Di Balik Kejatuhan Gus Dur, Peran Arifin Panigoro Naikkan Megawati (2)
Dalam buku “Sketsa Politik Arifin Panigoro”, pengamat politik Fachry Ahli menuliskan kata pengantarnya. Salah satu kutipannya, “Arifin Panigoro patut mendapatkan catatan tersendiri dalam sejarah politik Indonesia modern. Melalui pertemuan di Hotel Radisson, Yogyakarta, 5 Februari 1998, Arifin melakukan sebuah “pembangkangan” nekad terhadap negara yang turut menyumbangkan darah segar bagi tumbangnya sebuah rezim.”
Menurut Fachry, pertemuan yang digelar oleh Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) itu adalah kegiatan biasa saja, rutin dilakukan. Tetapi dalam sejarah pribadi Arifin, seorang pengusaha sukses di bidang perminyakan dan energi saat itu (pendiri kelompok Medco), kehadirannya di pertemuan itu bak sebuah debut politik. Pertemuan itu semacam menegaskan posisi ketokohan Mohammad Amin Rais sebagai figur sentral gelombang reformasi. PPSK dan Amien Rais makin dikenal sebagai salah satu pusat kritik Orde Baru. “Kehadiran Arifin Panigoro dalam pertemuan Radisson telah dianggap sebagai masuknya elemen baru dan asing dalam slagorde kaum oposisi,” tulis Fachry.
Buku ini ditulis oleh Ana Suryana Sudrajat dan T Budi Wibowo (riset), dan diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia. Editor buku yang diterbitkan pada September 2004 ini adalah Suharso Monoarfa, kini kita kenal sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan dan menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan (Bapppenas).
Ana adalah senior saya saat memulai sebagai jurnalis di Mingguan Berita Ekonomi, Warta Ekonomi. Dia adalah redaktur. Kami kemudian sama-sama pindah, menerbitkan kembali Majalah Panji Masyarakat, pada Desember 1996. Saya menjadi Wakil Pemimpin Umum, kemudian Pemimpin Redaksi, Ana menjadi redaktur pelaksana. Buku ini ditulis dari hasil riset dan wawancara dengan Arifin Panigoro.
Melanjutkan bagian (1) dari tulisan soal peran Arifin Panigoro dalam kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid dan naiknya Megawati Sukarnoputri ke kursi presiden, saya membagikan tulisan di buku ini, terutama untuk geenerasi millennial.
Begini kisahnya.
Presiden Gus Dur, akhirny harus mengakhiri masa jabatan kurang dari dua tahun, melalui Sidang Istimewa MPR, 23Juli 2000. Gus Dur digantikan wakil presiden Megawati, yang juga pemimpin partainya Arifin Panigoro. Banyak yang mengatakan, Ketua DPP PDI Perjuangan yang juga ketua fraksi PDIP di DPR RI ini punya andil cukup signifikan dalam proses politik menurunkan Gus Dur, Presiden pertama Republik Indonesia yang dipilih secara demokratis.
Aktivitas Arifin itu tidak hanya mengundang amarah para pengikut Gus Dur, tetapi juga menimbulkan friksi di tubuh PDIP. Arifin dituduh sering bertindak di luar garis kebijakan partai. Sebagai pendatang baru di partai, Arifin dan kawan-kawannya jug sering disebut kelompok “indekosan”, bahkan disebut sebagai “penyusup”. Selain Arifin, yang dituduh sebagai penyusup antara lain (Jenderal TNI) Theo Syafei, Didi Supriyanto, Heri Achmadi (kini Duta Besar RI untuk Jepang), Zulvan Lindan, Meilono Soewondo (alm), Pramono Anung Wibowo, Julius Usman dan Benny Pasaribu.
Kalangan PDIP yang berseberangan dengan Arifin antaralain adalah Haryanto Taslam, Soetardjo Suryoguritno, Prof. DR. Dimyati Hartono, Sabam Sirait. Mereka menyebut diri sebagai kelompok nasionalis.
