGM. Kecuali memperkenalkan program sarjana empat tahun dan penerimaan mahasiswa dengan panduan bakat, Pak Andi mempelopori pendidikan pasca sarjana (pasca tidak dibaca paska) atau program magister yang mirip dengan Master of Science di Amerika Serikat.
Sekolah Pasca Sarjana (SPS) adalah terjemahan dari Graduate School; gelar lulusannya disebut Magister Scientiarum, atau Magister Sains (MS). Program IPB ini kemudian menjadi acuan pendidikan tinggi nasional Sarjana Strata 1 (S1), S2 dan S3 yang sekarang ini merebak seperti jerawat dimusim berahi.
Kalau tak salah, SPS di IPB dimulai tahun 1975 sebagai tindak lanjut program sarjana 4 tahun. Kecuali program Magister, program pendidikan doktor by research yang bisa makan waktu bertahun-tahun karena kesibukan guru besar pembimbing atau mahasiswa juga diubah menjadi program ’sekolah’. Calon doctor harus mengambil kuliah, selain melakukan penelitian untuk disertasi. Sangat mirip program Graduate School di Amerika.
Saat itu, di IPB mulai terjadi pergeseran system pendidikan model Eropa/Belanda ke model Amerika. Tahun-tahun itu juga berdatangan para PhD muda, pintar dan progressif seperti Pak Syarifuddin Baharsyah dari North Carolina State, Pak Fred Rumawas dari Purdue, Indiana, Pak Herman Haeruman dari Duke, North Carolina dan lain-lain.
Suasana akademis dan intelektual di IPB menjadi amat kental. Jika ditanya, 3 dari 10 mahasiswa IPB barangkali berniat melanjutkan ke sekolah Pasca Sarjana. Atas dorongan Pak Andi, aku melanjutkan ke SPS bidang Studi Lingkungan angkatan pertama tahun 1977. Barangkali, kecuali melihat kadar intelektualku, (cieee..), beliau merasa tongkronganku kurang angker untuk menjadi mandor kebun the dan kina di Pengalengan, seperti yang kucita-citakan selama itu.
Persoalan pertama yang dihadapi sarjana 4 tahun IPB setelah lulus adalah kesetaraan dengan sarjana 6 tahun. Beberapa lembaga pemerintahan tampak ragu-ragu ,apakah lulusan ini (sama-sama bergelar Insinyur Pertanian) sama dengan sarjana 6 tahun dengan jenjang PNS III a. Keraguan ini pelan-pelan memudar setelah beberapa perguruan tinggi nasional mengikuti sistem IPB. Kesetaraan ini lebih mudah diterima oleh dunia swasta dan bisnis. Sekarang tak ada lagi yang mempersoalkan masalah ini.
Tetapi saat itu, sebagai mahasiswa angkatan 9 (tahun masuk 1972) dan lulusan sarjana 4 tahun angkatan pertama (1976), tidak mudah untuk melawan keraguan masyarakat dan ’bullying’ dari kakak-kakak sarjana lulusan 6 tahun. Pada masa MAPRAM (Masa Prabakti Mahasiswa) rasa iri hati dari sebagian kakak-kakak kelas ini terkadang muncul. Di Fakultas Pertanian ‘bullying’ ini bisa diredam, karena Pak Andi mengawasi dan melindungi anak-anak mahasiswa program 4 tahun. Di Fakultas lain, kabarnya lebih parah. Jasa angkatan Iron and Roses (angkatan 5) seperti Bang Ahmad Manggabarani, Mas Sis, Mas Iwan dll sebagai pembimbing dan pelindung angkatan 9 juga amat besar.
Tetapi disamping melindungi kami, Pak Andi juga amat tegas terhadap ‘unsur negatif’ seperti rambut gondrong, merokok dan politik kampus. Beliau pernah mengejar Slamet mahasiswa Kehutanan dan seniman jempolan serta Jabir Amin, keduanya gondrong di lorong-lorong kampus Baranangsiang.
Curangnya, kalau boleh dibilang curang, Pak Andi melunak kalau si gondrong tersebut pintar. Karena anak-anak jurusan Statistika rata-rata pintar, mereka mendapat ‘keringanan hukuman’. Achmad Bey, asisten statistika yang berambut gondrong tak masalah; Rustam- adikku- juga tidak dimarahi tetapi malah diberi uang untuk cukur. Rustam menggunakan uang ini untuk makan di warung Padang Trio dan Pak Andi juga tidak marah. Rambutku cukup panjang tetapi juga tak pernah dimarahi beliau. Mungkin beliau menganggap aku cukup pintar dalam ilmu agronomi spesialisasi jarak tanam.
Sekitar tahun 1978, Pak Andi diangkat sebagai rektor saat dunia kampus Indonesia bereaksi terhadap program NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kskoordinasi Kemahasiswaan) yang mencoba menjauhkan kampus dari politik. Didalam kampus, tindakan Pak Andi tidak repressif tetapi cukup tegas bagi mahasiswa yang akan menggunakan kampus sebagai “counter” dari program NKK/BKK. Beliau tidak melarang mahasiswa menggunakan hak suara tetapi harus menjaga agar jangan sampai merugikan kampus atau membuat kerugian, misalnya IPB ditutup.
Perjumpaan ku terakhir dengan beliau sekitar tahun awal 1979, setelah aku usai diwisuda sebagai Magister Sains. Di ruang kerja beliau di Dept. Statistika, beliau menyalami aku dan bertanya ;” Khuss (maksudnya Rus), you mau jadi dosen di Universitas Hasanuddin ? Kalau mau saya kabari Prof. Amiruddin, Rektor Unhas”. Saat itu, aku memang masih belum tahu mau kerja dimana. Teman-teman sudah banyak bekerja di Departemen Pertanian, Bulog dain BRI. Tapi ketiga tempat yang banyak uang itu tidak membuatku tertarik.
Isyu Lingkungan Hidup baru muncul kepermukaan dan makin penting, tapi aku juga belum tahu apa yang harus kukerjakan pada bidang itu. Aku jadi ingat George Bernard Shaw “ those who can, do; those who can’t, teach”. Tawaran Pak Andi kuterima dan singkat kata tahun 1979 aku pindah ke Makassar untuk mengajar dan menjadi dosen di Unhas.
Fast forward, sekitar akhir tahun 2002 ketika aku menjadi Senior Environmental Specialist di World Bank, Washington DC aku dengar kabar bahwa Pak Andi telah wafat dari Andini Nauli- puteri beliau yang amat pintar, alumni University of North Carolina di Chapell Hill dan pernah magang di NIMH (National Institute of Mental Health) tak jauh dari rumah kami di Bethesda, Maryland. Sebelumnya, kami juga sempat mampir ke Chapel Hill dan menjenguk putra Andini atau cucu Pak Andi yang mukanya serius persis kakeknya.
Catatan: ada koreksi, bukan Andini, tapi kakaknya, Marlina yang kini di Chapel Hill
No Comment