Bagaimana Memberitakan Berperspektif Adil Gender

Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung menggelar pelatihan penting: Workshop Jurnalis Meliput Keberagaman di Tahun-tahun Politik. Acara selama dua hari ini diadakan dalam rangka Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada 16 November 2017. Saya diminta berbagi tentang topik yang kelihatannya agak berbeda dari tema utama, yaitu bagaimana memberitakan berperspektif gender.
Jujur saja, sebenarnya saya ingin bicara tentang topik tentang fakenews dan informasi bohong alias hoax yang tidak hanya disebarkan warganet biasa, tetapi bahkan dibagikan oleh sosok-sosok senior dalam dunia jurnalistik. Semata-mata karena berita atau info bohong itu sesuai dengan pendapat pribadinya, atau pilihan dukungan politiknya. Selain memalukan, ini memprihatinkan. Pers, dan praktisinya, mestinya menjadi kurator atau penjaga gawang (gate-keeper) di era tsunami informasi digital.
BACA: Next Journalism, Beratnya Tugas Jurnalis Masa Depan.
Tapi, baiklah, kita bicara tentang perspektif gender. Pertama, menurut saya dalam semua jenis topik berita, mulai dari proses perencanaan, peliputan, produksi sampai penerbitan/penayangan, harus memenuhi Kode Etik Jurnalistik Indonesia. Berita tentang politik, ekonomi, hukum, kriminalitas, gaya hidup, agama, budaya, dan seterusnya, patokannya adalah etika jurnalistik. Ini standar minimal “good journalism”.
Kedua, ada beberapa jenis pemberitaan yang memerlukan lebih dari sekedar memenuhi etika tertulis yang ada. Dalam berbagai pelatihan baik selama di Dewan Pers, Uji Kompetisi Wartawan maupun pelatihan lain, saya memasukkan berita tentang kejahatan asusila terhadap perempuan dan anak, peliputan konflik, peliputan bencana, peliputan kelompok marjinal/minoritas sebagai jenis peliputan yang memerlukan perhatian khusus. Kode Etik Plus Empati.
Karena empati, maka kita sebagai jurnalis akan lebih hati-hati. Tulisan saya tentang meliput kejahatan asusila bisa dibaca di Blog www.unilubis.com.
BACA: Meliput kejahatan asusila, melepas asumsi dan stigma
Meliput konflik dan bencana juga perlu perhatian khusus. Mewawancarai narasumber korban bencana, misalnya, perlu dilakukan hati-hati. Berempati. Alih-alih bertanya, “Bagaimana perasaan Bapak (atau Ibu) atas kejadian (bencana/tragedi ini)?”, wartawan bisa memulainya dengan bertanya tentang kegiatan sehari-hari saat ini.
Biarkan cerita mengalir, sampai kemudian tiba di satu titik narasumber bersedia menceritakan peristiwa traumatis itu. Saya melakukannya, termasuk saat mewawancarai Polwan Elfiana, untuk peringatan 10 tahun tsunami Aceh. Elfiana kehilangan keluarganya saat tragedi tsunami di Aceh. Wawancaranya dapat dibaca di sini.
BACA: Meliput bencana, meliput tragedi
Gunakan sumber dan gambar yang sudah diverifikasi. Di era digital, siapa saja bisa memasok gambar ke dunia maya. Termasuk gambar dan komentar di status media sosial korban tragedi dan atau penumpang pesawat yang hilang. Verifikasi.
Tidak semua orang nyaman jika wajahnya dipublikasikan media massa dalam keadaan, misalnya, sedang menangis. Media tidak pernah meminta ijin kepada yang bersangkutan kan, manakala memasang foto itu, di halaman depan? Atau menayangkannya? Jadi, di mana penerapan KEJ soal privasi? Ini tautan ke Kode Etik Jurnalistik yang disahkan Dewan Pers: Kode Etik Jurnalistik.
Contoh jenis berita di atas saya sampaikan, karena mengandung hal penting: dalam meliput jurnalis perlu memiliki perspektif gender.
Mengapa?
Tanpa perspektif gender dalam meliput kejahatan asusila, maka jurnalis cenderung untuk memberitakan secara serampangan. Misalnya: menuliskan identitas korban kejahatan asusila, menggunakan diksi yang salah, membuat perempuan menjadi korban untuk kedua kalinya setelah perlakuan kejahatan yang dialami.
Tanpa perspektif gender dalam meliput konflik, jurnalis akan terperangkap dalam perang kata-kata antar elit yang membuat solusi damai menjadi utopia. Perempuan dalam konflik akan digambarkan sebagai pihak yang lemah, tak berdaya. Pelengkap penderita.