Ketika Arifin Panigoro mengusulkan percepatan Sidang Istimewa MPR dari jadwal yang telah ditetapkan oleh Badan Pekerja MPR, yaaitu 1 Agustus 2000, Haryanto Taslam bereaksi keras: “Itu ‘kan suara setan. Nggak jelas siapa yang minta? Atas dasar apa? Dengan dasar hukum apa? Makanya saya bilang, kalau namanya partai politik yang betul ya, “kan tentu aturan-aturan. Apalagi urusan negara. Urusan negara ini bukan semau-maunya beberapa ekor model Arifin begitu. Ngatur negara itu ada aturannya, bukan maunya orang per orang.”
Bahkan lebih jauh, Taslam mengusulkan ketua Fraksi PDIP di DPR RI itu dinonaktifkan, menyusul rencana Kejaksaan Agung untuk memeriksa Arifin dalam kasus dugaaan korupsi, “Kalau proses hukum memang akan mengganggu kinerja dan tanggungjawabnya dalam organisasi, ya, saya usulkan untuk nonaktif dulu,” ujar mantan Wakil Sekjen PDIP itu.
Para penentang Arifin itu kemudian bergabung dalam kelompok 87, yang dipimpin oleh Imam Munjiat, ketua DPD PDIP Kalimantan Tengah. “Sudah menjadi kewajiban kita menyelamatkan partai yang kita hidupkan dengan perjuangan berdarah-darah selama Orba. Enak saja sekarang para pendatang baru pada nangkring dan seenaknya bicra atas nama partai,” ungkap Taslam, yang pernah diculik rezim Orde Baru itu.
Ratusan kader PDIP yang tergabung dalam Korban Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli) juga mendemo kantor DPP PDIP (waktu itu di Jalan Pecenongan Jakarta Pusat). Mereka mendesak PDIP agar segera memecat Arifin Panigoro dari jabatan salah satu Ketua DPP PDIP. Arifin dinilai sebagai pengkhianat cita-cita reformasi. Menurut koordinator aksi, Didik Purwanto, Arifin Panigoro dinilai sebagai antek-antek Orde Baru yang memperalat PDIP menjadi partai untuk melindungi kepentingan Orba. Selain itu Arifin dituduh menjadi arsitek di balik kelompok yang menghalangi penyelesaian kasus 27 Juli di pengadilan.
Tapi Arifn, didukung Didi Supriyanto, Pramono Anung, Heri Achmadi, terus bergerak. Mereka rajin melobi para politisi dari partai lain. Mereka memotori pertemuan rutin, umumnya berlangsung di Jalan Jenggala, para sekretaris jenderal partai-partai besar untuk menggolkan percepatan Sidang Istimewa. Didi Supriyanto mengatakan, percepatan Sidang Istimewa perlu dilakukan karena krisis kepercayaan masyarakat terhadap negara semakin parah dan bisa membahayakan.
Dalam pada itu, suara-suara, termasuk dari kalangan mahasiswa, yang menghendaki Gus Dur turun semakin kencang. Tampaknya mantan ketua umum PB NU yang dinilai piawai dalam melakukan akrobat politik itu hanya tinggal menghitung hari.
Meskipun baru bergabung dengan PDIP, dia disebut sebagai salah satu orang paling berpengaruh atas Megawati. Dalam konteks perlawanannya dengan Gus Dur, Arifin digambarkan sebagai teman dekat Ginandjar Kartasasmita, menteri senior di era Soeharto. GK dianggap salah satu menteri yang andal dan cakap, tetapi juga diselubungi isu KKN. Arifin juga dianggap punya kaitan erat dengan Fuiad Bawazier menteri di era Soeharto yang menjadi ketua Fraksi Reformasi di MPR dan penyandang utama dana PAN, yang juga sangat getol ingin menurunkan Gus Dur.
Greg Barton, penulis biografi Gus Dur, menggambarkan Arifin dan Ginanjar Kartasasmita sebagai orang yang memiliki kekuasaan tapi tidak mau berkompromi. Kata Greg, walaupun kurang populer di kalangan kaum demokrat lama di dalam partai, Ginandjar dan Arifin saat itu adalah politikus yang paling berkuasa di Indonesia.
Greg menggambarkan soal “kekuasaan’ Arifin saat itu, dengan, “ dalam suatu permainan yang menyeret bahaya, Gus Dur memutuskan untuk menunda pengumuman dekrit tetapi tetap melantik Chaeruddin Ismail sebagai “pejabat” Kapolri (menggantikan Soerojo Bimantoro). Awalnya taktik ini kelihatannya bisa berjalan karena pada sore hari Jumat tanggal 20 Juli 2000, Amien Rais mengatakan kepada awak televisi Belanda, bahwa “Presiden telah mundur dari tepi”, dan bahwa karena itu tidak mempunyai cukup alasan untuk secara kilat mengadakan sidang MPR. Tetapi ketika wawancara itu berakhir, Arifin Panigoro menghampiri Amien Rais dan mengajaknya masuk untuk bercakap-cakap. Seperempat jam kemudian Amien keluar lagi dan mengumumkan MPR akan segera mengadakan Sidang Istimewa pada hari Senin. Keesokan harinya anggota-anggota MPR bersidang untuk merencanakan pencopotan presiden pada hari Senin.
Arifin Panigoro tentu menolak anggapan bahwa dirinya adalah anggota parlemen yang powerful ketika memakzulkan Gus Dur. Tidak saja di kalangan fraksinya, pula lintas fraksi. Sekiranya ada bintang lintas fraksi, dialah bintangnya. “Menurut saya tidak begitu. Saya memang ada di situ. Sebab kenyataannya saya ketua fraksi.”
Menurut Arifin, Partai Golkar dan partai-partai lain kecuali PKB, sebenarnya ingin Gus Dur diganti. Syamsul Muarif, Ketua Fraksi Partai Golkar, Bachtiar Chamsyah Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Achmad Sumargono, Ketua Fraksi Partai Bulan Bintang, termasuk politisi yang menurut Arifin, ingin Gus Dur turun. Syamsul dan Bachtiar kemudian menjadi anggota kabinet Gotong-Royong-nya Megawati. Yang beda hanya PKB saja karena mereka mendukung Gus Dur. Semuanya ikut,” kata Arifin.
Arifin mengakui bahwa pihaknya lah yang bicara paling kritis ketika DPR mengadakan konsultasi dengan Presiden. “Mulai dari situlah saya keras betul sama Gus Dur,” kata Arifin.
Arifin menegaskan bahwa waktu itu dia hanya ambil posisi agar ada review terhadap pemerintahan Abdurrahman Wahid. “Terlepas dari proses pemilu 1999, mengingat keterbatasan Gus Dur, rasanya harus ada perubahan.”
Jadi target akhirnya Gus Dur lengser?
“Iyalah. Meskipun itu mengalir juga. Kita kan nggak bisa frontal. Pada mulanya kita minta ini-ini dibenahin, tapi Gus Dur juga kalau sudah punya pendirian tidak bisa diapa-apain. Terus dia ngelantur sendiri saja. Jadi lewat Bulloggate-nya itu, terjebaklah dia di situ,” kata Arifin.
Sebelum mengeluarkan Memorandum, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menyelidiki kasus dana Bulog dan Brunei. Menurut Mohamad Mahfud MD dalam bukunya, “Setahun Bersama Gus Dur, Kenangan Menjadi Menteri Di Saat Sulit”, Gus Dur merasa ditantang dan marah dengan pembentukan pansus itu sehingga dia tidak mau menghadiri panggilan-panggilan DPR.
Menurut Gus Dur, pembentukan pansus itu ilegal karena tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 6 Tahun 1954 yang mengharuskan pembentukan pansus didaftarkan ke Departemen Kehakiman dan dimasukkan ke dalam Lembaran Negara. DPR, kendati kemudian secara terlambat mendaftarkan pansus itu ke departemen kehakiman, menganggap bahwa pembentukan pansus itu sah dan telah sesuai dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 serta tata Tertib DPR.
Karena Gus Dur menolak datang ke DPR untuk memenuhi undangan-undangan pansus, DPR lantas menemui Gus Dur di Istana, asalkan Gus Dur mau menerima. Akhirnya Gus Dur memang bertemu pansus du Jakarta Convention Center dalam sebuah pertemuan konsultasi. Pertemuan ini bukannya memperbaiki keadaan, malah semakin bikin runyam hubungan Gus Dur dengan DPR. Soalnya Presiden, yang didampingi pengacaranya, Luhut MP Pangaribuan, menolak mengikuti pansus yang menurutnya mau mengubgkit-ngungkit masalah secara tidak proporsional. Dengan nada marah Gus Dur mengatakan, “Saya ingin mendapatkan penjelasan, apakah forum ini forum politik atau forum hukum?”. Gus Dur kemudian meninggalkan ruang pertemuan, tanpa mau mendengarkan pihak pansus sampai selesai.