Tanpa perspektif gender dalam meliput bencana misalnya, jurnalis akan fokus hanya kepada melaporkan kebutuhan makanan (yang biasanya dijawab dengan memasok beras mie instan dan pakaian bekas), padahal perempuan dan anak-anak di pengungsian memerlukan lebih dari itu, hal-hal yang spesifik.
Bagaimana meliput?
Bahan-bahannya banyak di internet, ketikkan kata-kata: reporting sensitive gender, kita bisa mendapatkan panduan meliput dari sejumlah lembaga termasuk UNESCO.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan adalah:
- Peliputan berperspektif gender bisa dilakukan baik oleh jurnalis perempuan atau laki-laki. Penting bagi jurnalis untuk bersikap open mind, alias berpikiran terbuka, termasuk dalam meliput.
Tentu masih ada isu mengenai ruang redaksi yang masih dikuasai laki-laki.
- Kesetaraan penting di ruang redaksi (newsroom). Artinya apa? Jurnalis perempuan juga penting memahami dan melakukan peliputan di bidang politik, ekonomi, kriminalitas, tragedi, bencana, dan tidak hanya ditugasi meliput aspek gaya hidup, fesyen aau dunia hiburan yang dianggap lebih ‘soft’. Tentu saja manajemen redaksi perlu melakukan assessment mengenai keselamatan jurnalisnya, dan ini berlaku untuk jurnalis laki-laki dan perempuan, tetapi penting untuk memberikan kepercayaan meliput semua jenis berita baik kepada perempuan dan laki-laki.
- Pelatihan dasar perlu diberikan kepada jurnalis, termasuk kesempatan mendapatkan pelatihan dari luar organisasi.
- Pemilihan narasumber. Penting memperhatikan proporsi kutipan narasumber laki-laki dengan perempuan. Misalnya, memberitakan tentang ekonomi tentang kenaikan harga barang. Ketimbang hanya mewawancarai pejabat, pakar, yang notabene didominasi laki-laki, perlu wawancara perempuan termasuk ibu rumah tangga, karena mereka lah yang paling terdampak kenaikan harga. Begitu juga saat memberitakan pilkada. Penting untuk memberitakan sudut pandang perempuan dalam agenda kampanye kandidat yang ada. Pendapat perempuan. Bagaimanapun mereka jumlahnya minimal seimbang, bahkan bisa jadi lebih besar ketimbang pemilik suara laki-laki.
- Hindari eksploitasi perempuan. Ketika KPK, misalnya, melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terduga koruptor yang tengah berada dengan seorang perempuan, media cenderung mengeksploitasi sosok perempuan. Bahkan pernah ada media koran yang memuatnya di foto halaman depan. Headline. Padahal belum tentu perempuan itu berkaitan dengan kasusnya. Yang jelas perempuan itu bukan pejabat publik. Situasi yang sama sering terjadi saat meliput penggerebekan PNS yang mangkir dari pekerjaan, dan ditemukan di tempat hiburan atau hotel.
- Stigma. Monica Lewinsky, karyawan magang di gedung putih yang dikaitkan dengan Presiden Bill Clinton, pernah diwawancarai di program The View. Barbara Stewarts, jurnalis senior yang mewawancarainya mengatakan, setelah siaran acara bincang-bincang usai, penonton banyak yang bertanya ke redaksi tentang : apa merek dan jenis warna lipstick yang digunakan Lewinsky? Ini reaksi penonton, yang seringkali juga menjadi sudut pandang jurnalis dalam memberitakan narasumber perempuan. Misalnya, ketika seorang politisi perempuan pidato di depan parlemen atau dalam kampanye politik, media membahas tentang busana, tata rambut, sampai warna lipstick dan sepatunya. Bukannya membahas apa yang disampaikan. Jurnalis mewawancarai politisi perempuan hanya untuk isu terkait perempuan. Mewawancarai Ratu Kontes Kecantikan juga perlu menggali pemikiran dan sikap atas isu publik, di samping membahas busananya
- “Mayat perempuan cantik ditemukan di ….”. “Perempuan X digagahi bergiliran.” “Dokter cantik ini diangkat menjadi kepala RS….”.
- Gambar dan sudut pengambilan gambar.
Jurnalis, tak peduli sudah berapa lama menjalani profesi ini, perlu terus-menerus belajar. Termasuk saya. Hari-hari ini terus-terang saya tidak habis pikir dengan hebohnya media memberitakan mengenai presenter Rina Nose melepas jilbab-nya. Saya tidak paham di mana letak pentingnya berita itu bagi publik? Apa urusannya seseorang melepas jilbab-nya untuk dibahas berhari-hari di media massa? Apakah media juga akan memberitakan secara masif, sistematis dan struktural gaya busana seorang aktor? Laki-laki?
Di sini kita bisa diskusi tentang apakah pemberitaan terkait Rina Nose itu punya perspektif gender –
No Comment