Menurut Mahfud, pertemuan JCC itu mengecewakan banyak orang karena sebenarnya pertemuan itu diharapkan bisa menutup pertarungan politik antara Presiden dan DPR. “Sebelumnya, saya mendengar bahwa sebenarnya DPR (melalui pansus itu) sudah akan menganggap kasus itu selesai kalau Presiden menjelaskan baik-baik. Dan pertemuan JCC itu sebenarnya akan dijadikan pintu masuk oleh DPR untuk menganggap persoalan itu selesai dengan cara saling menyelamatkan muka.
Tapi begitulah, seperti yang dikatakan oleh Arifin, “kalau sudah punya pendirian Gus Dur sulit diapa-apain.” Sikapnya yang konfrontatif itu membuat kecewa sebagian anggota pansus yang kemudian mendorong mereka mengeluarkan Memorandum.
Salah satu kelemahan Gus Dur, menurut Mahfud yang diangkat Gus Dur menjadi menteri pertahanan, adalah tidak suka dilawan dan tidak mau melakukan kompromi jika dia merasa kompromi itu merugikan dirinya dalam politik. Padahal kompromi dan pendekatan terhadap lawan merupakan bagian penting di dalam pergulatan politik. Sikap keras kepala Gus Dur itu pula tampaknya yang dihadapi secara keras oleh Arifin Panigoro, ketua Fraksi PDIP di DPR RI.
Sekarang menjadi tugas Arifin agar PDIP tidak kalah untuk kedua kalinya dalam menghadapi Abdurrahman Wahid, yang kini praktis hanya didukung oleh partainta, PKB, yang punya kekuatan tidak sampai 10 persen di DPR.
Yang menarik, sebagaimana pada masa Presiden B.J. Habibie, kali ini pun komisaris utama PT Medco Energy International itu dijadikan tersangka dalam kasus korupsi oleh kejaksaan agung. Arifin, yang kini menjadi penasihat (advisor) Medco, bersama Menteri Kehakiman Ismail Saleh dan mantan Menteri Pertambangan Subroto, diduga terlibat dalam kasus penyimpangan penggunaan dana PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) oleh Medco. Kasus ini merupakan pengembangan dari penyidikan kasus dugaan korupsi PT BPUI dengan tersangka mantan Menteri Keuangan Ali Wardhana dan bekas Direktur Utam BPUI Sudjono Timan.
Arifin Panigoro menganggap rencana Jaksa Agung memeriksa dirinya sebagai “teror politik” dan sebagai upaya untuk mencegah Sidang Istimewa MPR. “Saya siap menghadapi masalah ini. Saya bersih, kata Arifin.
Kasus yang dituduhkan ke Gus Dur sebenarnya tidak pernah terbukti secara hukum. Gus Dur, harus turun karena tekanan politik.
Sebagai jurnalis yang mengikuti dari dekat semua proses politik itu, termasuk menyaksikan pertemuan-pertemuan di Jenggala, kediaman Arifin Panigoro, yang dianggap sebagai salah satu “pusat” kegiatan mendukung reformasi 1998, saya mengetahui betapa kuat niat Arifin Panigoro menaikkan Megawati ke kursi presiden. Ketika seseorang bisa menjadikan rumahnya sebagai tempat berkumpulnya para politisi lintas parpol, tentu kita bisa melihat pengaruhnya, bukan?
Sesudah Megawati naik ke kursi Presiden, Arifin justru tidak masuk kabinet (dia sudah kaya dan punya jejaring di kekuasaan juga), sementara para ketua fraksi lintas parpol yang dekat dengan Arifin diganjar kursi kabinet di pemerintahan Megawati.
Dalam buku “Menjerat Gus Dur”, pertarungan politik saat koalisi parpol menjatuhkan Gus Dur juga disajikan menarik. Kapan-kapan saya bagikan ya.
No Comment